Kalsel

Pantau Gambut, Walhi: Tapin dan HSS Sumbang Hotspot Terbanyak

apahabar.com, RANTAU – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan mendeteksi keberadaan sejumlah hotspot atau titik panas….

Walhi Kalsel melakukan pemantauan titik panas di wilayah Kalsel. Foto-Dok.Walhi

apahabar.com, RANTAU – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan mendeteksi keberadaan sejumlah hotspot atau titik panas. Paling banyak berada di wilayah Tapin dan Hulu Sungai Selatan (HSS).

Dari pantauan mereka selama 9 bulan atau sejak Juni 2019 sampai Maret 2020, aktivitas perkebunan sawit memperparah kerusahan gambut.

Mereka menuntut pemerintah untuk menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan menindak tegas perusahaan pembakar lahan.

Walhi juga menyampaikan fakta dan temuan lapangan mengenai kebakaran gambut dan upaya pemulihan ekosistem rawa gambut oleh masyarakat, pemerintah, dah perusahaan.

Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja mengatakan bahwa pemantauan ini dilatarbelakangi kejadian kebakaran terutama di lahan gambut yang berulang setiap tahunnya.

Disampaikannya juga bahwa kebakaran terjadi karena gambut rusak akibat aktivitas pengeringan lahan oleh perusahaan sawit.

"Kami melihat gambut yang rusak memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk terbakar secara berulang, kerusakan itu diduga akibat aktivitas pengeringan lahan oleh perusahaan sawit yang memiliki konsesi di lahan gambut,” ujarnya kepada apahabar.com, Sabtu (20/6).

Selain itu pria yang dipanggil Cecef ini juga membandingkan antara pengelolaan gambut oleh masyarakat dan perusahaan.

"Masyarakat lokal mengelola gambut dengan kearifan lokal dan cara tradisonal yang mereka miliki, mereka menguasai lahan dalam jumlah kecil, beda dengan perusahaan sawit yang memakai tata kelola ekstraktif dan penguasaan lahan yang sangat luas oleh beberapa orang saja," ujarnya.

"Tentunya tata kelola ekstraktif ini akan memperburuk kondisi gambut dan meningkatkan potensi kebakaran lahan," tambahnya.

Pemantauan umumnya mencakup seluruh wilayah Kalsel dan khususnya di ekosistem rawa gambut yang dibebani konsesi perkebunan sawit.

Masuk dalam kriteriapemantauan Walhi Kalsel adalah PT Platindo Agro Subur (PAS) dan PT Subur Agro Makmur (SAM).

Kriteria konsesi yang dipantau mencakup, pertama, masuk dalam peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang menjadi prioritas restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan ada program restorasi gambut.

Kedua, terdapat kejadian kebakaran berulang. Dan terakhir adanya konflik tenurial atau konflik lahan dengan masyarakat.

Secara administratif, PT PAS berada di Kabupaten Tapin di wilayah desa Buas Buas, Buas Buas Hilir, dan Desa Sawaja keduanya berada di Kecamatan Candi Laras Utara.

Juga PT SAM berada di desa Baruh Jaya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Wilayah inilah yang menjadi objek utama pemantauan Walhi Kalsel.

Walhi Kalsel menemukan peningkatan jumlah titik panas dari Juli sampai September 2019 di wilayah Kalsel.

Catatan mereka pada Juli lalu, titik panas berkisar angka 300 sampai September meningkat lebih dari 5000 titik panas. Sampai September itu terhitung area gambut terbakar seluas 45.911,2 hektar.

Wilayah kabupaten yang paling banyak gambut terbakarnya ialah Tapin dan Hulu Sungai Selatan yakni 32,5 dan 43,2 persen dari total gambut terbakar di Kalsel.

Menurut Cecef, hal ini berhubungan dengan banyaknya konsesi sawit di kedua kabupaten itu.

"Tapin dan HSS paling banyak konsesi sawit di lahan gambutnya, diduga kuat hal ini memengaruhi peningkatan luas kebakaran lahan di keduanya" cetus Cecef.

Temuan Walhi Kalsel, titik panas dan lahan terbakar di setiap perusahaan berjumlah 106 titik panas terpantau di wilayah konsesi PT. PAS yang menyebabkan 1.972,2 hektare lahan terbakar, dan 39 titik api di konsesi PT. SAM dengan luas area terbakar sebanyak 1.073,7 hektare. Kebakaran ini menurut Cecef berada di wilayah konsesi yang belum ditanami oleh perusahaan.

"Area yang terbakar itu di wilayah perusahaan yang belum ditanami, itu masih dalam konsesi perusahaan, tentu ini tanggung jawab mereka untuk menghentikan kebakaran, kalau tidak mampu, lebih baik lahan itu dikembalikan ke masyarakat agar dikelola dengan baik," ujar Cecef.

Editor: Fariz Fadhillah