Tak Berkategori

Pakar ULM: Pelacakan Covid-19 di Banjarmasin Mendekati Nol!

apahabar.com, BANJARMASIN – Sesuai instruksi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Banjarmasin dan Banjarbaru mulai…

Stok oksigen di RS Sultan Suriansyah tersisa 34 tabung besar pada Sabtu (24/7). Sampai kini rumah sakit milik Pemkot Banjarmasin itu masih menuggu tambahan oksigen dari Surabaya. apahabar.com/Bahaudin Qusairi

apahabar.com, BANJARMASIN –Sesuai instruksi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Banjarmasin dan Banjarbaru mulai 26 Juli 2021 akan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM level IV.

Masuknya kedua kota tersebut lantaran tingkat penularan Covid-19 yang tidak terkendali hingga terbatasnya kapasitas respons sistem kesehatan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tingkat penularan di Banjarbaru sepekan terakhir telah mencapai 226 kasus positif per 100 ribu penduduk. Sedangkan di Banjarmasin jumlah pasien rawat inap sudah mencapai 66 orang per 100 ribu penduduk.

Secara kumulatif, penduduk yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Banjarmasin pada 1-25 Juli sudah mencapai 2.152 kasus dan 12 kematian. Adapun Banjarbaru sebanyak 1.394 kasus konfirmasi dan 31 kasus kematian.

“Sebaran kasus di kedua wilayah tersebut mencapai 46% kasus infeksi di Kalimantan Selatan,” ujar Hidayatullah Muttaqqin, Anggota Tim Pakar Covid-19, Universitas Lambung Mangkurat (ULM) kepada apahabar.com, Minggu (25/7).

Terbatasnya kapasitas respons sistem tergambar dari tingginya tingkat positivitas hasil testing Covid-19.

Di mana tingkat positivitas per minggu untuk Banjarmasin dilaporkan mencapai 40% dan Banjarbaru 64%.

“Padahal standar WHO [organisasi kesehatan dunia] adalah 5% ke bawah,” ujarnya.

Sedangkan rata-rata BOR atau keterisian kasur rumah sakit per minggu di Banjarmasin sudah berada pada tingkat 74% dan Banjarbaru 80%.

Di lain sisi, upaya pelacakan kontak erat penderita Covid-19 justru masih sangat lemah. Yaitu 0,1 untuk Banjarmasin dan 0,6 untuk Banjarbaru.

“Itu artinya nyaris mendekati nol pelacakannya atau hampir tidak ada upaya menemukan kontak erat,” paparnya.

Padahal untuk mempercepat pengendalian penularan dengan mengisolasi penduduk yang terinfeksi Covid-19 adalah melacak sebanyak-banyaknya warga yang berpotensi terpapar virus, minimal 10 orang dari setiap 1 pasien.

“Pelacakan penting sekali. Tanpa itu penularan susah dicegah meskipun tesnya sudah tinggi,” ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, ULM itu.

Berpijak pada kondisi tersebut, pelaksanaan PPKM level IV guna menurunkan tingkat penularan virus ke level 3 dan terus turun ke bawah.

Di sisi lain mengatasi lonjakan kasus dan kebutuhan pelayanan rumah sakit untuk pasien Covid-19 maka kapasitas respons perlu ditingkatkan.

“Hanya saja cara yang paling efektif adalah dengan kombinasi penanganan di hulu masalah yaitu menurunkan laju penularan Covid-19 di masyarakat, karena itu pembatasan sangat diperlukan. Diharapkan PPKM level 4 dapat menurunkan motor penyebaran virus yaitu mobilitas penduduk dan rendahnya kedisiplinan dalam penerapan prokes,” ujarnya.

Tanpa ada kemajuan pengendalian pada mobilitas penduduk dan prokes, maka penularan diprediksi terus terjadi dan semakin tinggi sehingga beban rumah sakit semakin berat.

“Kita sudah menyaksikan sejak warga yang mau masuk rumah sakit sudah sangat sulit sedangkan persediaan oksigen sangat terbatas,” ujarnya.

Tanpa pengendalian mobilitas penduduk dan peningkatan prokes, fasilitas kesehatan akan ‘jebol’ dan risiko tenaga kesehatan terpapar Covid-19 semakin tinggi.

“Jika rumah sakit jebol, risiko kematian penderita Covid-19 semakin tinggi. Kita harus menghentikan pabrik Covid-19 tersebut, karena di situlah kuncinya. Karena itu pemerintah daerah dan masyarakat harus bahu-membahu untuk mencegah kondisi yang lebih parah dalam pelaksanaan PPKM level 4 ini,” Taqqin mengakhiri.

STOK Oksigen di RS Ulin Banjarmasin Tinggal Hitungan Jam, Cek Faktanya