(OPINI) Dagang Sapi Anies Baswedan dan Gibran Jokowi

Jika Anda pendukung Anies Baswedan yang setiap hari posting kritik, serangan, hingga kecaman kepada Presiden Jokowi.

Anies Baswedan bersama Gibran Jokowi

apahabar.com, JAKARTA - Jika Anda pendukung yang setiap hari posting kritik, serangan, hingga kecaman kepada Presiden Jokowi, bagaimana perasaan Anda melihat Anies bertemu Gibran Jokowi?

Jika Anda pendukung Anies yang setiap hari berteriak anti-oligarki, bagaimana pula perasaan Anda saat melihat Anies bersama Surya Paloh saling canda dan riang gembira saat bicara pilpres?

Saya teringat akademisi Simon Philpott. Dalam buku berjudul Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism, and Identity, dia mengatakan dunia politik Indonesia laksana kuburan bagi para pengamat dan ilmuwan yang tekun mengamatinya.

Banyak asumsi dan prediksi yang kemudian tidak terbukti realitasnya. Banyak pula hal-hal baru yang tiba-tiba memotong di tengah jalan, lalu mengambil alih kendali wacana politik.

Baca Juga: Pengamat Sebut Peran Strategis Indonesia Jadi Juru Damai Ukraina-Rusia

Di Amerika Serikat, sejak zaman dulu, politik di sana hanya mengenal dialektika antara Partai Republik dan Partai Demokrat. Mereka ibarat minyak dan air yang bersaing, dan saling mencari keseimbangan baru.

Di Indonesia, kita sering melihat politik anti-tesis, lalu seiring waktu, ujung-ujungnya adalah kompromi. Kita sering melihat dua kubu berbeda dan membelanya setengah mati, namun di akhir fragmen politik, dua kubu akan bertaut dan berbagi peran.

Kita menyimpan banyak catatan. Dulu, di awal Pak Jokowi menjabat, politik kita terbagi dua kubu, yakni Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan. Setelah keduanya bubar, muncul lagi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Setelah itu muncul perseteruan antara Jokowo vs Prabowo, yang kemudian berakhir damai.

Elite politik hari ini tak jauh beda dengan elite politik sebelumnya. Mereka boleh berbeda gagasan, tetapi selalu berusaha mencari titik temu. Menurut sosiolog Emannuel Subangun, politik kita serupa pasar, di mana semua pihak saling menjajakan dagangan, lalu saling barter.

Baca Juga: Jokowi Pidato Bahasa Indonesia di KTT G20, Sebegitu Istimewakah di Mata Dunia?

Hal yang sama bisa ditafsir dari pertemuan antara Anies Baswedan dengan Gibran Rakabuming Raka. Pertemuan menarik sebab Anies sempat disebut seorang politisi sebagai anti-tesis Jokowi. Anies dianggap membawa harapan baru sebab dianggap membawa langgam politik yang berbeda dengan Jokowi.

Pendukung Anies di media sosial adalah mereka yang sangat kritis pada Jokowi. Banyak di antara mereka adalah pendukung Prabowo yang kemudian tidak rela melihat jenderal itu menerima pinangan Jokowi untuk menjadi Menteri.

Namun real politics Indonesia tidaklah sederhana melihat perdebatan netizen di media sosial yang sibuk mempolarisasi. Para politisi sama paham kalau politik memang harus mencari titik temu, bukan asal melempar benci pada orang lain. Apa yang bisa ditafsirkan dari pertemuan Anies Baswedan dan Gibran?

Pertama, pertemuan Anies Baswedan dan Gibran Jokowi bisa dilihat dari logika pasar yang disebutkan Emannuel Subangun. Keduanya sama-sama politisi yang coba memasarkan diri. Keduanya beririsan kepentingan.

Baca Juga: PPP Tolak Presidential Threshold Nol persen, Arsul Sani: Bisa 10 Persen lah!

Anies Baswedan menyadari benar kalau untuk memenangkan pilpres, dia mesti bisa menggenggam Jawa. Titik lemahnya adalah tidak begitu populer di kalangan pemilih dari latar etnik Jawa.

Berita menarik ini ada di halaman selanjutnya...

Kalimat “Jawa adalah koentji” masih relevan hingga sekarang. Dia mesti sering mendatangi simpul-simpul peradaban Jawa, bertemu banyak elite politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan mencari titik temu.

Dengan mendatangi elite politik Jawa Tengah bisa menjadi modal kuat untuk mendatangi diaspora Jawa di seluruh Indonesia, yang jika bersatu bisa memenangkan arena pilpres.

Dia mesti berlari lebih kencang untuk bisa sejajar dengan Gandjar Pranowo yang sudah identik dengan pemilih basis etnik Jawa. Kekuatan pemilih dari basis etnik Jawa ini sukses mengantarkan Jokowi memenangkan kompetisi pilpres dua periode.

Baca Juga: Senator Habib Banua Siap Maju di Pilgub Kalsel 2024

Kedua, Anies menyadari kalau ada sentimen negatif di kalangan pendukung Jokowi terhadap dirinya. Ini terkait dengan polarisasi di DKI Jakarta. Sentimen negatif itu harus dihilangkan dengan cara sering bertemu mereka yang punya afiliasi langsung dengan Presiden Jokowi.

Anies tahu dia mesti berbaik-baik dengan Presiden Jokowi dan pendukungnya, jika ingin menambah pundi-pundi dan bekal suara menuju arena pilpres. Dia tidak mungkin hanya menjaga basis massa fanatiknya di DKI. Dia harus lincah bergerak dan menemui banyak elite politik dan massa di berbagai daerah.

Ketiga, negosiasi politik. Di zaman kerajaan, negosiasi akan berjalan lancar jika Anda membawa persembahan, bisa berupa benda-benda berharga, bisa pula dengan membawa putri raja untuk dinikahkan.

Anies paham logika ini. Dia tak mungkin datang ke Solo untuk menemui Gibran jika tidak membawa satu tawaran. Banyak kalangan yang memprediksi kalau Anies akan membuka ruang agar kartu Jokowi tetap hidup, meskipun sudah tidak menjabat sebagai presiden.

Baca Juga: Ramai Beredar Mafia Tambang Libatkan Polisi, IPW Ragu KPK Dapat Menuntaskan Kasus

Sebagaimana pemimpin di masa kerajaan, kepentingan Jokowi adalah keberlanjutan dan kelanggengan dinasti. Dua hal tadi menjadi amunisi bagi Anies untuk mendapatkan atensi dari Presiden Jokowi.

Banyak yang menduga, Anies akan menawarkan Gibran semua sumber daya untuk menduduki kursi DKI 1. Bagi kubu Jokowi, tawaran ini tentu tidak mungkin ditampik. Sebab dengan menduduki kursi DKI 1, maka satu kaki sudah memijak di arena pilpres. Dengan menjadi DKI 1, maka semua mata anak bangsa akan fokus mengawasi sehingga popularitas bisa dikatrol dengan cepat.

Jika tawarannya bersambut, maka keduanya bisa sama-sama menangguk keuntungan. Jalan Anies ke kursi RI-1 akan semakin lapang. Jalan Jokowi untuk menjaga napasnya di dunia politik melalui anak dan menantu juga berjalan lancar, dan regenerasi kepemimpinan nasional juga bisa segera berjalan.

Pilpres 2024 memang menarik. Sebab ini pilpres terakhir bagi para pemain lama di jagat politik Indonesia. Ini pilpres terakhir bagi politisi sepuh seperti SBY, Megawati, Jusuf Kalla, Surya Paloh, hingga Prabowo Subianto. Pilpres ini adalah transisi untuk mempersiapkan generasi baru yang akan mewarnai politik Indonesia masa depan.

Baca Juga: Ramai-Ramai Tolak KAHMI Jadi Parpol: Sudah Tidak Orisinal!

Bagi kita, kalangan akar rumput, pilpres ini harus dilihat sebagai tontonan menarik. Sebagaimana kata sosiolog Emannuel Subangun, politik kita ibarat pasar di mana para politisi saling barter barang dagangan. Politisi sibuk dagang sapi.

Makanya, tak perlu baper. Tak perlu tengkar. Tak perlu teriak-teriak mendukung calon presiden hanya karena ideologi dan kesamaan visi. Lagi-lagi, ini pasar buah di mana para politisi adalah pedagang yang mengklaimnya buahnya terbaik, namun diam-diam isinya sudah busuk.

Kita menjadi penyaksi, yang diam-diam mencatat, sembari memelihara harapan agar Ïbu pertiwi tidak sedang bersusah hati. Kita menjaga agar agar air mata Ibu Pertiwi tidak semakin berlinang melihat anak bangsa saling jegal demi kekuasaan.