Politik

Ongkos Politik Mahal, Paman Birin-Muhidin Terancam Melawan Kotak Kosong

apahabar.com, BANJARMASIN – Sejumlah partai di luar koalisi Golkar diyakini kesulitan untuk mencapai kata sepakat. Duet…

Untuk menjadi seorang gubernur, para calon disebut harus merogoh kocek sebesar Rp100 miliar. Jumlah itu di luar kemampuan para penantang petahana. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Sejumlah partai di luar koalisi Golkar diyakini kesulitan untuk mencapai kata sepakat. Duet Sahbirin Noor-Muhidin pun dapat melenggang mulus.

Namun bukan tak mungkin, keduanya akan melawan kotak kosong dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan wakil (Pilgub) Kalsel, Desember mendatang.

Duet ini, sebelumnya, diprediksi banyak pihak bakal mampu menarik sejumlah dukungan partai yang memiliki kursi di parlemen ke gerbong koalisi mereka.

Sebut saja, Golkar dengan 12 kursi parlemennya di DPRD Kalsel, PAN 6 kursi, dan Nasdem 4 kursi. Itu belum termasuk 18 kursi, masing-masing milik PDIP dan Gerindra, yang masih dalam penjajakkan ‘Beringin’.

Berdasarkan peta hari ini, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik FISIP ULM, Samahuddin Muharam menilai, partai politik di luar koalisi masih berpeluang untuk mengusung jagoan mereka.

"Misalnya si A didukung oleh partai A, kemudian partai B juga akan ikut. Pihak yang tidak masuk koalisi petahana, paling tidak membentuk poros baru lantaran tak bisa mengusung sendiri," ucap eks ketua KPU Kalsel itu dihubungi apahabar.com, belum lama tadi.

Selain PDIP dan Gerindra, sejumlah partai di luar koalisi masih berpeluang untuk membentuk poros baru. Yakni, PPP dengan 3 kursi dan PKB 5 kursi.

"Nah, partai besar itu sudah cukup kursinya untuk mengusung satu pasangan bakal calon," katanya.

Namun jika tak menemukan titik temu, kata dia, maka kans petahana untuk melawan kotak kosong terbuka lebar. Terlebih hal cost politics.

Ongkos politik, kata dia, tentu tidak bisa dihindari. Namun ketika sebuah parpol yang memiliki bargaining atau nilai tawar namun tidak memiliki kader mempuni, juga tak mungkin mau memberikan dukungan secara gratis.

"Bisa jadi kader di internal parpol akan mempertanyakan. Khususnya mereka yang membesarkan partai, tapi tidak memiliki biaya politik, namun parpol bersangkutan justru memberikan kepada orang yang tidak mau membiayai secara politik. Sehingga kemungkinan tidak terjadi koalisi partai tersebut," bebernya.

Menyinggung soal ongkos politik, Wakil Ketua KPK kala itu, Laode M Syarif pernah bilang untuk menjadi kepala daerah diperlukan biaya yang cukup fantastis. Pernyataan Syarief berbasis kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Kita (KPK) melihat bahwa ongkos untuk menjadi kepala daerah itu besar,” kata ‎Syarief, kala itu.

Dari kajian LIPI, kata dia, untuk menjadi seorang bupati para calon mesti merogoh kocek minimal Rp60 miliar. Sementara untuk jabatan gubernur, para calon harus merogoh kocek sebesar Rp100 miliar.

“Ongkosnya memang mahal,” jelas dia. Sementara itu, hasil penelusuran media ini, rata-rata calon penantang petahana hanya tersedia sekitar Rp1 miliar saja di kocek mereka.

Dihubungi terpisah, Pengamat Politik Kalsel lainnya, yakni Paturahman Kurnain menilai tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik.

"Karena parpol-parpol kuat ingin mengakomodir calon dari kader masing-masing," terangnya mengenai kemungkinan melawan kotak kosong.

Mengenai cost politics, dosen muda Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini mengatakan semua relatif.

"Itu relatif dan tergantung momentum, sosio-ekonomi, kultural, lawan politik dan lain-lain," pungkasnya.

Selain nama Sahbirin, dan Muhidin, ada nama Denny Indrayana yang dikabarkan akan berpasangan dengan Difriadi Darjat.

Denny dikabarkan telah mengantongi dukungan dua partai, yakni Demokrat dan Gerindra. Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden SBY itu bisa cukup untuk memenuhi syarat 11 kursi parlemen.

Selain Denny, terbaru ada nama Rosehan NB. Eks wakil gubernur (wagub) Kalsel era kepemimpinan Rudy Ariffin itu tengah melakukan penjajakan dengan Ketua DPD PPP Kalsel Aditya Mufti Ariffin.

Diwawancarai media ini, Ovie, sapaan karib Aditya, masih tampak normatif.

“Pak Rosehan mantan wagub berarti beliau berpengalaman, dan beliau juga legislator,” ujar Ovie ditanya mengenai kans dirinya berpasangan dengan Rosehan di Pilgub Kalsel.

Namun begitu, Ovie tampaknya masih berpikir dua kali untuk maju di Pilkada. Mengingat putra Rudy Ariffin ini sebelumnya sudah menyatakan enggan mencalonkan diri di tengah pandemi Covid-19.

“Yang jelas sampai saat ini belum ada terpikir maju di tengah pandemi. Tapi ya lihat saja perkembangannya,” tutur eks anggota DPR RI itu.

“Yang jelas semua pelamar di PPP sudah kita teruskan ke DPP, apa keputusan DPP ya ditunggu aja, apakah memajukan kader atau mendukung salah satu calon,” pungkasnya mengakhiri.

Editor: Fariz Fadhillah