News

Ombudsman RI Temukan 3 Maladministrasi di BPJS Ketenagakerjaan

apahabar.com, Jakarta – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan tiga bentuk maladministrasi dalam pelayanan kepesertaan dan penjaminan…

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Hery Susanto. Foto-Istimewa

apahabar.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan tiga bentuk maladministrasi dalam pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. ORI juga menyampaikan sejumlah tindakan korektif yang harus ditindaklanjuti oleh BPJS.

ORI memberikan waktu bagi BPJS ketenagakerjaan selama 30 hari untuk merespon temuannya itu

"Berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, maladministrasi berupa tindakan tidak kompeten, penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial," kata Komisioner ORI, Hery Susanto dalam Konferensi Pers di Kantor ORI, Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Hery menyebutkan, bentuk maladministrasi tidak kompeten yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan di antaranya pelaksanaan akuisisi kepesertaan Penerima Upah (PU) dan Bukan Penerima Upah (BPU) tidak berjalan optimal.

Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal dalam mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

"Dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan di lingkup Kemnaker RI sangat terbatas dan hanya di level provinsi, berdampak lemahnya pengawasan dan penanganan pengaduan masyarakat,” kata Hery sapaannya.

Hal itu mengakibatkan rendahnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Masalah ini harus diselesaikan dengan perbaikan regulasi terkait.

“Selain itu harus ada perbaikan kualitas SDM BPJS Ketenagakerjaan dalam hal rekrutmen peserta dan pelayanan kepesertaan," ujar Hery.

Sedangkan bentuk penyimpangan prosedur yang ditemukan ORI di antaranya pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan.

Selain itu, perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Ditambah, belum dilaksanakannya upaya penyelarasan regulasi untuk optimalisasi akuisisi kepesertaan dan pelayanan klaim manfaat.

Menurut Hery, terkait klaim secara kolektif, dapat menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oknum. Padahal hubungan kepesertaan adalah antara kedua belah pihak yaitu antara pihak BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta.

“Maka proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak," ungkap Hery.

Sedangkan bentuk maladministrasi penundaan berlarut yang ditemukan Ombudsman RI adalah pelayanan pencairan klaim manfaat yang masih terjadi hambatan.

"Pengawasan dan pengendalian penjaminan sosial oleh pihak DJSN dan Dewas BPJS Ketenagakerjaan tidak berjalan optimal,” ungkap Hery.

Terjadinya problem pencairan klaim manfaat hendaknya menjadi perhatian untuk dibuatkan saran alternatif dan perbaikan pelayanan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

ORI memberikan sejumlah tindakan korektif yang harus dilaksanakan oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak terlapor.

Pertama, agar Dirut BPJS Ketengakerjaan melakukan sosialisasi dan kordinasi.

Melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan akuisisi kepesertaan pada sektor PU, BPU, pegawai pemerintah Non-ASN.

Termasuk program afirmasi Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan menyusun rencana dan penahapan akuisisi kepesertaan.

Kedua, agar menyiapkan struktur organisasi kerja dan SDM yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas.

Hal itu untuk mendukung terselenggaranya program yang diamanatkan oleh regulasi termasuk dalam merespons tuntutan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial.

Ketiga, agar berkoordinasi dengan pihak pemerintah, pelaku usaha dan pekerja dalam hal penetapan batas usia pensiun.

Tujuannya, agar menghasilkan regulasi dan ketetapan yang relevan mengenai batas usia penerima manfaat Jaminan Hari Tua.

Terakhir, ORI juga meminta agar BPJS Kesejahteraan konsisten dalam penggunaan nama BPJS Ketenagakerjaan sesuai undang-undang.

Selain itu, ORI juga memberikan tindakan korektif kepada Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku pihak terkait.

Diantaranya, agar Menko Bidang Perekonomian membuat perencanaan dan penyiapan peraturan pemerintah terkait program PBI.

Peraturan PBI erhadap pekerja yang berstatus penyandang masalah sosial, sesuai amanat pasal 19 ayat 5 huruf d UU 24 Tahun 2011.

Serta, menyusun perencanaan bagi penyempurnaan regulasi yaitu revisi Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.

Menko Bidang Perekonomian juga diminta untuk membuat perencanaan bagi penyempurnaan regulasi.

Mengusulkan kepada DPR RI untuk merevisi Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS .

UU yang mengatur sanksi administrasi bagi Pelaku Usaha yang tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS ketenagakerjaan.

Serta revisi Pasal 55 yang menyebutkan bahwa Pemberi Kerja tidak membayarkan iuran dengan sanksi ancaman pidana denda dan kurungan.

"Seharusnya bagi pelanggaran berupa tidak menjalankan kewajiban mendaftarkan Pekerja sebagai Peserta BPJS dapat diberikan sanksi yang setara berupa denda dan pidana," tegas Hery.

Kepada Ketua DJSN, ORI meminta agar bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan membuat kajian dan saran kepada Direksi BPJS Ketenagakerjaan.

Hal itu untuk efektifitas pengawasan dalam hal kepatuhan pembayaran oleh pihak perusahaan.

Kemudian, bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, menyusun saran dan arah kebijakan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

“Usul dalam hal pelayanan pencairan klaim manfaat oleh BPJS Ketenagakerjaan, agar proses dan prosedur pemberian jaminan sosial dilakukan secara cepat dan akuntabel.