Pembunuhan Brigadir J

Ngeri! Begini Simulasi Hukuman Mati yang Menanti Ferdy Sambo

Di Indonesia, pidana mati biasanya diperuntukkan bagi pelaku yang terlibat kasus narkoba, terorisme, juga pembunuhan berencana.

Ferdy Sambo. Foto-net

apahabar.com, JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi Ferdy Sambo dengan vonis hukuman mati. Sebabnya, mantan Kadiv Propam Polri itu dinilai bersalah dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

“Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujar Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso, Senin (13/2).

Ferdy Sambo sendiri bukanlah satu-satunya warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di negeri ini. Amnesty International mencatat sedikitnya terdapat 114 orang yang divonis pidana serupa sepanjang 2021.

Di Indonesia, pidana mati biasanya diperuntukkan bagi pelaku yang terlibat kasus narkoba, terorisme, juga pembunuhan berencana. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, mengatakan jenis hukuman ini kerap mengundang debat tiada ujung.

“Dalam soal hukuman mati, meski banyak pihak yang menentangnya, masih banyak pula yang mendukungnya. Pro dan kontra selalu muncul. Tiap kali ada pelaksanaan hukuman mati, tiap kali pula terjadi perdebatan,” katanya.

Apa yang disampaikan Topo bukanlah isapan jempol semata. Amnesty International, misalnya, menjadi salah satu pihak yang menentang hukuman mati untuk segala jenis kejahatan. Sebab, itu dinilai sebagai tindakan tidak manusiawi.

Mahkamah Konstitusi tak sejalan dengan pemikiran yang demikian. Pada 2007, sebagaimana dituturkan Topo, pernah dilakukan uji materi atas pidana mati pada UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 

Namun, Mahkamah Konstitusi, dengan sejumlah hakim melakukan disenting, menolak uji materi tersebut. Lembaga itu menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi lantaran UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia.

Atas dasar pemikiran itulah, sampai kini, hukuman mati masih menjadi salah satu pidana pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Eksekusi jenis hukuman ini pun diatur dalam Pasal 11 KUHP.

Beleid tersebut mengatur bahwasanya pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali di tiang gantungan pada leher terpidana. Lantas, menjatuhkan papan tempat terpidana itu berdiri. 

Namun, ketentuan Pasal 11 KUHP diubah dengan UU Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. 

Pasal 1 dalam UU tersebut mengatur pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan Peradilan Umum atau Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Lalu, ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Mekanisme eksekusi hukuman mati di halaman selanjutnya...

Lantas, seperti apa eksekusi hukuman mati di Indonesia?

Dalam beleid tersebut, dijelaskan sejumlah tahapan untuk mengeksekusi terpidana mati. Salah satunya, menjelaskan sang eksekutor terdiri dari 1 Bintara dan 12 Tamtama di bawah pimpinan seorang Perwira dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.

Regu penembak itu kemudian bersiap di lokasi eksekusi sedari dua jam sebelum pelaksanaan pidana mati. Mereka mengatur posisi serta meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana pada jarak 5 sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan.

Adapun di pihak terpidana, mereka bakal diberikan pakaian bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke lokasi pelaksanaan pidana mati. Ketika dibawa ke sana, terpidana berhak didampingi seorang rohaniawan.

Komandan Pelaksana kemudian melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan mengucap, "Lapor, pelaksanaan pidana mati siap." Jaksa eksekutor pun mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati. 

Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, "Laksanakan." Kemudian, Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, "Laksanakan." 

Komandan Pelaksana lantas memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.

Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.

Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan. Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak. 

Dokter pun memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan. Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati. 

Jaksa eksekutor memberikan tanda atau isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera melaksanakan penembakan terhadap terpidana. Komandan Pelaksana memberikan tanda kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.

Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana. Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata. 

Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak. Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.

Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana. Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir. 

Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana. Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai.”