Opini

Nadiem Makarim, ‘Tatangguhan’, dan Persiapan Masa Depan

NADIEM Anwar Makarim. Nama itu mungkin agak asing di telinga sebagian orang. Tapi jika disebut aplikasi…

Oleh admin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sebelum pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10). Foto-Kompas.com

NADIEM Anwar Makarim. Nama itu mungkin agak asing di telinga sebagian orang. Tapi jika disebut aplikasi gojek, kita akan langsung mengenalinya. Gojek merupakan sebuah perusahaan start up yang didirikan sejak 2010 lalu oleh Nadiem Makarim.

Ya, tidak lain dan tidak bukan. Nadiem adalah pendiri dari perusahaan ojek online tersebut. Gojek sendiri bertumbuh dengan sangat pesat. Hingga kini gojek tersedia di 50 kota seluruh Indonesia. Hingga tahun 2019, data terakhir menunjukkan sekurang-kurangnya aplikasi gojek telah diunduh tidak kurang dari 50 juta kali. Aplikasi yang tersedia di playstore dan iOS ini memiliki dampak dan pengaruh yang luar biasa terhadap pergerakan ekonomi di kota-kota besar, notabene kota yang memerlukan mobilitas cukup tinggi.

Namun, bukan gojek yang akhir-akhir belakangan ini sedang ramai diperbincangkan. Melainkan Nadiem. Namanya mencuat ketika ia dipanggil ke istana oleh Presiden Joko Widodo. Agaknya nama tersebut tidak akan menjadi asing lagi di telinga orang awam seperti saya dan sebagian besar khalayak Indonesia yang masih peduli terhadap dunia pendidikan. Pasalnya, dirinya diangkat Jokowi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Posisi yang cukup strategis untuk menentukan nasib anak bangsa, mau diarahkan ke mana pendidikan di negeri ini atau kurikulum baru apa lagi yang akan dipakai.

Jika para penikmat politik di negeri ini lebih menyorot nama Prabowo, karena sebelumnya terjadi ketegangan yang cukup kencang di antara para pendukungnya, tentang dirinya yang dimasukkan ke dalam kabinet Indonesia Maju. Saya akan lebih senang membahas soal Nadiem yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Isu pendidikan lebih asyik dibahas, ketimbang isu politik yang dari dulu hampir tidak pernah mengalami perubahan di negeri ini. Hanya membelah masyarakat menjadi salah dan benar, atau hanya menjadikan agama sebagai kendaraan politiknya.

Yang menjadi pertanyaan besar, mampu dan pantas kah seorang Nadiem diberi amanat untuk mengatur pendidikan di negeri ini?

Berkaca dari kesuksesan dirinya sebagai pendiri gojek, dapat bisa dipastikan bahwa ia menjadi representatif dari para kaum milenial. Saya rasa Nadiem pantas mengemban tugas sebagai menteri, teman-teman di luar pun tentu akan mendukung dengan sangat posisi Nadiem yang satu ini. Menteri dari kaum milenial, kapan lagi? Jika tidak pada masa pemerintahan Jokowi.

Namun agaknya, yang masih mengganjal ialah tentang penempatannya di kementerian, saya kira menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju ini akan mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi digital dan terobosan-terobosan baru di bidangnya. Karena tentu akan sangat mendongkrak sektor tersebut yang sedang digalakkan pemerintah di hampir semua daerah seluruh Indonesia, tidak terkecuali di Banjarmasin. Bahkan tema HUT Banjarmasin tahun ini salah satunya berhubungan wirausaha yang kreatif dan inovatif. Hal itu merujuk kepada penciptaan lapangan kerja baru yang lebih inovatif, termasuk di dalamnya ekonomi digital, seperti pembangunan perusahaan start up baru di banua. Tampaknya ‘tatangguhan’ saya meleset.

Agak terkejut ketika melihat daftar susunan kabinet yang baru, nama Nadiem dimasukkan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kali ini saya ingin berselisih pendapat dengan khalayak ramai.

Dalam wawancaranya di beberapa stasiun TV. Nadiem berbicara tentang masa depan, bahwa dirinya ada untuk mempersiapkan masa depan Indonesia, yakni generasi penerus bangsa. Serta meyakini dan percaya bahwa pilihan Jokowi tepat memilih dirinya sebagai menteri pendidikan.

Namun, ketika dirinya dicecar pertanyaan oleh wartawan mengenai rencana 100 hari ke depan.

“Dalam 100 hari saya akan duduk dan mendengarkan para pakar dan ahli”, jawabnya dalam pidato singkat di istana negara beberapa hari yang lalu. Ada sedikit keraguan tentang penjelasannya mengenai program 100 hari kerja. Awan kelam tampak menyelimuti pikiran saya saat itu ketika mendengarnya.

Enak sekali, dengan gaji dan tunjangan dari negara dalam tiga bulan hanya akan duduk dan mendengarkan. Mirip dengan pekerjaan anak magang di tempat kami. Mungkin saja ia berpikir bahwa gaji yang diberikan negara tidak lebih besar dari yang diterimanya ketika menjadi CEO gojek. Mungkin saja.

Saya sempatkan diri mencari-cari profil Nadiem di berbagai sumber untuk lebih dekat mengenal sosok Nadiem, namun sayangnya dilihat dari segi manapun dirinya kurang layak untuk dijadikan sebagai menteri pendidikan. Setidaknya itulah opini tegas dari saya.

Pria kelahiran Singapura, 4 April 1984 ini hanya mengenyam pendidikan di Indonesia dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, lalu melanjutkan pendidikan menengah atas di Singapura. Lepas dari SMA, Nadiem melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas Ivy League di Amerika Serikat.

Dalam hemat saya, hendaklah yang mengurus pendidikan di Indonesia ialah dia yang benar-benar menjalani pendidikan di Indonesia hingga selesai sampai bekerja. Sehingga lebih mengetahui medan tempur yang akan dijalaninya.

Tidak heran jika dalam 100 hari kerja ke depan ia hanya akan “duduk dan mendengarkan” para ahli. Bukankah Indonesia sekarang ini sedang kondisi darurat pendidikan?

Lihatlah di beberapa sosial media tentang bagaimana sikap murid terhadap gurunya. Bahkan di Banjarmasin beberapa minggu yang lalu sempat ada kasus seorang guru yang kena bogem mentah dari muridnya. Betapa kurang ajarnya sikap seorang murid seperti itu. Saya pun dulu termasuk murid yang nakal, namun tidak pernah melalukan hal-hal di luar batas kewajaran seperti itu.

Menurut saya pendidikan bukan hanya soal men-transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi budi pekerti. Bukankah itu yang diajarkan oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Kritikan di atas bukan mengartikan bahwa saya menyepelekan tugas seorang menteri pendidikan, hanya saja kurang nampol rasanya jika seorang yang ahli di bidang ekonomi digital tiba-tiba harus mengabdikan dirinya menjadi teladan bagi lebih dari 45 juta siswa di Indonesia.

Entah pertimbangan apa yang dipakai Jokowi dalam memutuskan hal ini. Adakah ini menjadi siasat baru dalam menanggapi merosotnya akal budi yang semakin hari tergrogoti oleh perkembangan zaman? Atau mungkin ini menjadi salah satu siasat politik dalam meraup dukungan milenial?

Kita tunggu saja jurus jitu di bulan keempat dari menteri milenial ini, setelah ia selesai duduk dan mendengarkan. (fix)

Baca Juga:Nadiem Ungkap 3 Alasan Penunjukannya sebagai Mendikbud