MUI: 'Serangan Fajar' Jelang Pemilu Hukumnya Haram

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh menegaskan 'serangan fajar' atau pemberian barang atau uang untuk memengaruhi pemilih pada pemilu hukumnya haram.

Ilustrasi politik uang 'serangan fajar.' (foto: memorandum.co.id)

bakabar.com, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan 'serangan fajar' atau pemberian barang atau uang untuk memengaruhi pemilih jelang pencoblosan di Pemilu hukumnya haram.

"Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal dengan melakukan serangan fajar. Hukumnya haram. Menerimanya yang kemudian mempengaruhi pilihan juga haram," kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Soleh yang dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (13/2/2024).

Dia mengingatkan para pemilih tidak boleh memilih karena semata-mata diberikan sogokan atau pemberian materi.

''Setiap warga negara diberi hak untuk memilih. Hak tersebut harus digunakan secara baik dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kepemimpinan publik yang baik,'' ujarnya.

Dia juga menegaskan, wajib memilih pemimpin yang memiliki kriteria mampu menjaga agama dan mampu mengurusi urusan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

"Pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi mengemban amanah kepemimpinan guna mewujudkan kemaslahatan," kata Asrorun.

Senada dengan Asrorun, Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis juga memastikan tindakan serangan fajar jelang pemilu hukumnya haram.

"Ya, serangan fajar dalam arti memberi sesuatu untuk mempengaruhi pemilih memilih calon tertentu adalah haram," katanya. 

Cholil menjelaskan serangan fajar bertalian dengan praktik politik uang atau money politics yang telah dikeluarkan fatwa haramnya oleh MUI.

Pemberian sesuatu barang untuk memilih capres atau caleg tertentu, padahal dia tak ingin memilihnya lantaran melihat ada calon lain yang lebih pantas, maka hal ini dikategorikan politik uang atau risywah.

"Haram artinya dosa. Diancam oleh Allah. Bahkan hadis menyebutkan orang yang memilih pemimpin, sementara  ada orang yang lebih pantas dan lebih tahu tentang agama dan kebaikan bangsa, tapi memilih yang tak lebih tahu dan tak lebih pantas karena dibayar, karena primordial, maka dia telah berkhianat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dan kepada orang mukmin," terang Cholil.

MUI telah mengeluarkan fatwa haram politik uang dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke VI yang digelar di Kalimatan Selatan tahun 2018 lalu.

Ketua Umum MUI kala itu, KH Ma'ruf Amin menjelaskan fatwa ini mengatur pemilih yang diarahkan untuk memilih orang lain dan dibayar hukumnya haram. Keduanya, baik orang yang diberi maupun pemberi melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan.

Selain itu, MUI juga pernah mengeluarkan fatwa haram terkait politik uang pada Musyawarah Nasional VI MUI tahun 2000 lalu yang berjudul 'Fatwa Tentang Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi) dan Hadiah kepada Pejabat'.

Fatwa ini intinya mengatur suap, uang pelicin, money politics dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah (suap) apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Kemudian, fatwa ini menyatakan memberikan dan menerima risywah hukumnya haram.(day)