Polusi Udara Jakarta

MTI Tawarkan Konsep 'Pull dan Push' Atasi Polusi Jakarta

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menawarkan solusi "pull and push" untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.

Arsip foto - Suasana gedung-gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta. Berdasarkan data IQAir, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menawarkan solusi "pull and push" untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.

Pakar transportasi dari Unika Soegijapranata tersebut mengatakan bahwa selama ini, solusi yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti work from home (WFH), "4 in 1" serta uji emisi kendaraan kebanyakan hanya menyentuh aspek "push", tetapi tidak menyentuh aspek "pull".

"Pemerintah sejauh ini sudah memberlakukan WFH, 4 in 1, atau juga uji emisi kendaraan. Nah itu semua hanya menyentuh aspek "push" atau hulu persoalan polusi," kata Djoko saat dihubungi di Jakarta, Kamis (24/8). Seperti dilansir antara.

Baca Juga: Tangani Polusi Udara, Tangsel akan Terapkan Car Free Day-Uji Emisi

Ia menyebut, solusi yang perlu diterapkan bukan hanya pada hulu, tetapi juga pada hilir persoalan, yakni dengan melengkapi angkutan umum pada kota selain Jakarta, dalam hal ini kota-kota penyangga.

Djoko menyebut, pencemaran udara di Jakarta meningkat kemarau pada Juni-Agustus 2023.

"Sumber polutan terbesar dari sektor transportasi (44 persen) dan sektor industri (31 persen)," kata Djoko.

Ia melanjutkan, data yang dihimpun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022, ada sekitar 25,5 juta kendaraan bermotor yang terdaftar beroperasi di DKI Jakarta.

"Sebanyak 78 persen di antaranya merupakan sepeda motor. Sepeda motor menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibandingkan mobil pribadi bensin dan solar, mobil penumpang, serta bus," kata Djoko.

Baca Juga: Tekan Polusi Udara, Indef: Butuh Transisi Energi!

Efisiensi kendaraan, kata Djoko, sangatlah penting.

"Jadi, kalau naik bus, kontribusi pada CO2 akan lebih kecil dibandingkan sepeda motor dan mobil pribadi," kata dia.

Wilayah DKI Jakarta, kata Djoko, sudah 88 persen didukung oleh angkutan umum dari Transjakarta.

"Jadi rata-rata, kalau warga DKI keluar rumah, maka tidak sampai 500 meter, warga sudah bisa menemukan angkutan kota (angkot) atau kalau berjalan kaki sedikit lagi, sudah bisa dapat bus Transjakarta," kata Djoko.

Pentingnya Kota Penyangga

Namun, lanjut Djoko, keadaan angkutan umum di kota-kota penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi tidak demikian.

"Ketersediaan transportasi umum di kota-kota penyangga itu tidak seperti di Jakarta. Hal tersebut bertemu dengan kenyataan bahwa penyumbang kendaraan bermotor ke Jakarta itu ya dari kota-kota penyangga itu juga," kata Djoko.

Meskipun di Bogor ada TransPakuan Bogor, kata Djoko, dan di Tangerang itu ada bus Tayo yang merupakan subsidi dari pemerintah, kota-kota lain tidak demikian.

"Oleh karena itu ditawarkan solusi "pull and push". Ciptakanlah seperti TransPakuan Bogor itu di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang," kata Djoko.

Ia melanjutkan, jaringan transportasi umum yang kemudian dibangun akan menembus semua wilayah perumahan di wilayah Bodetabek.

"Karena semua orang sekarang bergerak itu dari tempat tinggal. Jadi harusnya disediakan itu (jaringan transportasi umum) terlebih dahulu di kota-kota itu," kata Djoko.

Jadi, kata Djoko, dalam transportasi itu ada istilahnya transport demand management atau mengendalikan kebutuhan transportasi dengan cara strategi "pull and push".

"Pull-nya adalah menyediakan transportasi publik, menyediakan pedestrian yang bagus, syukur-syukur kalau bia disediakan jaringan sepeda," kata Djoko.

Baca Juga: Polusi Udara di Jakarta Terjadi Sejak 10 Tahun Lalu, Didiamkan Saja

Selanjutnya, kata Djoko, jika transportasi umum sudah tersedia di perumahan-perumahan kota penyangga, dan tetap tidak bisa beralih barulah diadakan "push-nya".

Strategi "push", kata Djoko, misalnya seperti yang sekarang diterapkan, seperti "ganjil-genap", atau tarif parkir yang semakin ke pusat kota semakin mahal, kemudian tarif pajak progresif dan solusi-solusi lainnya.

"Intinya strategi "push" itu menekas masyarakat untuk semakim sulit menggunakan kendaraan pribadi," kata Djoko.

Selain menyelesaikan polusi udara, kata Djoko, solusi "pull and push" juga dapat menyelesaikan masalah kemacetan.