Sejarah Saranjana

Misteri Saranjana: Jelajah Peta Muller dan Kerajaan Gaib

Saranjana memang tak bisa ditemukan pada peta Indonesia. Bila menilik perspektif historis, nyatanya eksistensi kota itu tergambar dalam sebuah peta

Peta Saranjana oleh Mulle (1845). Foto. Dok. Mansyur untuk apahabar.com.

apahabar.com, JAKARTA - Kota Saranjana barangkali hanyalah sebatas folklore yang kadung melegenda di Tanah Borneo. Eksistensinya begitu abu-abu; tidak tercatat secara administratif, pun nihil yang tahu di mana lokasi pasti kota tersebut.

Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa kota gaib itu terletak di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun, tetap saja, Kota Saranjana tidak tergambar dalam peta.

Ya, Saranjana memang tak bisa ditemukan pada peta Indonesia yang kini beredar luas di pasaran. Kendati begitu, bila menilik perspektif historis, nyatanya eksistensi kota tersebut adalah fakta lantaran pernah tercatat dalam sebuah peta.

‘Hilangnya’ Saranjana dari Peta Modern

Dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, mengatakan Kota Saranjana tergambar dalam sebuah peta buatan Salomon Muller – seorang naturalis Jerman yang kala itu melakukan perjalanan penelitian tentang binatang dan tumbuhan di Indonesia.

Peta itu dinamakan Kaart van de Kust-en Binnenlanden van Banjermasing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedelte van Borneo. Peta yang dibuat pada 1845 ini menggambarkan bahwa terdapat wilayah yang ditulisnya sebagai ‘Tandjong (hoek) Serandjana.’ 

Peta Saranjana yang dibuat oleh Muller (1844). Foto: Dok. Mansyur untuk apahabar.com.

“Tandjong ini terletak di sebelah selatan Pulau Laut. Tepatnya berbatasan dengan wilayah Pulau Kerumputan dan Pulau Kidjang,” papar Mansyur kepada apahabar.com, ditulis Minggu (8/1).

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan itu pun kembali melampirkan literatur yang memuat perihal Saranjana. Sumber kali ini adalah karya Pieter Johannes Veth berjudul Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie: bewerkt naar de jongste en beste berigten.

Kamus yang ditulis pada 1869 itu menyebut soal eksistensi Saranjana pada halaman 252. Veth menulis, "Sarandjana, kaap aan de Zuid-Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo's Zuid-Oost punt is gelegen.”

Bila diterjemahkan, kalimat tersebut berarti, “Sarandjana, tanjung di sisi selatan Pulau Laut, yang merupakan pulau yang terletak di bagian tenggara Kalimantan.” 

Mansyur tak menjelaskan lebih rinci alasan mengapa Saranjana ‘menghilang’ dari peta modern. Namun, dia menduga, hal ini dipengaruhi era pasca-kemerdekaan Indonesia. Kala itu, kata dia, terjadi banyak perubahan nama daerah dalam peta.

“Dalam peta terbaru setelah kemerdekaan, terjadi banyak perubahan nama nama daerah dalam peta. Demikian halnya di Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan,” jelas dirinya. Mansyur pun mencontohkan, “Saranjana sebagai nama tanjung, berubah nama sampai sekarang.”

Sejarah menarik Saranjana ada di halaman selanjutnya...
Sejarah yang Tercampur Peristiwa Alam Gaib

Selain lokasi yang tergambar dalam peta, Mansyur juga memaparkan adanya dugaan bahwa Saranjana semula adalah suatu negara suku. Hal ini merujuk pada Teori Kulke yang membagi formasi negara di Asia Tenggara dalam tiga fase.

Saranjana sendiri, kata Mansyur, tergolong sebagai negara suku yang ‘mati’ tanpa sempat mengalami masa transisi. Sebab itulah, upaya untuk mengungkap fakta Saranjana sangat bertumpu kepada historiografi tradisional, yakni legenda kerajaan Pulau Halimun.

Salah satu kawasan hutan di wilayah Saranjana. Foto: Dok. Mansyur untuk apahabar.com.

Informasi yang diperoleh dari cerita Legenda Pulau Halimun ditandai dengan sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada kronologis unsur waktu dalam urutan ceritanya. Sesuai legenda itu, masyarakat Saranjana sudah mengenal posisi kepala suku, namun belum memiliki birokrasi sebagaimana kerajaan yang ada dalam fase negara awal.

“Masyarakat Saranjana adalah masyarakat yang homogen. Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis, sesuai aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat,” jelas Mansyur.

Menurut dia, masyarakat Saranjana juga membangun tempat tinggal sementara sebelum pindah ke lokasi lainnya, seperti digambarkan H. Ling Roth pada pertengahan Abad ke-19. Daerah-daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saranjana meliputi Pulau Halimun (wilayah Pulau Laut) bagian selatan. 

Salah satu kawasan di dalam hutan Saranjana. Foto: Dok. Mansyur untuk apahabar.com.

Kerajaan Saranjana tidak pernah tercatat melakukan ekspansi atau perluasan wilayah, baik dengan peperangan maupun klaim wilayah kekuasaan. Mereka baru mulai pindah karena pengaruh berbagai faktor.

Sebagaimana dituliskan Schwaner dalam Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe (1851). Menurut Schwaber, "kisah-kisah tertua beredar sampai penduduk asli di tempat itu yang disebut Suku Dayak menjadi kaya dan kuat, serta hidup di kampung-kampung yang dikelilingi oleh kebun-kebun yang luas dan indah, di bawah raja-raja yang berasal dari mereka dan keturunannya.”

Dia melanjutkan, “Sejarah kerajaan itu tercampur dengan kisah berbagai peristiwa alam gaib, tindakan legendaris dan adat barbar dan berakhir dengan kehancuran daerah itu akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya."

Ribuan orang terbunuh, sisanya dipukul mundur sampai pegunungan tinggi. Barangkali karena tekanan, sampai sekarang mereka ketakutan dan bersembunyi, tinggal dalam beberapa keluarga dan tersebar di kampung-kampung kecil.