Kalsel

Meski Pandemi, Upacara Aruh Adat di Labuhan HST Tetap Sakral dan Unik

apahabar.com, BARABAI – Masyarakat adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) memiliki tradisi unik sekaligus sakral….

Proses memasak lemang saat Aruh Adat Baduduk yang digelar warga di Labuhan HST./Foto: Erwan for apahabar.com.

apahabar.com, BARABAI – Masyarakat adat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) memiliki tradisi unik sekaligus sakral. Khususnya masyarakat yang berada di sekitar Pegunungan Meratus.

Bulan ini masyarakat adat telah menuai hasil ‘bahuma’ atau menanam padi. Panen pun diakhiri dengan rasa syukur berbentuk aruh adat, suatu ritual kepercayaan masyarakat di sana.

Di Desa Labuhan Kecamatan Batang Alai Selatan (BAS) misalnya. Desa yang berjarak 23 kilometer dari pusat kota HST ini menggelar Upacara Aruh Adat Baduduk.

“Upacara ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena musim panen telah selesai,” kata Kepala Lembaga Adat Dayak Desa Labuhan, Suan, Jumat (4/6).

Upacara ini penting dilaksanakan. Sebab sesuai kepercayaan masyarakat, jika tidak dilaksanakan, pantangan bagi mereka untuk menggunakan hasil panen seperti memakan maupun menjual.

Sayangnya aruh ini berbeda dari sebelum-sebelumnya yang digelar secara besar selama berhari-hari. Kali ini acara hanya secara sederhana, satu hari satu malam. Maklum pandemi Covid-19 masih merebak.

Walau begitu masyarakat masih bersyukur meski tak dapat mengundang banyak warga adat di kampung lainnya. Mereka melaksanakan aruh adat hanya bersama keluarga terdekat.

“Kami melaksanakan aruh adat di rumah masing-masing tidak di balai seperti biasa yang dihadiri banyak tamu. Itu pun tetap menaati protokol kesehatan,” kata Suan.

Kesakralan dan keunikannya nampak masih tetap terjaga walau digelar sederhana. Masih ada makanan khas seperti lamang atau lemang yang bahan baku utamanya beras ketan.

Beras itu dimasak dengan cara dimasukkan ke dalam potongan-potongan batang bambu lalu dibakar dengan posisi didirikan secara berjejer.

“Kalau sebelum pandemi, bisa mencapai 400 hingga 500 bumbung (batang bambu-red). Kali ini hanya 150 bumbung. Beras yang biasanya mencapai 20 belek juga hanya 4 belek saja,” terang Suan.

Makanan-makanan yang disediakan berbahan ketan wajib ada dalam aruh adat. Itu ada filosofinya.

“Ketan memiliki filosofi kesejahteraan dan kerakatan (keakraban, red). Makanya ketan itu wajib ada. Jadi supaya rakat dan sejahtera,” tegas Suan.

Upacara ini belum lengkap tanpa sesajen. Masyarakat wajib mengadakan makanan seperti lamang, pupudak, dodol, ayam kampung, wajik, kelapa, dodol putih, cangkaruk, cucur, pisang amas, pisang paleng hingga gula merah.

“Kalau aruh besar biasanya ada hadangan (kerbau) dan kambing,” tambah Suan.

Selain itu, bunga tahun wajib ada dalam acara sakral ini. Bunga tahun merupakan bunga tahunan di Pegunungan Meratus. Bunga ini hanya mekar setahun sekali.

“Kami mempercayai, jika Bunga Tahun ini mekar, artinya ritual aruh adat harus dilaksanakan,” terang Suan.

“Itulah budaya dan kepercayaan yang dijunjung oleh warga dayak di desa kami ini, Desa Labuhan,” tutup Suan.

Sesajen yang disediakan dalam Aruh Adat Baduduk yang digelar warga di Labuhan HST./Foto: Erwan for apahabar.com.

Proses memasak lemang saat Aruh Adat Baduduk yang digelar warga di Labuhan HST./Foto: Erwan for apahabar.com.