Nasional

Mereka yang Menjunjung Tinggi Kode Etik Jurnalistik, Nyawa Pun Dipertaruhkan

apahabar.com, KUPANG – Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tengah bergema di Kalimantan Selatan. Bekerja sebagai jurnalis…

Ilustrasi. Foto-Akuratnews

apahabar.com, KUPANG - Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tengah bergema di Kalimantan Selatan. Bekerja sebagai jurnalis penuh lika liku, dan tentunya bukan hal yang gampang.

Begini kisah seorang jurnalis yang dikutip apahabar.com dari okezone.

Hari masih sangat pagi. Jam baru saja menunjuk pukul 09.00 WITA. Namun Arul (45) sudah bergegas memacu motor tuanya.

“Hari ini ada liputan, perintah kantor saya harus mewancarai Gubernur terkait suatu hal,” katanya sambil bergegas pergi.

Arul salah seorang jurnalis berstatus kontributor sebuah media yang kantornya berada di Jakarta. Karena berstatus kontributor, dia harus berjuang keras memenuhi perintah kantornya yang ditugaskan kepadanya.

“Ya, kalau diperintah kantor kan hasil liputan sudah pasti ditayang dan tentu akan ada imbas hasil buat saya,” katanya lagi saat berjumpa di tempat berkumpul sejumlah jurnalis.

Dia mengaku saban waktu harus memantau sejumlah informasi untuk menakar kelaikan agar dijadikan sebuah tulisan dan dikirim ke redaksinya.

“Kalau saya nilai layak saya bikinkan berita dan kadang saya harus berkoordinasi dengan pengampu saya di redaksi untuk memastikan layak tidaknya sebuah informasi untuk dijadikan berita,” katanya berkisah.

Tak mudah memang, menjadi seorang jurnalis berstatus kontributor. Terlalu banyak beban dipikul. Mulai dari beban menafkahi keluarga hingga beban malu kepada narasumber yang hasil wawancara gagal tayang.

Sebagai kontributor, kata dia, tak semua hasil liputan layak tayang. Banyak pertimbangan yang melatarinya versi redaksi. Alasan nilai sebuah berita kadang menjadi sandungan serius bagi gagal tayang sebuah hasil liputan di daerah.

“Meskipun kadang ada juga kejadian sama ditayang di media nasional lain dan di media saya tak tayang. Di sinilah saya merasa sedikit aneh. Nilai berita jenis apa yang dibutuh media saya,” kisahnya.

Di kondisi tak banyak hasil liputan yang ditayang itulah, kata Arul akan sangat berkonsekuensi lurus terhadap penghasilan bulanannya. Tak banyak (uang) yang akan -dia peroleh, meskipun saban hari, upaya untuk mencari dan mengemas isu liputan sudah dilakukan matang.

“Penghasilan tiap bulannya tak bisa menutupi biaya aktivitasnya tiap hari. Apalagi untuk membiayai kehidupan keluarga yang lebih besar. Harga yang dibayar untuk satu berita tayang pun kecil, bagaimana bisa penuhi seluruh kebutuhan saya dan keluarga,” katanya agak lirih

Tetap Junjung Tinggi Kode Etik

Di tengah kondisi yang dialami Arul itu, jurnalis matang ini mengaku akan tetap menjaga konsistensi, profesionalitas dan ingeritas dirinya sebagai jurnalis di setiap tugasnya.

Tata etik dan segala bentuk aturan yang telah menjadi garis pandu bagi para jurnalis tetap dia pegang teguh. “Kode etik jurnalis dan Undang-undang 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi pemandu saya beraktivitas tiap hari. Apapun alasannya,” katanya.

Dia mengaku tak akan tergiur dengan cara-cara dan praktik tak beretika seperti, meneror dan memeras meskipun tak beruang. Bagi ayah satu anak itu, harga dan martabatnya sebagai seorang manusia (jurnalis) harus tetap harum meskipun harus menikmati pahitnya hidup dengan kondisi ekonomi yang jauh dari layak.

Setidaknya menjadi jurnalis adalah pilihan untuk menjadikan dirinya pewarta adil bagi anak bangsa lainnya. Setidaknya ada hal baik di profesi jurnalis yang sedang dilakoni Arul dan teman-teman jurnalis lainnya.

Baca Juga:Kapok Lantaran Pernah Tak Hadir di HPN, Jokowi: Saya Pergi yang Ngejar Pers

Editor: Syarif