Tak Berkategori

Merasa Dipermainkan, Keluarga Napi Dikeroyok Oknum Sipir di Tanjung Harapkan Kebaikan Hati Hakim

apahabar.com, BANJARMASIN – Proses hukum lima sipir terdakwa pengeroyokan salah satu narapidana, Muhammad Gunawan alias H…

Oleh Syarif
Kusman Hadi (kiri), kuasa hukum napi yang dikeroyok oknum sipir di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II B Tanjung. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Proses hukum lima sipir terdakwa pengeroyokan salah satu narapidana, Muhammad Gunawan alias H Agun di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II B Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan (Kalsel) terus bergulir.

Hingga kini, terhitung sudah 7 kali kelima terdakwa, Wahyu Risdiana, Hartono Adi Nugroho, M Rifani, Delmi Febrian, dan Dwi Elkristiono menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tabalong.

Namun begitu, keluarga dan kuasa hukum korban, Kusman Hadi merasa banyak kejanggalan yang terjadi dalam proses hukum kelima terdakwa tersebut.

Salah satu yang janggal, kata Kusman, yakni tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) persidangan kepada para terdakwa.

Mereka dituntut Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Kusman menyayangkan apabila Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang dituntutkan pada para tersangka.

“Ancaman hukumannya hanya 6 bulan, ini sangat ringan. Tidak akan memberikan efek jera,” katanya.

Apalagi, kata Kusman, kelima sipir terdakwa apabila sudah inkracht akan menjadi warga binaan di tempat mereka bekerja atau Lapas Kelas II B Tanjung.

“Sudah hukumannya ringan, ditahan di tempat mereka bekerja lagi. Praktis mereka diperkirakan akan bisa bebas berkeliaran, bebas semaunya,” katanya.

Selain itu, Kusman kecewa, sebab jaksa mengamini hadirnya saksi ‘A de charge’ atau saksi yang ditunjuk oleh para terdakwa untuk melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditunjukan kepada kelima sipir.

“Yang janggal lagi, hadirnya saksi A de Charge, yakni Kepala Lapas Tanjung. Ya jelas antara pimpinan dan anak buah ada hubungan pekerjaan, ada kepentingan dan kesaksiannya tentu lemah, sebab beliau tidak melihat langsung kejadian tersebut,” katanya.

“Ini juga membuktikan dan membuat kita sadar bahwa kita hanya kaum kecil yang mencoba melawan betapa kuatnya birokrasi antara pejabat Lapas, pejabat Kejaksaan dan Kepolisian di Kabupaten Tabalong,” tambahnya.

Maka dari itu, kata Kusman, upaya terakhir dari pihaknya hanyalah meminta belas kasih daripada ketua majelis hakim untuk membuka hati nuraninya agar dapat melihat fakta persidangan dengan transparan.

“Kami meminta majelis hakim yang mempunyai hati nurani bisa menilai fakta persidangan bahwa perbuatan pengeroyokan yang dilakukan para terdakwa jelas terbukti,” katanya.

“Karena, dari hasil monitoring kami via zoom, baik keterangan saksi dan dari keterangan para terdakwa sendiri memang terjadi pemukulan, pemitingan, penendangan yang dilakukan bersama-sama. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil visum et repertum yang memang ada luka dan memar di tubuh korban serta masih merasakan sakit hingga saat ini,” lanjutnya.

Kusman berharap, kepada ketua majelis hakim persidangan untuk menjatuhkan hukuman yamg benar-benar setimpat kepada kelima terdakwa.

“Kami hanya rakyat kecil meminta agar para terdakwa dijatuhi hukuman seberatnya sesuai apa yang telah mereka perbuat serta diberhentikan dari pekerjaannya,” katanya.

Lebih jauh, Kusman juga berharap agar Lapas Kelas II B Tanjung menghentikan intimidasi terhadap narapidana yang memberikan kesaksian di persidangan.

“Sampai saat ini mereka masih diperlakukan buruk dan ditempatkan di strap cell. Padahal mereka hanya memberi kesaksian apa yang mereka lihat,” katanya.

Selain itu, kata Kusman, para saksi tersebut juga dikategorikan sebagai narapidana Register F sehingga tidak bisa mendapatkan hak remisi.

“Karena mereka melihat dan jadi saksi, menyampaikan fakta di persidangan, malah mereka tidak dapat remisi, mau itu remisi umum ataupun khusus, ini kan lucu. Ini sangat sewenang-wenang,” katanya mengakhiri.

Terkait hal tersebut, Kepala Lapas Kelas II B Tanjung, M Yahya mengatakan, ditempatkannya ketiga saksi di dalam strap cell bertujuan untuk upaya pengamanan. “Itu untuk upaya pengamanan agar mereka tidak mendapat intervensi, makanya kita taruh di sana,” ujarnya.

Kendati demikian, kata Yahya, ketiga saksi tidak diperlakukan layaknya narapidana yang di strap cell lantaran melakukan pelanggaran.

“Mereka tetap kami keluarkan, boleh senam dan segala macam,” katanya.

Soal ditetapkannya dua antara ketiga saksi sebagai register F, Yahya mengakui kalau hal tersebut benar adanya. Namun, ia membantah kalau hal tersebut dilakukan lantaran kesaksian yang diberikan oleh keduanya.

“Bukan karena memberikan kesaksian. Tapi karena mereka kedapatan membawa smartphone,” katanya.

Sedangkan satu saksi lainnya, dikategorikan sebagai narapidana Register H atau narapidana yang diasingkan sebab alasan keamanan.