Menyibak Histori Ramalan Cuaca dalam Hari Meteorologi Sedunia

Tanggal 23 Maret diperingati sebagai Hari Meteorologi Sedunia

Ilustrasi cuaca mendung di DKI Jakarta. Foto: apahabar.com/BS

apahabar.com, JAKARTA - Tanggal 23 Maret diperingati sebagai Hari Meteorologi Sedunia. Ini merupakan momen yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran perihal pentingnya ilmu yang mendalami cuaca dan atmosfer.

World Meteorological Day, begitu nama lainnya, ditetapkan beriringan dengan berdirinya World Meteorological Organization (WMO) pada 1950 silam. Ini adalah badan khusus yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sesuai namanya, WMO bertanggung jawab mengkoordinasikan kerja sama internasional dalam bidang meteorologi, hidrologi, beserta geofisika. Termasuk, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna ‘meramal’ cuaca di wilayah tertentu pada waktu mendatang.

Kebiasaan memprediksi kondisi atmosfer yang demikian, ternyata, sudah eksis sejak ribuan tahun silam. Sebut saja orang Babilonia, yang meramalkan cuaca dengan melihat pola-pola awan pada 605 SM.

Metode prakiraan cuaca kuno biasanya mengandalkan pengamatan terhadap pola-pola peristiwa. Semisal, jika warna langit berwarna merah saat matahari terbenam, keesokan harinya diperkirakan cerah.

Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, tidak semua prakiraan cuaca dengan cara ini terpercaya, mengingat tidak ada bukti secara ilmiah.

Gebrakan Telegraf, ‘Terangi’ Dunia Ramalan Cuaca

Prakiraan cuaca modern baru mulai berkembang saat telegraf ‘muncul ke permukaan’ pada 1873. Alat ini mampu menyampaikan informasi mengenai keadaan cuaca di sebuah wilayah secara instan.

Padahal, sebelum era 1840-an, manusia sangat sulit menyampaikan keadaan cuaca. Ilmu prakiraan cuaca kian maju berkat gebrakan dari tangan dingin Francis Beaufort juga rekan sejawatnya, Robert Fitzroy.

Beaufort merupakan sosok yang menciptakan skala beaufort. Sementara, Fitzroy adalah sosok yang mengembangkan barometer Fitzroy.

Kemajuan dalam ilmu meteorologi makin melesat, hingga puncaknya terjadi pada abad ke-20. Tepatnya pada 1922, Lewis Fry richardson mengajukan prakiraan cuaca numerik, yang lantas mulai masif digunakan melalui komputer pada 1955.

Sepak Terjang 'Peramal' Cuaca di Indonesia

Sejurus dengan munculnya telegraf pada 1840-an, pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia pun mulai berkembang. Tepatnya pada 1841, seorang kepala rumah sakit di Bogor, Dokter Onnen, melakukan pengamatan mandiri.

Barulah pada 1866, Pemerintah Hindia Belanda meresmikan kegiatan pengamatan perorangan itu menjadi sebuah instansi bernama Magnetisch en Meteorologisch Observatorium. Lembaga yang juga disebut Observatorium Magnetik dan Meteorologi itu dipimpin oleh Dr. Bergsma.

Tahun demi tahun, berbagai fasilitas pendukung prakiraan cuaca terus dibangun. Sebut saja pada 1879, sebanyak 74 stasiun pengamatan jaringan penakar hujan didirikan di Pulau Jawa. 

Pada 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan menambah jaringan sekunder. Selang tiga dekade kemudian, atau pada masa pendudukan Jepang antara 1942 sampai dengan 1945, nama instansi meteorologi dan geofisika diganti menjadi Kisho Kauso Kusho.

Selepas Indonesia merdeka, atau pada 1955, lembaga tersebut kembali ke dalam genggaman negeri ini. Namanya pun diubah menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika, yang lantas berganti lagi jadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sesuai Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008.