Opini

Menuju Sendratasik Berkarya IX: Adipati Karna dan Sumpah Setianya

Oleh: Novyandi Saputra, S.Pd, M.Sn DALAM setiap masa ada tokohnya, dalam setiap tokoh ada masanya. Ungkapan…

Pada malam pembukaan, 1 Januari ada penampilan flashmob dari Sendratasik berkarya 9 di Open Space Universitas Lambung Mangkurat, Sabtu 4 Januari mendatang. Pada hari terakhir, 4 Januari menjadi malam puncak di mana “Karna” akan dipentaskan pada malam itu. Foto-Istimewa

Oleh: Novyandi Saputra, S.Pd, M.Sn

DALAM setiap masa ada tokohnya, dalam setiap tokoh ada masanya. Ungkapan semacam ini seakan menjadi penanda bahwa ada sosok-sosok terpilih yang akan menjadi tokoh utama yang protagonist dan tentu juga ada tokoh yang antagonis.

Semua kejadian seakan selalu membandingkan antara yang baik dengan yang dianggap jahat. Padahal kita selalu bisa melihat dari banyak sudut pandang agar tidak melulu memaknai sesuatu dengan angapan sepihak saja.

Berbagai macam cerita epos yang dianggap legenda, mitos bahkan sejarah tak luput dari anggapan adanya tokoh-tokoh yang baik dan tokoh yang jahat.

Tokoh-tokoh tersebut dihadirkan sebagai penggambaran sesuatu yang menyeimbangkan, tentu hal ini juga dilandasi atas sebuah pesan moral bagi siapa saja yang membacanya atau mendengar ceritanya.

Semua manusia diharapkan mampu mengikuti jejak yang baik saja dan mengambil contoh jahat sebagai sebuah pelajaran yang tak harus dilakukan.

Karena anggapan seperti itu kita sering terlupa dengan tokoh-tokoh yang berada dekat dengan para tokoh utama dari kedua belah pihak. Peran yang mereka ambil sebagai bagian dari penyambung narasi cerita, posisi yang kadang sangat berkait dengan kedua bagian antara yang baik ataupun yang jahat.

Dalam cerita epos Mahabarata, kita bisa menyaksikan banyak tokoh-tokoh yang sangat memiliki peran seperti Sengkuni yang mengatur strategi adu domba antara Pandawa dan Kurawa, Begawan Durna yang memberikan segala kemampuan daan ilmunya baik kepada Pandawa dan Kurawa. Atau tokoh Bisma yang hadir sebagai awal dasar cerita.

Dalam epos mahabarata juga menarik melihat tokoh-tokoh lain yang memiliki cara berceritanya sendiri namun tetap menjadi bagian dari cerita besar mahabarata, sebut saja Adipati Karna.

Karna anak Kunti dan Batara Surya harus menanggung nestapa atas laku diri Kunti yang merapalkan mantra hingga hamil atas karunia dari Batara surya. Murkanya prabu Kuntiboja memaksa Dewi Kunti melepaskan anaknya dengan cara dilarutkan di sungai hingga sampai ke tangan seorang kusir kuda nagara Hastinapura.

Karna dewasa tumbuh sebagai seorang anak kusir, namun anugerah dari bapaknya sang Batara Surya tak terelakan. Karna memiliki ilmu dan kesaktian yang luar biasa namun tidak terasah.

Nasibnya yang dianggap anak kusir kuda membuatnya harus rela berlatih sendiri hingga mengalami penolakan dari Begawan durna sang Maha guru Kurawa dan Pandawa.

Karna tidak melulu soal keberpihakannya terhadap kurawa. Jauh lebih dalam karna adalah sebuah bukti tentang setia terhadap sumpah yang diucapkan. Karna seperti sebuah batu karang yang rela diterjang ombak, seperti dalang yang rela terpercik api dan minyak tanah balincung.

Karna yang rela bertempur melawan saudara-saudaranya bukanlah persoalan dendam saja, jauh dari itu karena adalah model bagaimana caranya merubah sistem yang kurang tepat dengan masuk ke dalam sistem itu. Memperbaiki dari dalam adalah jalan yang diambil Karna sang Surya Putra.

Cerita Karna menjadi tajuk utama yang diangkat oleh Mahasiswa Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP ULM melalui mata kuliah Manajemen dan produksi pertunjukan seni angkatan 2016-2017 pada tanggal 1-4 januari 2020.

Melalui karya ini Sendratasik ingin memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya menjaga nilai-nilai kesetiaan, keteguhan dan kejujuran karena persoalan benar dan salah tergantung pada perspektif masing-masing.

Bagi Karna menjaga sumpah atas nama Negara adalah tanda titik. Menjadi darma bgi hidupnya sebagai seorang pahlawan. Karna setia terhadap Hastinapura bukan karena Kurawa. Perjalanan kepahlawananya menjadi sebuah taulada yang penting pada masa sekarang ini. Karna adalah salah satu pahlawan dalam eops mahabarata yang ketika matinya dewa-dewa menyambutnya dengan wewangian nirwana.

Berkonsep dan mengandaptasi gaya pertunjukkan wayang kulit purwa Banjar dan Wayang gung akan menampilkan sebuah sajian drama tari dan musik. Pertunjukan ini berdurasi sekitar 60 menit melibatkan sekitar 60 pelaku seni (penari, aktor dan musisi). Tentu kita akan banyak mendengar dialog-dialog khas wayang Banjar, sinden (tambang) dalang, iringan gamalan yang berkolaborasi dengan combo band.

Karya ini menjadi representasi dari tumbuh dan berkembangnya Prodi Pendidikan Sendratasik sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Seni di Kalimantan Selatan. Selain itu tentu saja ini bagian dari kampanye Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP ULM dalam upaya menjadikan ULM sebagai Gerbang Budaya Banua dan Nusantara.

Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP ULM mengajak semua orang untuk hadir di ruang terbuka ULM bersama merayakan sebuah gerakan kultural melalui seni pertunjukan.

Saya secara pribadi mengajak semua orang untuk berhadir, menyaksikan sebuah perayaan kebudayaan melalui seni pertunjukan Karna di open Space ULM. Saling apresiasi menjadi titik paling penting pada masa sekarang ini terutama dalam momentum awal tahun 2020.

Semoga seni pertunjukan di Banua semakin bertumbuh apresiasinya, semakin berkualitas juga karya-karya seninya. Panjang umur budaya banua!!!!

"Tiada yang lebih penting dari menjaga sumpah setia bagi negara, meski harus bedarah di padang Kurusetra" Karna.

Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP ULM