Tak Berkategori

Menteri ESDM Kaji Fleksibilitas Skema Investasi Migas

apahabar.com, JAKARTA – Menteri ESDM Arifin Tasrif mengkaji fleksibilitas mengenai skema investasi minyak dan gas bumi…

Ilustrasi Kementrian ESDM. Foto-monitor.co.id

apahabar.com, JAKARTA – Menteri ESDM Arifin Tasrif mengkaji fleksibilitas mengenai skema investasi minyak dan gas bumi (migas) menanggapi sinyal positif meningkatnya investasi hulu migas semakin terbuka.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali mempertimbangkan hadirnya kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi (Cost Recovery) bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi bersama sistem fiskalGross Splitbagi para investor migas, menurut pernyataan resmi Kementerian ESDM di Jakarta, Minggu (01/12).

Arifin mengungkapkan perlu adanya evaluasi terhadap pola bisnis serta investasi di sektor migas. Evaluasi ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk segera memetakan regulasi yang menghambat laju investasi.

“Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang migas. Kami tanyakan, mana yang prefer, ada dua (Gross SplitdanCost Recovery),” ungkap Arifin menceritakan hasil pertemuan dengan para pelaku usaha sektor migas.

Sebenarnya skemaGross Splitpun menjanjikan. Pemerintah sendiri mewajibkan perusahaan migas menerapkan skemaGross Splitdi wilayah kerja baru dan terminasi sejak 1 Januari 2017.

Hingga saat ini, sudah ada 45 WK migas yang menggunakan skema tersebut, yakni 17 WK hasil lelang, 23 WK terminasi dan 5 WK amandemen. Dari jumlah tersebut, Pemerintah memperoleh dana eksplorasi sebesar 2,71 miliar dolar AS atau sekitar Rp40,7 triliun. Sementara untuk bonus tanda tangan sebesar 1,19 miliar dolar AS atau sekitar Rp17,8 miliar.

Namun kedua skema fiskal tersebut, sambung Arifin, memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing. Ada investor yang lebih memilih skema kontrakcost recoveryuntuk lapangan yang terletak di daerah sulit dan berisiko tinggi karena skema tersebut dinilai lebih rasional.

“Semakinriskdan daerahremote,mereka pilih PSC (Cost Recovery). Komponen PSC itu bisareasonable. Itu kami sudah pengalaman PSC. Meski PSC juga ada satu keluhan, tiap tahun perlu di-reviewdan prosesnya lama,” jelasnya.

Sebaliknya,Gross Splitdianggap lebih cocok untuk wilayah kerja eksisting karena memiliki tingkat kepastian bisnis yang lebih tinggi. “KalauGross Splitkan mereka senang terutamaexisting field,karena sumbernya sudah jelas, potensi jelas danrisk-nya kurang,” tegas Arifin.

Melihat pertimbangan tersebut, Pemerintah tengah mengkaji kedua penawaran ini lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis agar memperbaiki regulasi mengenai skema perhitungan bagi hasil yang terbuka. “Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang membahas revisi Permen ESDM,” kata Arifin.

Baca Juga: HUT Ke-2, KDM Sehati Rayakan dengan Sharing Peningkatan Kualitas Diri

Baca Juga: Diskriminasi Sawit Indonesia, Hipmi Dukung Jokowi Protes Eropa

Sumber: Antara
Editor: Aprianoor