Hot Borneo

Menolak Lupa Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN – Sudah 25 tahun berlalu, tragedi Jumat Kelabu 23 Mei 1997 masih saja membekas…

Massa dari LSISK bersama sejumlah organisasi mahasiswa Universitas Islam Negeri Antasari menagih janji pemerintah menuntaskan dugaan pelanggaran HAM dalam Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin. Foto-foto: Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Sudah 25 tahun berlalu, tragedi Jumat Kelabu 23 Mei 1997 masih saja membekas di benak publik Banjarmasin.

Setelah Sanggar Titian Barantai (STB) Uniska MAB, kini giliran Lingkar Studi Ilmu Sosial Kerakyatan (LSISK) bersama sejumlah organisasi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin menggelar aksi.

Bukan hanya mahasiswa, para elemen masyarakat sipil pun ikut turun ke jalan menggaungkan “Aksi Menolak Lupa Jumat Kelabu” di bundaran Hotel Arum Banjarmasin, Selasa (24/5) petang.

Dengan sejumlah poster bernada sindiran dan kecaman, disisipi beberapa kali orasi, massa aksi ingin kasus kekerasan HAM yang telah merenggut ratusan korban itu segera dituntaskan.

"Tuntaskan permasalahan kemanusiaan pada Tragedi Jum'at Kelabu," tegas Koordinator Aksi, Abdu Syahid.

Selain itu, mereka juga menuntut keadilan dalam kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswa Universitas Riau (Unri).

Massa dari LSISK bersama sejumlah organisasi mahasiswa Universitas Islam Negeri Antasari menagih janji pemerintah menuntaskan dugaan pelanggaran HAM dalam Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin.

Kasus tersebut sempat bergulir di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Namun pada akhirnya, Dekan Fisipol nonaktif Unri, Syafri Harto yang sempat dituduh melakukan dugaan pelecehan tersebut divonis bebas.

Hakim memutuskan Syafri Harto tak bersalah atas tuduhan pelecehan seksual kepada mahasiswi bimbingannya yang menjeratnya sejak November lalu.

Hakim menilai unsur dakwaan JPU tak terpenuhi, baik primer dan subsider. Atas dasar itu, hakim menyatakan Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan serta tuduhan yang menjeratnya dan Syafri Harto harus dibebaskan.

"Ini sebagai pemberian dukungan moril terhadap rekan yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus pelecehan seksual di Unri," tambahnya.

Selain itu, massa aksi mendesak pemerintah baik di daerah maupun pusat agar mewujudkan kebijakan yang berkeadilan dan peka terhadap kondisi riil rakyatnya.

Sehingga, kata Abdu, tak ada kesenjangan yang terus menumpukkan amarah dan kekecewaan rakyat.

Ia juga mengingatkan agar hentikan segala bentuk polarisasi politik tajam yang berpotensi menimbulkan kebencian kelompok.

"Kita mengajak semua elemen rakyat untuk mewujudkan harmonisasi hidup beragam dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika," ujarnya.

Di akhir aksi, massa menggelar doa bersama khususnya bagi para korban peristiwa Jumat Kelabu Banjarmasin.

Mereka berharap kerusuhan politik dan rasial itu tak lagi terulang. "Semoga para korban mendapat tempat terbaik, dan keluarga diberi ketabahan," pungkas Abdu.

Sebagai pengingat, 23 Mei, 25 tahun lalu, salah satu tragedi kemanusiaan terkelam dalam sejarah Indonesia menandai tumbangnya Orde Baru. Meminjam data Tim Pencari Fakta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebanyak 123 korban tewas, 118 orang luka-luka, dan 179 lain hilang.

Pusat pertokoan, kantor pemerintahan, tempat peribadatan, sekolah, hingga rumah warga, bahkan rumah panti jompo, dirusak, dibakar, dan dihancurkan.

Lebih lengkapnya, 1 gereja musnah dan 10 rusak berat, 151 rumah, 144 buah toko, 3 pusat perbelanjaan dan hiburan, 3 pasar swalayan, 5 bank, 4 kantor pemerintah, 1 sarana hiburan, 3 sekolah, 1 rumah jompo, 1 apotek, 36 mobil, dan 34 sepeda motor musnah terbakar.

Ratusan mayat dari kerusuhan tersebut dikuburkan secara massal di kompleks pemakaman Landasan Ulin Tengah, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru. Tragedi ini terkenang dengan nama “Jumat Kelabu 23 Mei”.

Sejarawan Kalsel, Mansyur menyebut jumlah korban tragedi Jumat Kelabu hingga kini belum bisa dipastikan sepenuhnya. Menurut versi kepolisian, kata Mansyur, ada 121 korban jiwa yang tersebar di beberapa tempat di Banjarmasin. Misalnya, di Siola Inti Mitra. Mitra Plaza, 2 korban ditemukan di Swalayan Srikaya.

Sejarah lengkapnya di halaman selanjutnya:

"Dari data itu, hanya 3 korban yang dapat diidentifikasi," kata akademikus Universitas Lambung Mangkurat ini, kepada apahabar.com, beberapa waktu lalu.

Sedang korban tewas versi pihak keamanan lainnya lebih besar lagi: 142 orang. “Versi pers yang menulis ada 133, 136, 142, 155, 156 dan 170 orang,” ujar Mansyur.

Perbedaan data, menurut Mansyur, mungkin saja terjadi. Sebab adanya perbedaan metode penghitungan. Serta, tambahan dari korban kerusuhan di luar dari yang tewas terbakar.

"Untuk yang luka-luka ada 118 orang. Berdasar data orang hidup yang berobat di sejumlah rumah sakit di Banjarmasin," timpalnya.

Bagaimana dengan jumlah korban hilang? Kata Mansyur, jumlahnya sebanyak 179 orang atau sama dengan data YLBHI, lembaga bantuan hukum yang digawangi Munir Said. Sekadar tahu, aktivis yang tewas diracun pada 2014 ini turun langsung menginvestigasi pelanggaran HAM pada peristiwa Jumat Kelabu.

Kembali ke korban hilang, kemungkinan jumlah itu sudah termasuk dengan jumlah korban tewas terbakar. Kemungkinan lainnya, mereka yang menyelamatkan diri dengan cara menyebrang sungai dan akhirnya tenggelam, yang tewas ditembak atau dibunuh dan kemungkinan mayatnya dibuang ke laut.

“Sehingga tak tercatat dalam jumlah korban terbakar," tuturnya.

Diakui YLBHI, kesulitan lain untuk menghitung jumlah korban jiwa sebab masih kuatnya represi ala orde baru. Sebagian besar saksi mata tidak berani buka mulut.

Bahkan untuk sekadar melapor ke anggota keluarga yang hilang sekalipun. Munir sendiri harus berpindah-pindah tempat tinggal selama melakukan investigasi di Banjarmasin.

Bermula dari Kampanye Golkar

Mengingat Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin: Amukan Massa hingga Memicu Runtuhnya Orde Baru (Bagian 2)

Sebagian pembaca mungkin sudah tahu mengenai alur kisah tragis ini. Sebagai pengingat, kerusuhan berawal saat kampanye putaran terakhir Pemilu 1997. Sekitar pukul 10.00, mengutip Muhammad Iqbal dalam “Amuk di Akhir Kuasa Orba: Detik demi Detik Jumat Kelabu Banjarmasin” (2021) yang diterbitkan Tirto.id, ribuan simpatisan Golkar sudah terlihat mendatangi Lapangan Kamboja, Banjarmasin.

Para simpatisan partai meraung-raungkan kendaraan di saat kumandang azan salat Jumat. Secara tak langsung tentu mengganggu kekhusyukan umat Islam yang sedang beribadah wajib.

Kesalahpahaman terjadi sesuai salat Jumat atau sekitar pukul 13.30 di sekitar Jalan Pangeran Antasari depan Masjid Agung Miftahul Ikhsan, di ujung perempatan Jalan Kolonel Soegiono, dan di depan Mitra Plaza sampai ujung Jalan Pangeran Samudera.

Konflik terjadi antara massa yang sedang mempersiapkan kampanye Golkar dengan sekelompok orang yang mungkin tidak suka dengan kebisingan mereka. Lalu terjadilah letupan kecil di depan Pos Polisi Sudimampir dan merambat sampai ke depan Masjid Noor Jalan Pangeran Samudera sekitar pukul 14.00.

Menurut Muhammad Habibi Darma Saputra dalam penelitiannya, "Peristiwa Kerusuhan Banjarmasin 23 Mei 1997" (2014), ada tiga versi tentang awal kerusuhan. Versi pertama menyebut bentrok terjadi di luar dugaan jemaah salat Jumat. Pada awalnya, jemaah hanya memberikan teguran kepada para anggota satuan tugas (satgas) Golkar yang mengamankan prosesi kampanye; namun anggota satgas Golkar, yang sebagian besar adalah preman, ternyata membawa senjata tajam dan menyerang jemaah hingga berlarian ke perkampungan di sekitar masjid.

Versi kedua menyebut bentrok terjadi karena ada tiga pengendara motor, yang merupakan anggota satgas, babak belur dipukuli jemaah. Mereka kemudian memacu motor menuju kantor DPD Golkar Kalsel untuk mengadu pada teman-teman mereka dan kembali menyerang balik dengan pasukan yang lebih banyak.

Kuburan Massal Korban Jumat Kelabu Sepi Peziarah

Versi ketiga menyebut bentrok terjadi selain antara tiga pengendara sepeda motor itu, di sekitar Masjid Noor, juga karena sudah banyak satgas Golkar yang menyaksikan teman mereka dipukuli. Mereka ikut membantu. Tapi simpatisan dan satgas, yang berjumlah 8 orang, terdesak oleh massa yang semakin menyemut.

Selepas kejadian di Masjid Noor, orang-orang semakin banyak turun ke jalan untuk melampiaskan segala kekesalan. Tujuan utama massa adalah mengobrak-abrik kampanye Golkar.

Massa pun menuju titik pusat kampanye, yaitu Kantor DPD Golkar dan Lapangan Kamboja, dan menyerang kedua tempat itu secara brutal. Penyisiran di Lapangan Kamboja dilakukan massa yang dari ciri-ciri fisiknya terlihat menggunakan atribut Partai Persatuan Pembangunan.

Mereka membubarkan dan “mengudeta” kampanye, sehingga suasana gembira berubah menjadi mencekam. Para penyerbu datang dengan membawa celurit—senjata tajam.

Ratusan peserta kampanye berlarian dan sebagian yang tidak sempat berlari dipaksa melucuti pakaian untuk melepaskan atribut Golkar. Jika ada yang melawan, penyerbu tidak segan-segan melukai.

Serangan terhadap kantor DPD Golkar terjadi dalam dua gelombang. Pada serangan pertama, massa mengejar simpatisan Golkar yang lari ke dalam kantor dan aksi saling lempar antara massa dan simpatisan Golkar pun terjadi. Karena kalah dalam jumlah massa, simpatisan Golkar lari terbirit-birit. Sebelum aparat keamanan berhasil meredakan amuk massa, lima mobil milik simpatisan Golkar yang berada di kantor DPD turut dibakar.

Serangan kedua terjadi pada pukul 18.00, saat halaman depan gedung kantor masih mengepul akibat terbakarnya mobil pada serangan pertama. Pada serangan kedua ini massa membakar bagian depan gedung dan memblokade jalan ke arah gedung itu, tujuannya agar pemadam kebakaran tak dapat masuk.

Tidak diketahui dari mana datangnya, kerumunan massa perusuh semakin lama kian membesar. Mereka datang dengan senjata tajam. Semua orang yang sudah terlanjur menggunakan atribut Golkar berlarian menyelamatkan diri.

Sementara setelah “mengudeta” kampanye dengan menyerang Kantor Golkar dan Lapangan Kamboja, dengan komando dari seseorang yang tidak diketahui, massa menuju tempat-tempat ibadah. Sekitar pukul 14.00, massa bergerak menuju ke arah Gereja Katedral. Mereka mengeluarkan semua isi gereja, merusak, dan membakar kursi dan meja di tengah jalan. Massa sebenarnya hendak membakar gereja, namun gagal karena tembok gereja tersebut terbuat dari beton tebal.

Setelah puas merusak dan membakar tempat-tempat ibadah, massa kemudian menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai sasaran amuk selanjutnya. Pertokoan di Jalan Lambung Mangkurat dan Pasar Lima menjadi sasaran utama. Selanjutnya, Gedung Junjung Buih Plaza yang berlantai delapan— yang di dalamnya terdapat pusat perbelanjaan, Hotel Kalimantan, dan kantor-kantor perbankan—dirusak, dijarah, dan dibakar. Beberapa karyawan Bank Lippo yang sedang berusaha menyelamatkan uang nasabah dikalungi celurit oleh massa. Para penyerbu pun menggasak semua uang itu.

Hermawan Sulistyo dalam “Anarki Enam Jam: Rekonstruksi Kerusuhan Jumat Membara di Banjarmasin” (1999) menjelaskan bahwa massa mengincar Hotel Kalimantan karena mereka mengetahui di dalam hotel itu terdapat KH Hasan Basri, yang memang pada saat itu menjadi salah satu sasaran amuk massa. Dalam kampanye terakhir itu, Golkar sendiri menghadirkan ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat itu bersama Menteri Sekretaris Kabinet Sya'dillah Mursyid.

Kedua tokoh masyarakat Banjar yang seharusnya ikut memeriahkan kampanye terpaksa mengurungkan niat. Sebab, jangankan menuju lokasi kampanye, untuk keluar dari hotel saja mereka kesulitan karena hotel sudah dikelilingi api. Rombongan ikut terkurung dalam kobaran api yang semakin besar. Tim evakuasi pun segera diterjunkan ke lokasi untuk menyelamatkan orang-orang yang masih terkurung di Hotel Kalimantan.

Beranjak pukul 20.30, massa mulai beramai-ramai ke arah Supermarket Mitra, pusat pertokoan terbesar di Banjarmasin. Di gedung berlantai empat ini terdapat toko-toko elektronik, komputer, diskotek, ruang pertemuan, showroom mobil mewah, toko buku Gramedia, KFC, Bioskop 21, dan sarana hiburan anak-anak. Massa berhasil masuk dengan menerobos blokade keamanan dan kemudian menjarah pusat perbelanjaan dan hiburan tersebut.

Kerusuhan berlangsung dari pukul 13.00 sampai pukul 20.00. Selama itu pihak keamanan seakan tak berdaya. Peristiwa itu menyebabkan 12 kantor, 10 toko dan tempat hiburan, 5 tempat ibadah, dan beberapa sekolah, panti jompo, serta rumah penduduk terbakar dan rusak.

Ratusan warga pun terdampak. Menurut Sejarawan Kalsel, Mansyur, ada 400 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan 4 ribu karyawan kehilangan pekerjaan akibat peristiwa itu. Selain itu, ada 21 mobil terbakar, 12 mobil rusak, 60 sepeda motor terbakar, dan 4 lainnya rusak. Korban meninggal akibat peristiwa nahas itu berjumlah ratusan orang, ratusan lain hilang, dan seratusan warga luka-luka.

"Belum termasuk mereka yang ditahan sebanyak 304 orang untuk menunggu proses selanjutnya. Banyaknya selisih antara jumlah korban yang meninggal atau korban yang dilaporkan hilang itu karena korban yang meninggal sebagian besar tidak dapat lagi dikenali karena hangus terbakar," ungkapnya.

Sejarawan, Budi “Dayak” Kurniawan, menilai peristiwa Jumat Kelabu sangat menggores perasaan masyarakat Kalsel. Menurut dia, sepanjang pemerintahan orde baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis di Kalsel, apalagi sampai memakan korban jiwa.

"Karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa," sahutnya. "Musuh-musuh orde baru menjadikan peristiwa 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Sampai saat ini, kasus ini belum jelas, siapa yang bertanggungjawab," beber mantan jurnalis Banjarmasin Post ini.

Budi juga mengatakan gejolak yang terjadi di Jakarta diikuti dengan seksama oleh aktivis di daerah, termasuk di Kalsel. Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin jelas mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta.

Mereka ingin Presiden Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak memimpin bangsa Indonesia. Besarnya tekanan para demonstran, merebaknya kerusuhan, dan terbentuknya opini yang diciptakan pers, menurut Budi, sangat menyudutkan pemerintah orde baru.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden. Dan sejak itu pemerintahan orde baru tumbang. Namun begitu, ingatan akan pahitnya tragedi ini masih membekas di sebagian warga Banjarmasin. Terutama yang menyaksikannya, seperti yang dikisahkan, Tajuddin Noor Ganie, seorang antologi kliping Jumat Kelabu kepada Radar Banjarmasin, apalagi aparat hanya bisa menangkap penjarah dan perusak kelas teri yang terbawa-bawa suasana kerusuhan. Bukan dalangnya.

Pandemi Covid-19, Makam Jumat Kelabu Makin Dilupakan