Mengupas Sejarah Soreng, Tentang Arya Penangsang dan Dendamnya pada Hadiwijaya

Gerak rampak tarian dengan iringan musik bertalu-tali memecah keheningan di kaki Gunung Merbabu. Rias wajahnya tegas, perawakannya tegap bak prajurit yang siap

Tari Soreng khas Magelang yang ditampilkan Sanggar Kinnara Kinnari di Desa Bahasa.

apahabar.com, MAGELANG - Gerak rampak tarian dengan iringan musik bertalu-tali memecah keheningan di kaki Gunung Merbabu. Rias wajahnya tegas, perawakannya tegap bak prajurit yang siap berperang.

Masyarakat menyebut tarian itu Soreng, kesenian yang melambangkan keprajuritan Jipang Panulang Haryo Penangsang.

Dalam geraknya para penari penuh ekspresi dan energi sebagai petarung masyarakat gunung dalam menghadapi tantangan alam.

Baca Juga: Menyusuri Tradisi Nyadran di Lereng Damalung

Tari Soreng menurut sejarahnya pertama kali diciptakan oleh masyarakat Desa Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, yang terletak di lereng Gunung Merbabu.

Pegiat sejarah Dani Saptoni (45) menuturkan, gerak pada soreng menceritakan konflik dan peperangan antara Kadipaten Jipang Panolan dan Kesultanan Pajang.

"Tarian Soreng diciptakan dengan mengangkat kisah yang tertulis pada Babad Tanah Djawi tentang prajurit Kadipaten Jipang Panolan pimpinan Adipati Arya Penangsang yang melawan Sultan Hadiwijaya," tuturnya.

Cerita Fragmen Soreng

Secara rinci, pertempuran Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya yang digambarkan pada tarian Soreng yang memperebutkan tahta kekuasaan.

Dani menuturkan pada Babad Tanah Jawi tertulis, Aryo Penangsang merupakan adipati di Kadipaten Jipang Panolan, Jawa Tengah yang memiliki watak adigang adigung adiguna dan pendendam.

Dendam Aryo Penangsang berkobar ketika ayahnya, Raden Kikin tewas di tangan Sunan Prawata dalam sebuah peperangan yang memperebutkan tahta Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana.

Baca Juga: Kompleks Pemakaman Gunungpring Magelang Ramai Dipadati Peziarah

"Namun dalam pergantian tahta tersebut, Sunan Prawata akhirnya dinobatkan sebagai Sultan Demak," jelas Dani saat dihubungi apahabar.com, Minggu (19/3).

Atas dasar tersebut, sambung Dani, Arya Penangsang ingin merebut tahta Demak dari Sunan Prawata untuk mengembalikan haknya.

Dengan demikian, keinginan itu bukan muncul begitu saja, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.

Guna menuntaskan dendamnya, Arya Penangsang mengutus pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Sunan Prawata. Ia berharap setelah Sunan Prawata meninggal tahta jatuh ke tangannya.

Arya Penangsang pun berusaha menyusun kekuatan prajuritnya dan berlatih keras setiap hari di alun-alun untuk mempersiapkan peperangan.

Prajurit tersebutlah yang dikemudian hari dikenal dengan Soreng atau pasukan dari Arya Penangsang. Puncaknya, pada suatu hari, saat latihan perang sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah seorang pekatik (pencari rumput untuk kuda) kadipaten yang diperung (dipotong daun telinganya) dan diikatkan surat tantangan pada telinga yang sebelah.

Kejadian tersebut sontak memicu amarah Arya Penangsang hingga mengobarkan peperangan.

Pakaian dan waktu penampilan

Penasehat Kesenian Tari Soreng, Taryono (65) mengatakan kostum atau busana yang dikenakan para pemain Soreng cukup unik.

"Pakaian yang digunakan penari soreng menggunakan jarik bermotif parang berwarna putih dengan ikat kepala, celana panjen, stagen, sabuk cinde, dan kalung kaje," tuturnya.

Sedangkan untuk rias, para pemain Soreng akan merias sendiri wajahnya dengan karakter tegas dan rona wajah merah. Namun tiap tata rias yang dipilih harus sesuai dengan karakter dan sifat tokoh yang akan dimainkan.

“Ada soreng patih, soreng rono, dan soreng rangkut. Masing-masing soreng punya fungsinya sendiri. Jadi yang membedakan hanya kostum dan ikat kepala,” jelas Taryono.

Baca Juga: Sambut Ramadan, Warga Cungking Banyuwangi Gelar 'Resik Lawon'

Menurut Taryono, tanggapan (permintaan pentas) Soreng bisa dikatakan dari warga biasa hingga instansi pemerintah.

Pementasan biasa dilakukan pada saat sadranan (upacara menghormati keluarga yang telah meninggal), merti dusun (bersih desa/selamatan desa/sedekah bumi), upacara pernikahan, sunatan, acara di instansi pemerintah, dan festival kebudayaan.

Sedangkan untuk biaya pementasan, Taryono mengatakan, tidak ada patokan khusus, namun diminta untuk mengganti operasional, antara Rp2 juta sampai Rp3 juta. Sedangkan untuk instansi pemerintah Rp5 juta-Rp10 juta termasuk transportasi dan konsumsi.