Kalsel

Mengupas Problem Banjir Kalsel: Ratusan Eks Lubang Tambang di DAS Barito Terendus!

apahabar.com, BANJARBARU – 168 void atau eks lubang tambang bertebaran di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)…

Jatam menyebut hampir dari separuh wilayah Kalsel telah dikuasai industri ekstraktif. Foto: Jatam/Twitter

apahabar.com, BANJARBARU – 168 void atau eks lubang tambang bertebaran di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito, Kalimantan Selatan terendus.

“Data pemerintah daerah mencatat terdapat void di lokasi DAS Barito sebanyak 168 void eks lubang tambang,” ujar Sekretaris Daerah Kalsel Roy Rizali Anwar, dalam rapat terbatas di Ruang Aberani Sulaiman, belum lama ini.

Meski begitu, Roy belum berani memastikan bahwa tambang sebagai faktor utama pemicu banjir terparah dalam sejarah Kalimantan Selatan ini. Ratusan void itu, klaimnya, telah ditutup Pemprov Kalsel.

Terlebih perkara aktivitas tambang. Perizinannya telah beralih ke tangan pemerintah pusat.

Sejak Desember 2020 silam, semua izin usaha pertambangan (IUP) bukan lagi kewenangan daerah.

“Sejak itu 623 IUP yang dicabut dari 924 IUP yang diterbitkan oleh kabupaten atau kota,” lanjut Roy.

Pasal 35 (1) UU Mineral dan Batu Bara Nomor 3/2020, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Soal pemicu utama banjir Kalsel, Roy bilang pihaknya perlu kajian mendalam.

“Perizinan kebun belum terlihat sebagai faktor utama. Perizinan tambang juga,” beber kepala Dinas PUPR Kalsel ini.

Perizinan tambang secara luasan hanya 37 ribu hektare dari areal izin 55 ribu hektare sejak 2008.

Analisisnya, pada wilayah tambang ini termasuk oleh masyarakat seluas 104 ribu hektare. Roy menyebut Kalsel memiliki total lahan kritis 600 ribu hektare sejak 2016.

“Tentang ini, UU Cipta Kerja sudah mengaturnya pada pasal 105. Pemerintah akan mengambil langkah-langah ke depan. RPP sudah disusun dalam konsultasi publik,” terang dia.

Bagaimana dengan temuan ratusan void?

Pemprov Kalsel, kata dia, akan mempelajari secara mendalam bersama pemerintah daerah.

“Untuk mengatasi ini, sedang disiapkan perancangan untuk penanganan pasca-tambang. Kondisi ini terus didalami dan kita koordinasi dengan menteri terkait,” ujar Roy.

Kondisi ekstrem banjir, Roy menilai lebih disebabkan anomali cuaca dengan intensitas tinggi.

Roy kemudian membeberkan data curah hujan harian pada tahun ini.

Tercatat ada peningkatan curah hujan hingga 8-9 kali lipat. Normal curah hujan pada Januari 2020 adalah sebesar 394 milimeter. Sedangkan curah hujan harian pada rentang 9-13 Januari 2021 sebesar 461 milimeter.

“Air hujan yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar kubik. Kapasitas sungai kondisi normal hanya sebesar 238 juta meter kubik,” sebut dia.

Wilayah banjir terparah meliputi kabupaten Banjar, Tanah Laut dan Hulu Sungai Tengah.

Debit sungai di Kabupaten Tala mencapai 645,56 meter kubik per detik. Padahal, kapasitasnya hanya 410,73 meter kubik per detik.

Di Kabupaten Banjar, debit sungai normal 211,59 kubik per detik. Sementara kapasitasnya hanya 47,99 meter kubik per detik.

Lalu, di Kabupaten HST tercatat debit sungai mencapai 333,79 meter kubik per detik. Padahal kapasitas sungai hanya 93,42 meter kubik per detik.

“DAS ini merupakan kawasan hutan yang hanya 40 persen selebihnya adalah kawasan penumpukan bagi masyarakat sekitar 60 persen,” tutur Roy

Overstroomde Straat te Barabai, Kisah Banjir Barabai 13 Januari 1928

Kondisi anomali cuaca atau banjir ekstrem pernah terjadi di daerah tangkapan air Barabai pada 1928 lalu. Kondisi ini bisa jadi merupakan periode ulang seratus tahun.

“Hal ini yang akan dijadikan dasar untuk memperhitungkan perencanaan ke bendungan-bendungan atau DAM yang akan kita bangun di Kalsel,” lanjutnya

Lokasi banjir merupakan daerah datar, elevasi rendah dan bermuara di laut. Sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah.

Sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dalam volume besar. Sementara, daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai.

“Sedang dipelajari potensi kondisi rob dari permukaan air laut yang naik karena perubahan iklim yang terjadi. Mengantisipasi wilayah banjir, ini sedang didalami oleh tim pemda bersama teknis lainnya,” tukas Roy.

Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalsel, Isharwanto menambahkan pihaknya sudah mati-matian mengatur pertambangan yang ada di Kalsel.

“Dari 924, kita sudah mencabut 623 IUP. Juga masalah void, 278 itu luasnya 49. Kita sedang menunggu PP dari pusat,” ujar Keli, sapaan Isharwanto.

Potensi banjir, sambungnya, tak hanya diakibatkan aktivitas pertambangan semata.

Kelik kemudian menyinggung kurangnya kedisiplinan masyarakat untuk membuang sampah di tempatnya.

“Jangan hanya disalahkan perkebunan dan tambang, masyarakat juga sama. Kita belum disiplin, buang sampah masih di sungai,” imbuh dia.

Industri Ekstraktif

Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) menyebut industri ekstraktif menguasai hampir separuh dari total luas lahan wilayah Kalsel.

“Temuan 168 void itu jauh lebih banyak. Lubang dan konsesi tambang terbesar berada di hulu sungai Balangan dan lain-lain. Yang semuanya bermuara ke Sungai Barito,” ujar Koordinator Divisi Simpul Perlawanan Jatam Nasional, Seny Sebastian dihubungi apahabar.com.

Di DAS Balangan-Tabalong terbesar serta paling banyak titik banjir. Sembilan titik banjir di Sungai Tabalong, sebut Jatam, berada di sekitar konsesi PT Adaro.

“Jejak Adaro di Kalsel begitu nyata, namun tak ada penegakan hukum. Kekayaan Kalsel dikeruk untuk keuntungan korporasi, rakyat dan lingkungan dikorbankan,” ujarnya.

Luas wilayah Kalsel 3,7 hektare. Catatan Jatam, 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.

IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan. Sementara Non-CnC sebaliknya.

Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah, seperti dikutip dari Tirto.id, menilai komitmen pemerintah mengantisipasi bencana nihil.

"Tidak ada itu. Rakyat sudah jatuh tertimpa tangga, kena pandemi dan banjir," ujarnya.

Lebih jauh, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.

Walhi sudah berulang kali mengingatkan pemerintah bahwa Kalsel telah darurat ruang, dan bencana ekologis.

“Sudah kita ingatkan dari tahun lalu,” ujar Kisworo kepada apahabar.com.

Senada dengan Jatam, Walhi meminta pemerintah menghentikan pemberian izin tambang, dan perkebunan sawit.

“Pemerintah jangan hanya menyalahkan hujan saja, panggil perusahaan-perusahaan tambang yang bermasalah,” ujar Kisworo.

Poinnya, Walhi meminta penegakkan hukum bagi pelaku kejahatan lingkungan terutama terhadap korporasi bermasalah terus digalakkan.

“Kami mendesak pemerintah pusat dan daerah membentuk Komisi Khusus Kejahatan Tambang, dan Pengadilan Lingkungan,” katanya, kepada apahar.com.

Tembus 340 Jiwa

Warga antre untuk mendapatkan paket bantuan sembako Presiden Joko Widodo di Desa Pekauman Ulu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Foto: Detik.com

Hasil analisis perubahan penutup lahan di DAS Barito Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), menyimpulkan hutan primer, hutan sekunder, sawah, dan semak belukar menyempit dalam kurun waktu 2010-2020.

"Masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektare, 116 ribu hektare, 146 ribu hektare dan 47 ribu hektare," ujar Kepala Lapan Thomas Djamaluddin, dilansir Tirto.

Berbanding terbalik dengan itu, perkebunan meluas signifikan sebesar 219 ribu hektare. Menurutnya, perubahan penutup lahan ini memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito.

"[Gambaran ini] dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari," imbuhnya.

Sebagai pengingat, hingga Selasa kemarin (19/1), banjir yang melanda Kalimantan Selatan telah berdampak pada 349.070 warganya.

Bahkan, sebanyak 77.890 warga di 11 dari 13 kabupaten atau kota terpaksa mengungsi. Banjir merusak 62.638 rumah, 14 jembatan, 58 rumah ibadah, 48 sekolah dan lebih dari 68 jalan.

Sampai hari ini, bencana ekologis tersebut sudah menelan 15 korban jiwa. Mereka berasal dari Tanah Laut 7 orang, masing-masing 3 orang dari Banjar, dan HST, serta 1 orang masing-masing dari Banjarbaru, dan Tapin.

Terparah dalam Sejarah, Jokowi Blakblakan Biang Kerok Banjir Kalsel