Kalsel

Mengingat Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin: Amukan Massa hingga Memicu Runtuhnya Orde Baru

apahabar.com, BANJARBARU – Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, masih menjadi kenangan buruk bagi masyarakat…

Peristiwa Jumat Kelabu Banjarmasin pada 23 Mei 1997. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARBARU – Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, masih menjadi kenangan buruk bagi masyarakat Banua.

Amukan massa yang tak terkendali menyebabkan ratusan jiwa melayang, puluhan gedung terbakar, dan konon peristiwa ini menjadi salah satu pemicu tumbangnya rezim orde baru.

Sejarawan Kalsel, Mansyur, mencoba mengingat kembali tragedi paling memilukan yang terjadi 24 tahun yang lalu. Dia bercerita terjadinya peristiwa itu tidak bisa dilepaskan dari situasi politik Indonesia.

Dia bercerita saat itu partai Golkar akan menggelar kampanye terakhir secara besar-besaran. Kampanye itu rencananya akan dihadiri Menteri Sekretaris Kabinet Drs H Sya'dill Mursyid dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Kiai Hassan Basri.

Pagi menjelang siang, massa partai berlambang pohon beringin melaksanakan pawai menuju lokasi kampanye di lapangan yang berada di Jalan Kamboja.

Mereka kemudian melintasi ruas jalan di depan Masjid Noor. Setiap salat Jumat, jalan tersebut biasanya ditutup untuk menampung sebagian jemaah yang tidak kebagian tempat di dalam masjid.

Saat salat belum sepenuhnya usai, raungan suara sepeda motor yang melintas di kawasan itu mulai memicu kemarahan jemaah masjid.

Lantas, warga yang marah langsung mengejar simpatisan Golkar yang sedang menggelar pawai. Simpatisan lainnya yang berada di Lapangan Kamboja akhirnya juga dibubarkan yang diikuti dengan dibakarnya atribut Golkar.

“Warga tidak peduli laki-laki atau perempuan. Orang yang mengenakan kaos kuning, dipaksa melepaskan pakaiannya di bawah ancaman senjata tajam, seperti celurit, golok dan sebagainya,” kata Mansyur kepada apahabar.com, Minggu (23/5/2021).

Massa yang tak terkendali kemudian mengalihkan sasarannya ke kantor-kantor, rumah ibadah, toko, tempat hiburan, hotel dan bangunan lainnya.

“Mereka melempari kaca-kaca, membakar mobil dan bangunan serta menjarah isi toko dan supermarket. Kejadian berlangsung dari pukul 13.00 sampai pukul 20.00 Wita. Selama itu pihak keamanan seakan tak berdaya,” jelasnya.

Peristiwa itu menyebabkan 12 kantor, 10 toko dan tempat hiburan, 5 tempat ibadah, dan beberapa sekolah, panti jompo, serta rumah penduduk terbakar dan rusak.

Ratusan warga pun terdampak. Menurut Mansyur, ada 400 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan 4 ribu karyawan kehilangan pekerjaan akibat peristiwa itu.

Selain itu, ada 21 mobil terbakar, 12 mobil rusak, 60 sepeda motor terbakar, dan 4 lainnya rusak.

Korban meninggal akibat peristiwa nahas itu berjumlah 135 orang. 164 orang lainnya hilang, dan seratusan warga luka-luka.

“Belum termasuk mereka yang ditahan sebanyak 304 orang untuk menunggu proses selanjutnya. Banyaknya selisih antara jumlah korban yang meninggal atau korban yang dilaporkan hilang itu karena korban yang meninggal sebagian besar tidak dapat lagi dikenali karena hangus terbakar,” ungkapnya.

Terpisah, seorang jurnalis, Budi Dayak Kurniawan, menilai peristiwa Jumat Kelabu sangat menggores perasaan masyarakat Kalsel.

Sebab, menurut dia, sepanjang pemerintahan orde baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis di Kalsel, apalagi sampai memakan korban jiwa.

Dia memandang peristiwa ini makin melemahkan posisi orde baru di mata masyarakat.

“Karena di beberapa daerah
yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa,” sahutnya.

“Musuh-musuh orde baru menjadikan peristiwa 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Sampai saat ini, kasus ini belum jelas, siapa yang bertanggungjawab,” beber mantan wartawan Banjarmasin Post ini.

Dia juga mengatakan gejolak yang terjadi di Jakarta diikuti dengan seksama oleh aktivis di daerah, termasuk di Kalsel.

Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin jelas mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta.

Mereka ingin Presiden Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak memimpin bangsa Indonesia.

Besarnya tekanan para demonstran, merebaknya kerusuhan, dan terbentuknya opini yang diciptakan pers, menurut Budi, sangat menyudutkan pemerintah orde baru.

Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Dan sejak itu pemerintahan orde baru tumbang.