Kalsel

Mengingat Tragedi Jumat Kelabu Banjarmasin: Amukan Massa hingga Memicu Runtuhnya Orde Baru (Bagian 2)

apahabar.com, MARTAPURA – Peristiwa kerusuhan di Banjarmasin pada 23 Mei 1997 punya banyak sebutan di masyarakat…

Kerusuhan pada peristiwa Jumat Kelabu menyebabkan banyak gedung terbakar. Foto-Istimewa

apahabar.com, MARTAPURA – Peristiwa kerusuhan di Banjarmasin pada 23 Mei 1997 punya banyak sebutan di masyarakat Kalimantan Selatan (Kalsel).

Tak hanya Jumat Kelabu, warga Banua juga menyebutnya peristiwa KerusuhanBanjarmasin, Amuk Banjarmasin, Banjarmasin Membara, serta Jumat Membara.

Sejarawan Kalsel, sekaligus Dosen Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Mansyur, menjelaskan faktor kesenjangan sosial antar-masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusuhan itu.

Sejak tahun 1980-an, kata Mansyur, masyarakat mulai gelisah saat industri rotan yang semula dikuasai sebagian besar penduduk lokal di daerah Hulu Sungai dan Kota Banjarmasin dimonopoli oleh perusahaan besar.

Perusahaan tersebut kemudian mempekerjakan karyawan dari daerah lain. Ini membuat kesenjangan antara masyarakat dengan perusahaan mulai muncul.

Namun, dia menduga keputusan perusahaan untuk merekrut tenaga kerja dari daerah lain karena karakteristik orang lokal sendiri yang susah diatur.

Memasuki tahun 1990-an, sektor ekonomi makin tidak menentu, persaingan niaga makin tajam, angka pengangguran makin bertambah, dan arus pendatang dari luar daerah tidak dapat dibendung lagi.

“Yang kemudian menyebabkan semakin banyaknya masalah yang dihadapi oleh kota ini,” bebernya.

Dia mencatat di sepanjang tahun 1990-an, ada banyak peristiwa kerusuhan di Indonesia.

Misalnya seperti di Purwakarta yang terjadi pada 31 Oktober dan 2 November 1995. Kemudian di Pekalongan (24 November 1995), Jakarta (27 Juli 1996), Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Sanggau Ledo (30 Desember dan 2 Januari 1997), Tanah Abang (28 Januari 1997), dan Rengasdengklok (31 Januari 1997).

Kerusuhan juga terjadi pada Mei 1998 yang terkenal dengan nama “Tragedi Mei‟. Peristiwa itu pecah di Jakarta, Solo, Surabaya, Palembang, dan Medan.

Mansyur melihat kerusuhan atau konflik sosial memang telah menjadi gejala yang umum bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia, termasuk di Banjarmasin.

“Jika dilihat dari skala kerusuhan dan jumlah korban jiwa serta kerugian fisik, peristiwa Jumat Kelabu adalah yang terbesar di Indonesia dalam sejarah orde baru. Namun, akibat pemerintah yang tertutup, tidak ada data yang bisa dipercaya penuh mengenai apa yang sesungguhnya terjadi,” ucapnya.

Belum lagi pemberitaan yang muncul di media sangat terbatas. Hal itu membuat masyarakat, terutama dari kalangan akademisi kesulitan untuk mengakses informasi. Padahal, lanjut dia, Jumat Kelabu sempat menarik perhatian dunia internasional.

Menurut dia hal itu disebabkan karena masih kuatnya pengaruh orde baru. Sebagian saksi mata juga takut bicara. Bahkan, menurut Mansyur, untuk melaporkan anggota keluarga yang hilang pun warga tidak punya nyali. Juga ada kesan pemerintah menganggap Jumat Kelabu sebagai peristiwa yang biasa saja.

“Lebih-lebih ada stigma kuat yang menyebut warga yang terlibat dalam kerusuhan adalah para perusuh, para penjarah, atau pencuri,” ujarnya.

Jumat Kelabu memang menjadi kenangan pahit warga Banjarmasin, Kalsel, bahkan Indonesia. Satu tahun setelahnya, masyarakat seakan sudah lupa, sebab semua mata rakyat Indonesia tertuju pada peristiwa runtuhnya orde baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun.