Hot Borneo

Menggiurkan, Pria HST Ini Raup Rp5-10 Juta Sebulan dari Ulat Bumbung

apahabar.com, BARABAI – Bagi sebagian orang, ulat merupakan salah satu hewan yang menggelikan. Namun tidak, bagi…

Ilustrasi penjual ulat bumbung. Foto-Antara

apahabar.com, BARABAI – Bagi sebagian orang, ulat merupakan salah satu hewan yang menggelikan. Namun tidak, bagi Tahmidillah, seorang warga asal Hulu Sungai Tengah (HST).

Pria berusia 41 tahun ini menjadikan ulat bumbung atau ulat yang berkembang biak di dalam bumbung bambu sebagai bisnis yang menguntungkan.

Betapa tidak, Tahmidillah mampu meraup keuntungan Rp 10 juta dalam sebulan lewat bisnis ulat bumbung yang didatangkan dari berbagai daerah di tanah air.

Ulat bumbung ini kemudian didistribusikan ke wilayah Banua Anam, meliputi HST, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Utara (HSS), Tapin, Balangan, dan Tabalong.

Menurut dia, ulat bumbung atau ulat bambu yang bernama ilmiah Erionota thrax ini, biasanya dimanfaatkan warga untuk umpan memancing ikan.

“Pasarnya cukup luas, sebagian besar warga yang hobi memancing, mencari ulat ini, agar pancingnya cepat dipatok ikan,” katanya seperti dikutip apahabar.com dari Antara, Kamis (24/2).

Apalagi selama masa pandemi, kebutuhan ulat bumbung semakin meningkat, seiring semakin banyaknya warga yang hobi memancing untuk mengisi waktu luangnya.

Hal ini juga ditandai dengan menjamurnya tempat-tempat wisata pemancingan yang ada hampir di seluruh Kalimantan Selatan (Kalsel).

Di wilayah Banua Anam, ulat bambu menjadi primadona bagi pemancing untuk dijadikan umpan. Biasanya ulat ini untuk memancing ikan haruan (gabus) dan papuyu (betok).

Belum Dibudidayakan

Sayangnya, potensi ternak ulat bumbung belum dimanfaatkan dengan baik oleh peternak ulat daerah. Sehingga untuk mendapatkan ulat-ulat tersebut, pedagang terpaksa mendatangkan dari Jawa dan Sumatera.

Menurut Tahmidillah, hingga kini belum ada peternak yang berhasil membudidayakan ulat bumbung ini, walaupun telah beberapa kali dicoba.

Beberapa pembudidaya di Amuntai, Kandangan, Balangan, Tanjung, Tapin termasuk HST belum ada yang berhasil mengembangkan.

Pedagang masih harus mendatangkan ulat-ulat tersebut dari beberapa daerah di Jawa, seperti dari Bandung, Semarang, dan Surabaya serta dari beberapa daerah di Sumatera.

Setiap kali datang biasanya sebanyak 2 ribu hingga 4 ribu ruas (bumbung) atau disesuaikan dengan musim.

Jika musim hujan biasanya dalam satu bulan bisa dua kali pengiriman dan puncaknya di pertengahan tahun, dalam satu minggu bisa dua kali pengiriman.

Penampakan ulat bumbung biasa sebagai umpan memancing ikan. Foto-Antara

Pada 2021, dia mendatangkan ulat hingga hingga 80 ribu ruas yang dia distribusikan ke pengecer dengan harga Rp5 ribu sampai Rp11 ribu dengan keuntungan rata-rata Rp1.000 per bumbung.

“Harga dan jumlah ulat mengikuti cuaca, kalau musim hujan pasti lebih murah dan banyak,” kata Tahmdillah.

Waktu panen ulat antara daerah satu dengan lainnya juga berbeda. Kalau di Pulau Jawa itu dari bulan Februari-September, selanjutnya disambung ulat dari Sumatera.

Secara kualitas, tak ada bedanya ulat dari Jawa dan Sumatera, yang membedakan hanya soal jarak dan biaya pengiriman. Jika ulat dari Jawa bisa dikirim lewat jalur laut dan darat, waktunya juga paling lama sehari.

Sedangkan dari Sumatera harus pakai kargo pesawat dengan biaya yang jauh lebih mahal.

“Karena pengiriman lama, kebiasaan ulatnya lemas, karena lama di perjalanan. Itu yang membedakan,” katanya.

Keuntungan per bulannya kata dia, kalau musim memancing bisa mencapai Rp 10 juta per bulan, namun jika hari biasa, kisaran Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan.

Ia pun pernah mencoba membudidayakan sendiri, namun selalu gagal, karena belum menemukan cara yang tepat, seperti ulat dari daerah lain.

“Pemasok saya itu juga tidak membudidayakan. Tapi mereka mencari ke hutan. Saya belum menemukan pemasok yang ulat bumbung nya dari hasil budidaya,” ucapnya.

Nah, apakah anda tertarik untuk berbisnis ulat bumbung?