Religi

Mengenang Spirit Kemanusiaan Gus Dur

HAUL Gus Dur kesembilan diikuti oleh para pejabat negara hingga rakyat biasa. Di mata mereka sosok…

Gusdur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Ia paham bagaimana penderitaan masyarakat Timor Timur, menaikkan harkat martabat etnis Tionghoa, hingga meminta maaf kepada korban pembantaian 1965—hal-hal yang, mungkin, sulit untuk dilakukan Presiden lain.Foto-detiknews

HAUL Gus Dur kesembilan diikuti oleh para pejabat negara hingga rakyat biasa. Di mata mereka sosok Gus Dur punya cerita tersendiri.

Zainuddin, 55 tahun, malam itu terbenam dalam doa yang ia ucapkan dengan khusyuk. Kedua telapak tangannya dibuka seperti menadah sesuatu dari atas. Ia mengikuti lantunan tahlil dan istighotsah yang dipimpin oleh KH. Thobary Syadzili.

Perawakannya sederhana: kemeja betik coklat yang terlihat sedikit kotor, celana panjang sampai di atas mata kaki, mengenakan sendal jepit, dan membawa kantong kresek berisi sesuatu yang ia sempilkan di ketiak sembari berdoa.

Tubuhnya bersandar di kiri badan mobil Avanza berwarna putih. Zainuddin berada di parkiran mobil yang sekaligus menjadi tempat pasar malam kecil dan layar tancap menyaksikan acara Haul Gus Dur ke-9, di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Zainuddin adalah satu dari sekian ratus orang yang tak bisa masuk ke arena pelataran rumah almarhum Gus Dur yang sudah terlanjur pepak oleh manusia.

Orang-orang itu rela berkumpul dalam sesak demi memperingati acara Haul Gus Dur yang sudah diselenggarakan sembilan kali.

Haul pada Jumat (21/12/2018) ini mengambil tema “Yang Lebih dari Politik Adalah Kemanusiaan”. Tema ini sengaja dipilih untuk menyebarkan pesan-pesan humanis dan manusiawi kepada Pemerintah, negara, politisi, dan seluruh masyarakat.

Baca Juga:Ulama Al Azhar Mesir Kunjungi PBNU

Beberapa tokoh publik yang ada di dalam poster Haul Gus Dur kali ini awalnya KH. Maemun Zubair, Habib Abu Bakar Al-Attas, Mahfud MD, Ebiet G. Ade, KH. Dzawawi Imron, Tuty Herawati, dan Aristides Katoppo—namun belakangan yang hadir lebih banyak dari itu.

Namun, di antara orang-orang besar itu Zainuddin tak mau kalah. Pria asal Jombang ini dari rumahnya di daerah Pasar Senen menuju Ciganjur menggunakan KRL.

Tepat pukul 19.00 WIB ia baru tiba di Ciganjur. Waktu itu gerbang menuju pelataran sudah ditutup karena padat manusia. Hanya ketika para pembesar datang saja gerbang itu dibuka. Tentu, Zainuddin bukan salah satunya.

Ia akhirnya memilih menyaksikan suasana haul lewat layar tancap yang ada di parkiran mobil sebelah kiri gerbang menuju pelataran. Gus Dur punya tempat sendiri di hati Zainuddin.

Ketika pulang kampung ke Jombang, Jawa Timur, ia menjadi salah satu jemaah rutin di Pondok Pesantren Mambaul Maarif (PPMM) Denanyar—pondok di mana Gus Dur dilahirkan. Ia juga selalu berusaha meluangkan waktu menziarahi makam Gus Dur.

“Lebaran kemarin, saya libur seminggu. Tiga hari sebelum pulang ke Jakarta saya sempatkan ke makam. Biar ngalap barokah,” kata pegawai di kantin RSPAD Gatot Subroto ini.

Sepanjang hidupnya Gus Dur dikenal sebagai kyai, esais, kritikus, politikus, aktivis gerakan sosial, dan pembela HAM.

Konsistensinya membela kelompok minoritas membuat Gus Dur mendapat julukan “bapak-nya orang-orang Tionghoa dan Papua”.

Afiruz Zaki, 27 tahun, juga tak mau melewatkan acara Haul Gus Dur. Seperti halnya Zainuddin, Zaki hanya bisa mengikuti acara haul dari luar pelataran rumah almarhum Gus Dur. Baginya hal ini menjadi cerita menarik dan tantangan tersendiri.

“Kalau kita lancar-lancar saja bisa akses masuk ke dalam, itu lebih enak, tapi tidak ada cerita uniknya. Lurus-lurus saja. Seperti jalan tol, enggak ada hambatan.

Maka dari itu perlu ada cerita, dateng ke Haul Gus Dur tapi di sana enggak dapet tempat,” kata Zaki.

Satu pesan Gus Dur yang Zaki pegang hingga sekarang adalah menjunjung kesederhanaan sebagai seorang santri. “Apa adanya, misal cuma dikasih space satu kali satu meter, atau 30 centi kali satu meter, ya udah berdiri, nikmati saja. Sebagai santri juga, kejar nilai-nilai ngalap barokah,” katanya.

Produk Gus Dur

“Agar menjaga Indonesia tetap waras, orang Indonesia harus menggunakan produk Gus Dur!”

Guyonan itu diungkapkan Djadi Galajapo saat tampil di malam haul Gus Dur. “Produk” yang dimaksud adalah nilai-nilai, pemikiran dan tindakan Gus Dur yang dikenal bernas dan bermanfaat untuk Indonesia.

Pria yang akrab disapa Cak Djadi dikenal sebagai Imam Besar Pelawak Indonesia. Malam itu, ia mendapat jatah bercerita beberapa hal unik tentang Indonesia dibalut dengan lelucon.

Selain lontaran-lontaran lelucon, acara haul Gus Dur juga diisi dengan lantunan salawat dan tahlil mendoakan Gus Dur, nyanyian seorang kawan dari Ebiet G. Ade, karangan bunga dari banyak pihak, termasuk dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Tokoh-tokoh besar yang hadir pun datang dari lintas kalangan, etnis, dan agama: Agum Gumelar, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Agama Luqman Hakim Syaifuddin, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Pimpinan SETARA Institute Hendardi, budayawan Sujiwo Tejo, politikus Partai Demokrat Agus H. Yudhoyono, pendagog Kak Seto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, hingga filsuf Franz Magniz Suseno.

Semua bercerita jalan keberagaman yang diperjuangkan dan ditempuh Gus Dur semasa hidupnya.

Di arena pasar malam, berbagai lapak jualan bisa ditemukan. Mulai dari makan dan minum, hingga juga kaos, buku, sorban, dan aksesoris berbau Gus Dur.

Di beberapa titik, ditemukan gerobak kopi keliling (koling) dengan tagline “Ngopi Aja Kok Repot”. Ungkapan tersebut tentu menyitir omongan Gus Dur yang paling kelakar dan paling menohok: “Gitu Aja Kok Repot.”

Dayu Pratama, 26 tahun, yang merupakan penggerak gerobak kopi tersebut, hadirnya tagline tersebut memang dimaksud sebagai kampanye kreatif untuk mengenang kehidupan Gus Dur yang dikenal sebagai sosok santai dan tidak reaksioner terhadap berbagai hal.

“Gus Dur itu semacam bapaknya orang Islam Indonesia. Saya sudah ikuti Gus Dur sudah lama, dari beberapa buku beliau, beliau visioner banget. Dia juga enggak reaktif saat dikomentari banyak hal, kalau masih inget betul bahwa dia sangat ditentang banyak orang, tapi setelah beliau meninggal malah dirindukan,” kata Dayu.

Dayu mengatakan ia sebenarnya menyediakan sembilan gerobak koling dalam rangka haul Gus Dur kesembilan. Namun karena keterbatasan tempat, akhirnya hanya empat yang digunakan.

“Saya non-Muslim, jadi Gus Dur adalah sosok yang kalau di kita itu di atasnya Romo, dia itu kaya Alexandre de Rhodes, dia itu kaya ngerangkul semua orang dan pihak dengan sesuatu yang simpel dan apa adanya,” kata Dayu.

Salah satu putri Gus Dur, Alissa Wahid, menilai masyarakat kecil, yang biasanya terpinggirkan dalam pusaran politik elektoral, memang banyak yang merasa kehilangan sosok Gus Dur.

“Mereka kehilangan sosok Gus Dur yang memanusiakan manusia. Rakyat kecil mencintai Gus Dur karena mereka merasakan betul bahwa Gus Dur hadir untuk mereka, tidak berjarak dan apa yang dilakukan itu tulus untuk mereka,” kata Alissa saat ditemui wartawan Tirto, selepas Haul Gus Dur berakhir, Sabtu (22/12) dini hari.

Bagi sebagian orang pemikiran dan tindakan Gus Dur yang lebih mengedepankan kemanusiaan—dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Indonesia—memang sulit dipahami.

Ia misalnya mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, paham penderitaan masyarakat Timor Timur, menaikkan harkat martabat etnis Tionghoa, hingga meminta maaf kepada korban pembantaian 1965—hal-hal yang, mungkin, sulit untuk dilakukan Presiden lain.

“Itu barangkali itikad yang sangat jernih terlihat, bahwa Gus Dur itu tidak pernah melakukan sesuatu untuk kepentingan sendiri tapi untuk masyarakat. Bisa jadi banyak yang tak setuju dengan cara-cara Gus Dur, tapi siapa yang bisa menyangkal cinta Gus Dur kepada masyarakat kecil,” kata Alissa.

“Gus Dur ke makam Santa Cruz, meminta maaf karena banyaknya pertumpahan darah yang terjadi di sana. Kita mungkin kesal karena Timor Timur lepas dari Indonesia. Tapi dia telah melampaui kita.”

Sumber: Tirto.id
Editor: Fariz