Relax

Mengenang Sosok Hoegeng, Polisi Jujur dalam Kelakar Gus Dur

apahabar.com, JAKARTA- Tak lama berselang usai peristiwa G30S/PKI, pria berbaju koko dengan kerah ala Shanghai, mengendarai…

apahabar.com, JAKARTA- Tak lama berselang usai peristiwa G30S/PKI, pria berbaju koko dengan kerah ala Shanghai, mengendarai Jeep Willis menuju kawasan Menteng, Jakarta. Di tengah perjalanan, seorang tentara mencegatnya.

"Koh, saya ikut menumpang ya," kata si tentara. Pria yang mengendarai Jeep Willis itu hanya mengangguk. Seolah tak senang ucapannya diabaikan, tentara itu kembali bertanya, "Siapa namamu?" dengan nada membentak.

"Saya Hoegeng," jawabnya singkat, seperti dikutip dari buku karya Suhartono yang berjudul Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Sontak, si tentara merasa malu dan terburu-buru turun sembari mengucapkan terima kasih, tanpa berani melihat wajah Hoegeng lagi.

Hoegeng Iman Santoso, begitu nama lengkapnya, memang terkenal sebagai polisi jujur yang disegani dan dikagumi banyak orang. Bukan tanpa sebab, kiprahnya dalam dunia kepolisian tercatat bersih dari berbagai tindakan suap dan korupsi.

Karakternya yang tegas dan teguh menjaga kehormatan polisi kian terukir berkat guyonan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah diskusi, pria yang akrab disapa Gus Dur ini pernah berkelakar, "Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng."

Integritas Hoegeng pertama kali diuji ketika dirinya diangkat menjadi Kepala Bagian Reserse Krimial Sumatra Utara pada 1956. Kala itu, pria kelahiran 14 Oktober 1921 ini menolak rumah pribadi dan mobil dari cukong judi.

Dirinya lebih memilih tinggal di hotel sampai mendapat rumah dinas. Bahkan, setelah menerima tempat tinggal tersebut, Hoegeng tetap teguh menolak segala macam perabot pemberian orang, yang dia anggap sebagai bentuk suap.

Tahun demi tahun berlalu, Hoegeng pun dipercaya untuk mengemban berbagai jabatan. Sampai akhirnya, dia didapuk menjadi Kapolri periode 1968 – 1971, bertepatan dengan masa-masa awal Pemerintahan Soeharto.

Selama menjabat posisi penting itu, Hoegeng sangat bersikeras untuk menuntaskan berbagai kasus yang melibatkan para petinggi. Beberapa di antaranya, pemerkosaan Sum Kuning yang diduga melibatkan anak pejabat, penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi yang juga di-backing pejabat, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh Taruna Akpol.

Masih bersumber dari buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan, dituturkan bahwa sang Kapolri sempat ingin melaporkan penangkapan Robby Tjahjadi kepada Presiden Soeharto. Namun, alangkah terkejutnya Hoegeng ketika melihat si tersangka justru sudah lebih dulu berada di kediaman Soeharto.

Akibat membongkar kasus tersebut, banyak pejabat yang kabarnya tidak menyukai Hoegeng. Sampai-sampai, Presiden Soeharto memberhentikan dirinya pada 2 Oktober 1971, dengan alasan "butuh penyegaran di tubuh kepolisian."

Alasan ini berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi. Pengganti Hoegeng yang baru ditunjuk Soeharto, Jenderal Polisi Mohamad Hasan, justru menjabat sebagai Kapolri saat dirinya berusia 53 tahun. Empat tahun lebih tua dari Hoegeng, yang kala itu berusia 49 tahun.

Hubungan dengan Soeharto kian memburuk usai Hoegeng bergabung dengan Petisi 50, yaitu kelompok senior yang mengkritisi pemerintah. Usut punya usut, ketika Soeharto diundang ke suatu acara, dia bakal berpesan kepada sang tuan rumah agar tak mengundang Hoegeng beserta tokoh Petisi 50 lainnya.

Meski sempat menjabat posisi penting, uang pensiun yang diterima Hoegeng tak seberapa. Mantan Kapolri itu hanya menerima uang pensiun sebesar Rp10.000. Hingga tahun 2001, jumlah tersebut baru naik menjadi sekitar Rp1 jutaan.

Hoegeng menjadi figur yang dihormati berbagai kalangan, sekali pun akhirnya tak mengemban jabatan. Pendirian yang bersih dan antikorupsi membuat dirinya dirindukan masyarakat Indonesia sampai saat ini.

Salah satu alasan yang membuat Hoegeng memiliki kepribadian demikian, ialah petuah dari sang ayah. Dia memberi nasihat, "yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan." (Nurisma)