Relax

Mengenang Ismail Marzuki: Perwira Tanpa Senjata dalam Senandung Revolusi

apahabar.com, JAKARTA- Sebuah kereta berhenti di Stasiun Tugu, Yogyakarta, di tengah perjalanannya dari Batavia menuju Solo….

Ismail Marzuki (Foto: Good News doc)

apahabar.com, JAKARTA- Sebuah kereta berhenti di Stasiun Tugu, Yogyakarta, di tengah perjalanannya dari Batavia menuju Solo. Kala itu, seorang pria bergaya necis dengan baju yang disetrika sampai licin, terpana melihat barisan pejuang menuju garis depan pertempuran.

Pemandangan tersebut agaknya membuat lelaki berdarah Betawi ini tergerak untuk meramu nyala semangat dalam nada dan irama. Alhasil, pada 1931, kala dirinya masih berusia 17 tahun, ia menciptakan langgam "O Sarinah", yang menggambarkan kondisi ketertindasan bangsa dengan lirih.

Tahun demi tahun berlalu, pria yang kerap tampil necis ini tetap setia melahirkan sederet karya bernuansa perjuangan. Racikan syair dan notasinya terus bergema hingga berhasil menghantarkan sosoknya meraih gelar Pahlawan Nasional.

Dengan ratusan lagu ciptaannya, dia pun dikenang sebagai perwira bangsa, kendati jalan perjuangan yang ditempuhnya tak pernah memanggul bedil, apalagi terlibat perang fisik melawan penjajah.

Dia adalah Ismail Marzuki, komponis jenius kelahiran 11 Mei 1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Kepiawaian Ismail dalam bermusik rupanya merupakan warisan dari sang ayah, sosok yang juga pandai memainkan alat musik dan cakap merangkai syair-syair Islami.

Namun, siapa sangka, pria yang akrab disapa Maing itu ternyata sempat menjadi penjual piringan hitam. Meski demikian, karier ini justru menggiringnya memasuki jenjang bermusik yang lebih tinggi. Berkat pekerjaan tersebut, Ismail mendapat banyak kenalan dari kalangan artis.

Sejak saat itu, dirinya malang melintang di dunia kesenimanan Tanah Air. Berbagai profesi pernah dia jejali, mulai dari pemain orkes, pengisi acara lawak, penyiar radio, sampai pengaransemen grup musik kenamaan.

Hingga akhirnya, pada 1942, Ismail mulai aktif menggubah lantunan perjuangan. Bertepatan dengan masa penjajahan Jepang itu, dia mendedikasikan lagu-lagu bertemakan perjuangan sebagai bentuk perlawanan.

Lagu-lagu seperti Kalau Melati Mekar Setangkai dan Kembang Rampai dari Bali mulanya masih berupa puitis lembut yang mengarah pada aliran seriosa. Sederet langgam membara periode 1943 – 1944 itu di antaranya Bisikan Tanah Air, Indonesia Tanah Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa, dan Gagah Perwira sebagai mars untuk Pembela Tanah Air (PETA).

Akibat mencptakan lagu yang sarat nuansa perjuangan, Ismail sempat mendapat panggilan dari Polisi Militer Jepang, usai sebelumnya dicurigai oleh Kepala Departemen Propaganda Jepang, Hitoshi Shimizu. Namun, panggilan tersebut justru berbuah ancaman baginya.

Jiwa sang maestro itu tak pernah gentar untuk terus menyuarakan semangat perjuangan lewat lagu. Malahan, dia kembali menciptakan lantunan bertajuk Selamat Jalan Pahlawan Muda pada 1945.

Naas, kecintaan terhadap musik justru membawa Ismail menemui ajalnya. Kala itu, dia menerima saksofon dari temannya yang mengidap penyakit paru-paru. Ismail tak tahu-menahu soal penyakit itu, sehingga dia memainkan hadiah tersebut seperti biasa.

Semenjak saat itu, Ismail mulai merasakan gangguan pada paru-parunya. Penyakit itu terus menggerogoti dirinya, sampai akhirnya merenggut nyawa sang maestro. Dia pun meninggal pada 25 Mei 1958, ketika usianya baru beranjak 44 tahun, di Kampung Bali, Jakarta Pusat.

Sepuluh tahun sejak kepergiannya, sang komponis mendapat penghormatan dengan dibukanya sebuah taman dan pusat kebudayaan di Cikini, yakni Taman Ismail Marzuki. Pada 5 November 2004, dia juga diangkat menjadi Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 089/TK/2004. (Nurisma)