Berita Gaya Hidup

Mengenal Implusive Buying, Belanja Jor-joran tanpa Perencanaan

Implusive Buying merupakan keinginan seseorang untuk membeli suatu produk dalam jumlah banyak tanpa perencanaan.

Ilustrasi Belanja Implusif. Foto: dok. gobankingrates

apahabar.com, JAKARTAImplusive Buying merupakan keinginan seseorang untuk membeli suatu produk dalam jumlah banyak tanpa perencanaan.

Melansir marketbusinessnews, Rabu (18/10), Implusive buying atau belanja implusif adalah tentang emosi dan perasaan, bukan logika dan perencanaan.

Keputusan tiba-tiba seseorang untuk membeli sesuatu adalah akibat dari melihat produk tersebut secara tiba-tiba.

Belanja implusif terjadi pada berbagai macam produk. Konsumen membeli tanpa berpikir dua kali, hanya keinginan sesaat dan melihat barang sedang diskon setengah harga langsung membelinya walau tidak dibutuhkan.

Baca Juga: Mengenali Disomnia, Gangguan Tidur yang Mempengaruhi Keseharian

Fenomena impulsive buying ini juga meningkat seiring perkembangan sistem belanja online yang membuat orang bisa dengan mudah membeli suatu barang.

Kemudahan ini menjadi salah satu pemicu yang menyebabkan orang tidak berpikir panjang sebelum membeli suatu barang.

Orang-orang akan belanja lebih banyak secara online karena terbawa suasana mudahnya mendapatkan suatu barang sehingga tidak memikirkan berapa banyak yang sudah mereka keluarkan.

Oleh sebab itu, mood seseorang menjadi faktor yang memiliki peran cukup besar dari perilaku belanja implusif.

Baca Juga: Revolusi Oktober 1917, Sejarah yang Mengubah Rusia dan Dunia

Dalam lan Wallstreetmojo menjelaskan, terkadang tindakan tersebut menimbulkan masalah seperti perasaan bersalah, ketidaksetujuan dan kesulitan uang, karena kebiasaan belanja implusif dapat mengakibatkan pemborosan sehingga dapat turunnya finansial.

Pemicu Belanja Implusif
1.  Faktor strategi pemasaran

Pengaruh strategi pemasaran dari penjual. Strategi pemasaran seperti promo, diskon, cashback dan pengaruh dari sales bisa mendorong perilaku implusif.

Karena hal tersebut mampu menarik minat dan perhatian sehingga muncul keinginan untuk membeli dan memilikinya.

2. Faktor kepribadian

Faktor ini dapat menjadi penyebab terjadinya pembelian implusif. Ini terjadi karena dirinya merasa gengsi bila tidak mempunyai barang yang sedang tren.

Demi meningkatkan popularitas, orang dengan sindrom belanja implusif akan rela membeli apa saja.

3. Faktor jenis produk

Produk juga mampu mendorong tingkah laku belanja implusif. Dengan varian beragam, tampilan yang menarik, desain yang bagus, keterbatasan atau kelangkaan produk menimbulkan seseorang melihatnya menjadi tertarik untuk membelinya.

4. Faktor Store atsmosphere

Atmosfer toko merupakan kombinasi dari karakteristik fisik toko seperti arsitektur, pencahayaan, pemajangan produk, warna, temperatur, musik, serta aroma yang secara menyeluruh akan menciptakan citra dalam benak konsumen. 

Dalam bisnis retailing, store atmosphere sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat menarik konsumen dan membuat konsumen nyaman berbelanja di toko.

Baca Juga: Mengenal Social Withdrawal, Bentuk Tarik Diri dari Lingkungan Sekitar

Keadaan suasana toko yang menarik dan nyaman membuat para konsumennya betah berlama-lama di dalam toko. Dan tentunya memungkinkan untuk terjadinya pembelian spontan semakin meningkat.

Suasana toko yang nyaman dengan tampilan produk yang menarik dapat mempengaruhi emosi berbelanja konsumen, sehingga individu tersebut tertarik untuk membeli karena adanya stimulus dari suatu produk yang ditampilkan.

Emosi yang timbul tersebut merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku konsumen terhadap keputusan pembelian. Suasana hati tersebut dapat mendorong konsumen membeli tanpa pertimbangan.

5. Faktor merek atau brand

Individu yang terbiasa menggunakan merek atau brand tertentu membuat kegiatan belanjanya konsisten pada merek tersebut. Hal ini dikarenakan berhubungan dan dianggap sesuai dengan gaya hidupnya.

Setiap orang memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam berbelanja, ada yang disiplin dengan membeli produk yang telah direncanakan, dan ada pula yang melakukan pembelian secara spontan di luar dari rencana.

Baca Juga: Mengenal Operasi Bariatrik, Solusi Menurunkan Berat Badan

Dampak negatif belanja implusif

Belanja implusif merupakan kebiasaan yang tidak baik jika terus dibiarkan, karena hal tersebut mengganggu kesehatan finansial. Berikut dampak dari belanja implusif:

1. Menjadi boros

Membuat diri semakin boros. Kegiatan berbelanja implusif ini seperti banyak menghabiskan uang untuk  barang-barang yang tidak terlalu penting. Sehingga pengeluaran harus rela dikorbankan demi memuaskan nafsu berbelanjanya.

2. Menumpuk barang yang tidak terpakai

Membuat rumah penuh dengan barang yang tidak terpakai. Karena tingkah laku ini cenderung membeli barang tidak sesuai kebutuhan, akibatnya banyak barang yang tidak terpakai menumpuk di rumah.

3. Susah merencanakan keuangan

Menjadi susah merencanakan keuangan. Karena transaksi pembelian terlalu banyak, maka akan mengalami kesusahakan finansial jangka pendek.

Selain itu, akan susah merencanakan keuangan kedepannya, karena tidak mempunyai tabungan.

Baca Juga: Mengenal Psoriasis Vulgaris, Penyakit Kulit yang Terpa Kim Kardashian

Tips agar terhindar dari belanja implusif

Supaya tidak melakukan belanja implusif dan tidak terkena dampak negatif dari belanja implusif ada beberapa cara untuk mencegahnya yaitu:

1. Harus bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan dalam hidup. Dengan mengetahuinya, maka tentu saja keuangan akan dapat dialokasikan secara tepat.

2. Menyusun skala prioritas barang sebelum membeli juga menjadi salah satu cara mencegah belanja impulsif.

3. Hindari mengakses terlalu banyak aplikasi marketplace.

4. Batasi penggunaan kartu kredit dan pembayaran online.

5. Berusahalah untuk menahan diri agar tidak sering memakai fitur pay later.

6. Lindungi diri dari jebakan strategi marketing psikologis agar tidak mudah terpengaruh dan terjebak dalam belanja impulsif.

7. Tetapkan batas saat melakukan self-reward. Hal ini sangat penting, di mana harus mengetahui kapan self-reward dilakukan dan batasi setiap bulannya. Dengan begitu tidak terjebak dalam perilaku impulsif berkedok self-reward.