Opini

Mengamalkan Wiridan Tanpa Ijazah; Menyikapi Fenomena Kitab Imdad Abah Guru Sekumpul

Oleh: Khairullah Zain Tahun-tahun terakhir sebelum wafatnya Abah Guru Sekumpul, manajemen Al-Zahra (perusahaan yang didirikan Abah…

Kitab “Al-Imdad fi Awrad Ahlil Widad” Abah Guru Sekumpul.Sumber: Al Zahra

Oleh: Khairullah Zain

Tahun-tahun terakhir sebelum wafatnya Abah Guru Sekumpul, manajemen Al-Zahra (perusahaan yang didirikan Abah Guru Sekumpul) berinisiatif mengumpulkan beberapa doa, shalawat, wiridan, hizib dan amaliah lainnya yang pernah diijazahkan dan dianjurkan untuk diamalkan oleh Abah Guru Sekumpul, kemudian menerbitkan dalam bentuk kitab.

Inisiatif ini disetujui oleh Abah Guru Sekumpul. Inilah embrio terbitnya kitab "Al-Imdad fi Awrad Ahlil Widad", kompilasi amaliah yang diijazahkan Abah Guru Sekumpul.

Kitab kompilasi amaliah ini mendapat sambutan hangat para murid Abah Guru Sekumpul.

Bila sebelumnya amaliah dan wiridan yang diijazahkan Abah Guru Sekumpul hanya mereka catat di buku catatan pribadi ataupun lembaran kertas fotokopi, kini mereka bisa memiliki kompilasi amaliah tersebut dalam bentuk sebuah kitab lux.

Sebagian memang pernah dibagikan dalam bentuk buku kecil dan tipis, namun masih sangat sederhana dan rawan rusak. Edisi lux ini jauh lebih baik dan memudahkan untuk dijadikan pegangan ataupun dibawa ketika bepergian. Tanpa khawatir ada lembaran yang hilang atau rusak.

Kitab Imdad kelak tidak hanya diburu oleh mereka yang pernah berguru kepada Abah Guru Sekumpul dan mendapatkan ijazah langsung amaliah yang ada dalam kandungan kitab tersebut, tapi juga oleh para muhibbin (pecinta) generasi kedua, yaitu mereka yang mencintai Abah Guru Sekumpul namun tidak pernah berguru langsung dan mendapat ijazah amaliah dari beliau.

Bila para murid menerima amaliah tersebut secara talaqqi (berhadapan langsung), di-imla-kan (dibacakan) oleh Abah Guru Sekumpul, maka para muhibbin generasi kedua ini tidak demikian.

Mereka hanya menemukan amaliah tersebut ada dalam sebuah kitab yang berisi kumpulan amaliah yang pernah diijazahkan oleh Abah Guru Sekumpul. Bagaimana menyikapinya? Bolehkah mereka ikut mengamalkan?

Mengamalkan Wiridan Tanpa Ijazah

Secara umum, Al-Imam an-Nawawi (wafat 676 H) dalam Raudhah at-Thalibin (I/265) menyebutkan bahwa mayoritas Fuqaha (para ahli fikih) berpendapat boleh mengamalkan setiap doa, baik berhubungan dengan duniawi maupun ukhrawi.

Sementara, setiap hizib dan amaliah pada prinsipnya adalah doa atau permohonan seorang hamba terhadap Tuhannya. Baik permohonan itu berupa perlindungan, keamanan, rejeki, ataupun lain sebagainya.

Namun, sepengetahuan penulis yang rutin hadir di sepuluh tahun terakhir pengajian beliau, Abah Guru Sekumpul sering menyampaikan di majlisnya bahwa dalam mengamalkan sebuah wiridan seseorang harus menerima dari seorang guru, bukan mengambil sembarang dari sebuah kitab. Ini agar antara pengamal dengan penyusun amaliah memiliki ketersambungan (ittishol) sanad. "Kalau beli kitab di toko kemudian diamalkan, ke mana sanadnya?" kurang lebih demikian kata beliau.

Sejatinya, Abah Guru Sekumpul tidak sendirian dalam prinsip ini. Para ulama sufi sejak zaman klasik memang sangat menekankan pentingnya memiliki guru secara talaqqi (bertemu langsung) dalam mengambil ilmu dan amaliah.

Syekh Muhammad bin Ath-Thayyib bin Muhammad al-Fasi atau yang lebih dikenal dengan Ibn at-Thayyib (wafat 1170 H) misalnya, dalam khatimah Syarh Hizb an-Nawawi (manuskrip) mengatakan:

"Beberapa perkara yang wajib atas orang yang siap mengamalkan hizib-hizib, wirid-wirid, dan dzikir-dzikir, di antaranya bahwa ia telah talaqqi (mengambil langsung) dari seorang (guru) yang ahlinya, yang meriwayatkan (amaliah tersebut) dari para imam yang masyhur dan syekh yang dikenal dengan keilmuan, dan (syekh tersebut) telah mempersilakan orang yang baik keyakinannya dan teguh sandarannya untuk mengamalkan".

Bagaimana dengan Imdad?

Sebagaimana sudah dijelaskan, kandungan kitab Imdad ada yang berupa doa, shalawat dan amaliah umum lainnya, ada pula semacam amalan khusus yang berupa hizib dan lainnya. Amaliah yang bersifat umum tentu tidak masalah bila dibaca atau diamalkan tanpa ada ijazah dari seorang guru.

Ijazah umum dari Abah Guru Sekumpul sudah cukup untuk hal ini. Kalaupun tidak bersanad langsung atau talaqqi kepada beliau, maka menurut penulis, "wijadah" (menemukan tulisan seorang ulama yang diyakini validitasnya) bisa dipegang dalam hal ini. Beberapa ulama membolehkan mengamalkan sesuatu yang didapatkan secara wijadah.

Adapun amaliah khusus, seperti hizib dan semacamnya, maka idealnya harus digurukan kepada orang yang berguru kepada beliau. Hal ini agar tercipta ketersambungan sanad (ittishol). Fungsi ittishol ini tidak semata bermakna tersambung secara fisik, namun juga berdampak pada tersambungnya mata rantai ruhani antara pengamal dengan Abah Guru Sekumpul.

Tersambungnya mata rantai ruhani inilah yang akan mengalirkan amdad (bantuan), asrar (ilmu rahasia) dan anwar (cahaya) dari ruhani para guru kepada ruhani si pengamal.

Inilah yang disebut dengan "manfaat" oleh Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi (wafat 1241 H) yang ketika menafsirkan ayat 37 surah Al-Baqarah mengatakan, "Tidak mendapat manfaat dengan dzikir dan tidak bercahaya batin seseorang, kecuali jika ia telah memiliki guru yang 'arif dan memberinya izin pada (mengamalkan) zikir tersebut".

Toh saat ini masih banyak dan mudah ditemui para ulama yang berguru langsung dan menerima secara talaqqi kandungan amaliah dalam kitab Imdad tersebut dari Abah Guru Sekumpul. Kita bisa dengan mudah meminta beliau meng-imla-kan amaliah dan wiridan yang terkandung dalam kitab Imdad sebagaimana dahulu Abah Guru Sekumpul meng-imla-kan amaliah-amaliah tersebut.

Bagaimana bila kita tidak menemukan seorang guru yang pernah talaqqi dan menerima secara imla (menyimak Abah Guru Sekumpul membacakan) amaliah-amaliah tersebut, namun di sisi lain kita telah memiliki kitab Imdad dan ingin mengamalkan kandungannya?

Hemat penulis, sementara belum bertemu maka kita masih bisa mengamalkan dengan jalan wijadah.

Meski secara sanad "wijadah" dikategorikan inqitha' (terputus), namun prinsip "Adh-Dharurat Tubihul Mahzhurat" (kondisi darurat membuat boleh hal yang terlarang) berlaku di sini. Tentunya, bila kelak bertemu dengan seorang ulama yang merupakan murid langsung Abah Guru Sekumpul kita harus mengambil amaliah tersebut secara imla.

Menurut Sampeyan?