Kalsel

Menengok Pasar Petani Semangka di Tengah Rawa

Setelah tanam sekitar 2 bulan, petani semangka di Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS)…

Aktivitas penjualan semangka di pasar Ray 2, Desa Baruh Jaya, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten HSS.Foto-apahabar.com/Hidayat

Setelah tanam sekitar 2 bulan, petani semangka di Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dan sekitarnya, mulai panen dan menjualnya ke pasar pengepul yang berada di tengah hutan rawa.

Muhammad Hidayat, Daha Selatan

Di tengah terik matahari dataran rendah, perahu berisi semangka bersusun 5 sampai 10 buah, yang ditarik oleh satu perahu bermotor.

Semangka khas Daha dengan ukurannya yang lebih besar itu, baru dipetik petani dari kebun untuk segera dijual. Panen biasanya antara akhir Juli hingga September.

Tak ada pepohonan, hanya sungai kecil dan rerumputan rawa yang ada di sekeliling. Transaksi dilakukan di atas perahu.

apahabar.com diajak seorang warga Desa Baruh Jaya, Yusuf menaiki perahu ‘ces’ berkeliling melihat aktivitas penjualan semangka oleh petani.

Terdapat beberapa titik pasar, bagi petani di Desa Baruh Jaya dan sekitarnya menjual hasil panennya. Hanya bisa diakses dengan perahu ‘ces’, sekitar 15 menit dari Desa.

Lokasinya berada di ujung jalur-jalur sungai kecil, yang mereka menyebutnya Ray 1 hingga 10. Tiap Ray bisa sampai menjual 30 ton per harinya.

Pasar-pasar itu akan ramai tiap Minggu, Selasa, dan Kamis saat musim panen semangka. Petani hanya menjual ke pengepul.

Dari kebun semangka sampai ke pasar pengepul itu, jaraknya sekitar 10 kilometer. Tidak ada akses lain, selain hanya bisa dilalui perahu kecil.

Di Ray itu para pengepul akan membeli semangka-semangka, untuk selanjutnya dibawa dengan kapal besar, yang biasa disebut Perahu Taksi menuju Pelabuhan Pasar Senin Negara. Waktu tempuh sekitar 30 menitan.

Perahu taksi berkapasitas 5 sampai 6 ton itu, rata-rata milik para pengepul itu sendiri.

Pengepul biasanya membawa sampai 40 ton untuk di distribusikan ke Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, hingga Pulau Jawa.

Ketua Petani Semangka di Ray 2, Saleh mengatakan, jumlah petani semangka lebih dari 400 orang. Tiap orang bisa bertani antara 2 sampai 3 hektare.

Kebanyakan petani tidak memetik sendiri semangkanya, tetapi memakai jasa kuli yang diberi upah 100 ribu rupiah per orang.

Jika sampai 10 buah jukung penuh, petani akan mengeluarkan biaya 1 juta rupiah hanya untuk upah kuli setiap kali turun.

Petani Semangka Kesulitan Transportasi

Kesulitan para petani terkait sarana, dangkalnya sungai di tiap Ray. Selain baling-baling motor ces bisa menyangkut, perahu kecil hanya bisa diisi sedikit agar bisa berjalan.

“Sungai surut jalanan sakit, jukung hanya bisa diisi separuh, dari yang biasa 2 pikul jadi sepikul saja isinya,” tutur Saleh.

Hal itu, jika diisi penuh perahu akan menyangkut ke dasar sungai dan tidak bisa dijalankan.

Mengangkut semangka yang banyak itu, tiap petani menarik hingga sampai 10 perahu sekaligus.

Ironisnya, perjalanan juga akan melambat. Bisa dibutuhkan 6 jam lebih untuk sampai di pasar pengepul, beda dengan saat sungai pasang yang hanya membutuhkan 3 jam perjalanan.

“Kalau setengah harian di jalan, bisa membutuhkan ongkos minyak sampai 300 ribu rupiah,” ujarnya.

Dijelaskannya, kehidupan bertani semangka tak semudah membayangkan melimpahnya kuantitasnya. Petani bisa hingga bermalam 2 malam saat panen dan membawa ke pasar di situasi air surut.

“Berangkat dari rumah misal pukul 5 sore, lalu berangkat lagi dari kebun pukul 4 subuh, sampai di pasarnya pukul 8,” paparnya.

Mewakili seluruh petani di Ray 2 dan ray lainnya, ia berharap pemerintah setempat segera merealisasikan permohonan pengerukan sungai.

Menurutnya, sudah 4 tahun mereka mengajukan permohonan itu. Kabarnya, tahun ini akan dilaksanakan pengerukan, imbas Covid-19 terpaksa ditunda sementara.

“Kalau harga jual murah ya resiko pertanian untung-ruginya, tapi ini semata-mata fasilitas kami yang hanya bergantung sungai,” ucapnya.

Ia membandingkan dengan petani di Desa Muning Baru dan sekitarnya, di sana pasarnya langsung di pinggir jalan raya provinsi, sehingga lebih mudah.

Mengatasi dangkalnya sungai itu, petani saat ini hanya berinisiatif memompa air sungai. Menggunakan mesin sedot, akan mengeluarkan biaya bahan bakar 500 ribu rupiah per jam.

Atas kesepakatan, tiap petani yang berkepentingan melewati Ray diminta bergotong-royong membayar iuran seharga 50 ribu rupiah untuk biaya pompa sungai itu.

Harga Jual Anjlok Tahun Ini

Tahun ini, dianggap periode terburuk penjualan semangka. Hal itu disinyalir terlambatnya musim kemarau, sehingga panen berbarengan dengan daerah lain yang menjadi tujuan distribusi.

Ketua Petani di Ray 10, Halidi berharap, ke depan akan ada intervensi dari pemerintah setempat, terkait harga yang dipengaruhi permasalahan eksternal itu.

Intervensi itu, seperti adanya fasilitasi untuk dibuat Koperasi ataupun kebijakan lainnya.

“Semoga masalah harga ini kita semua bisa mengatasi agar kita tidak merugi,” tutur pria asal Desa Baruh Jaya RT 5 itu.

Saat kondisi harga sangat anjlok tahun ini, seluruh petani merasa sangat sedih. Dijual tidak ada untung, tidak dijual segera semangka akan busuk malah akan merugi.

Harga semangka yang anjlok, juga berpengaruh pada penjualan pupuk dan obat.

“Karena harga semangka murah, minat beli pupuk kini juga berkurang. Bahkan petani saat ini memilih pupuk yang lebih murah,” ucap Marwan, seorang penjual pupuk pertanian.

Dijelaskannya, tak banyak petani yang membeli bibit dan pupuk secara kontan. Rata-rata mengambil bon dahulu.

“Banyak notanya, hampir 200 yang mengambil barangnya dulu,” ungkapnya.

Kendati demikian, Tanah Daha diciptakan dengan potensi alam tak terbatas musim.

Pasca panen semangka, atau biasanya tiap September mereka kembali berkebun ubi jalar khas bernama ‘Gumbili Nagara’.

Kala musim penghujanpun, masyarakat Daha masih bisa mencari penghidupan dengan menjadi nelayan.

Editor: Muhammad Bulkini