Kalsel

Menengok Latar Historis Pemindahan Ibu Kota Kalsel: Sudah Mencuat Sejak Awal Kemerdekaan

apahabar.com, BANJARBARU – Banjarbaru resmi mengemban status sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Pro dan kontra…

Banjarbaru resmi jadi ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan mengantikan Banjarmasin. Foto: Istimewa

apahabar.com, BANJARBARU – Banjarbaru resmi mengemban status sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.

Pro dan kontra bermunculan. Sebagian pihak sepakat, tapi banyak yang menolak. Teranyar bahkan Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina memberi sinyal akan menempuh jalur uji materi.

Dalam catatan sejarah, kepindahan ibu kota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru memang bukan hal baru.

Pada era 1950-an, Gubernur Kalimantan (sebelum pemekaran) kala itu dijabat dr M Moerdjani sudah melontarkan rencana pemindahan.

Saat itu dalam Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 59, membagi Indonesia dalam 10 buah pemerintahan daerah provinsi yang bersifat administratif.

"Satu di antaranya Provinsi Kalimantan," kaya Sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, Senin (21/2).

Menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia secara resmi pasca-pengakuan kedaulatan, pada tanggal 14 Agustus 1950 Gubernur Kalimantan (Moerdjani) dengan Keputusan Nomor 186/OPB/92/14 untuk sementara waktu sambil menunggu tindakan selanjutnya dari Pemerintah Pusat dibentuk beberapa daerah kabupaten, daerah istimewa dan kotapraja (setingkat kabupaten).

Sebagai Gubernur Kalimantan, Murjani menjabat dari 1950-1953. Di samping upaya mengatasi gangguan keamanan (pemberontakan Ibnu Hadjar), peranan Moerdjani yang patut diingat dalam pembangunan di Kalimantan Selatan antara lain idenya menjadikan Banjarbaru ibukota Provinsi Kalimantan.

Moerdjani merilis program yang dikenal Moerdjani Plan. Moerdrjani menyiapkan sebuah kota yang kemudian diberi nama Banjarbaru.

Sebagai pegawai Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan pada era awal kemerdekaan Indonesia.

Kemudian oleh Gubernur Kalimantan pada 1950, Moerdjani, Van der Pijl ditugaskan merancang kota baru pengganti Banjarmasin sebagai ibu kota Kalimantan.

Pada 1952-1957 sebagai Insinyur Kepala Departemen Pekerjaan Umum (DPU) diperbantukan pada Provinsi Kalimantan (Kepala bagian Gedung-Gedung dan Perencanaan/Pelaksana Kota Banjarbaru).

Rencana pemindahan ibu kota ini berawal dari insiden sewaktu Gubernur Moerdjani yang memimpin apel pagi, sangat resah dan gamang melihat keadaan tanah Banjarmasin yang sering terendam air. Terlebih saat musim hujan datang.

Gubernur Murjani pun berpikir untuk segera memindah ibu kota Kalsel kala itu. Karena kondisi tanah di Banjarmasin sudah terlalu rawan akan bahaya banjir.

Kondisi Banjarmasin yang sering banjir kala itu sudah tak dapat ditoleran. Maka dengan tegas Gubernur Murjani memerintahkan Kepala Pekerjaan Umum Kalimantan Selatan, Van der Pijl, mencari wilayah dataran tinggi.

"Van der Pijl berangkat menuju sebelah timur dari Kota Banjarmasin yang berjarak sekitar 35 Km," kata Mansyur.

Dari seluruh wilayah Kalimantan yang dijelajahi Van der Peijl, pilihannya jatuh ke tanah di sekitar kaki Gunung Apam, dekat Martapura.

Naimatul Aufa & Pakhri Anhar (2012), mengemukakan Kota Banjarbaru dulunya dikenal dengan nama Gunung Apam, termasuk wilayah anak Kampung Guntung Payung, Kampung Jawa, Kecamatan Martapura.

Gunung Apam adalah puncak perbukitan yang berada dilintasan Banjarmasin-Martapura. Gunung Apam menjadi daerah peristirahatan buruh-buruh penambang intan, yang menambang di pertambangan intan daerah Cempaka, Martapura, Propinsi Kalimantan.

Tempo edisi 3 Januari 2011 menuliskan Banjarbaru yang embrionya dari Gunung Apam, akan menjelma sebagai kota seperti yang diangankan perancangnya, D.A.W. Van der Peijl, yakni menjadi kota pemerintahan dan hunian yang nyaman huni.

"Karena itulah, Gunung Apam dipilih lantaran struktur tanah di sana cukup keras," ujarnya.

Adapun di wilayah lain di Kalimantan sebagian besar rawa-rawa. Sehingga untuk mendirikan bangunan, butuh fondasi yang dalam dan berbiaya tinggi.

Selain itu, lokasi tersebut berada di antara dua kota penting, yakni Banjarmasin sebagai ibu kota dan Martapura penghasil intan.

Sayangnya, rencana pemindahan ibukota ini belum terealisasi hingga beberapa periode pemerintahan Presiden RI maupun Gubernur Kalimantan yang kemudian berubah menjadi Kalimantan Selatan silih berganti.

Sempat menghilang sejak 1951, namun kini wacana tersebut, baca di halaman selanjutnya…

Wacana pemindahan ibu kota dan Pusat Pemerintahan di Provinsi Kalimantan Selatan, yang sempat menghilang sejak 1951, kini kembali muncul dan mendapatkan penguatan dari DPRD Kalsel.

Bahkan telah diformalkan dalam Rencana Pembangunan Daerah Jangka Panjang (RPJPD 2005-2025). Kemudian penetapan pada tahun 2022.

"Mimpi gubernur Murjadi akhirnya menjadi kenyataan setelah 62 tahun penantian," tutur Ketua Dewan Riset LAKPL Kalsel ini.

Sementara itu, bagi yang kontra Penetapan Banjarbaru sebagai ibu kota Provinsi Kalsel beberapa alasan muncul. Di antaranya belum diuji publik.

Pemindahan Ibu Kota Provinsi ini juga dinilai terkesan mendadak. Pasalnya, dalam visi misi Gubernur dan Wakil Gubernur Sahbirin Noor-Muhidin tak ada mencantumkan itu.

Apabila ditinjau secara historis, posisi Banjarmasin sebagai ibu kota Kalimantan Selatan secara resmi jauh sebelum masa kemerdekaan.

Pada1938, otonomi kota Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente Banjarmasin karena Banjarmasin sebagai ibu kota Gouvernemen Borneo.

Selain itu, pada 1946 Banjarmasin sebagai ibu kota Daerah Banjar satuan kenegaraan sebagai daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Kemudian di 1946 Banjarmasin sebagai ibu kota Daerah Banjar satuan kenegaraan sebagai daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat. Kotapradja Banjarmasin termasuk ke dalam Daerah Banjar, meskipun demikian Daerah Banjar tidak boleh mencampuri hak-hak dan kewajiban rumah-tangga Kotapradja Banjarmasin dalam daerahnya sendiri.

Kotapradja Banjarmasin termasuk ke dalam Daerah Banjar, meskipun demikian Daerah Banjar tidak boleh mencampuri hak-hak dan kewajiban rumah-tangga Kotapradja Banjarmasin dalam daerahnya sendiri.

Tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950, merupakan tanggal dibentuknya provinsi Kalimantan beribukota di Banjarmasin, setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Gubernur Dokter Moerjani.

Secara historis wilayah Kalsel mula-mula dibentuk merupakan wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan (dengan Residen Mohammad Hanafiah) di dalam Propinsi Kalimantan itu sendiri.

Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan 2 kota. DPRD Kalsel dengan surat keputusan No 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989 menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalsel.

Meskipun Provinsi Kalsel sudah dibentuk menjadi daerah otonom tingkat propinsi dengan Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Januari 1953, tapi karena terbentur sulitnya cara-cara pemilihan/pengangkatan anggota DPRD Propinsi, hingga selalu gagal, maka sampai saatnya Kalimantan dipecah menjadi tiga provinsi otonom.

Setelah satu tahun terbentuknya Provinsi Kalimantan dan setelah meninjau berbagai segi, rupanya pemerintah pusat berpendapat bahwa kini tibalah saatnya untuk meninjau kembali pembagian Kalimantan lebih lanjut dalam beberapa daerah otonom propinsi.

Dan kabinet dalam rapatnya ke 33 tanggal 4 Oktober 1956 pada prinsipnya telah memutuskan untuk memekarkan Propinsi Kalimantan yang sekarang ini menjadi tiga propinsi otonom, sedangkan untuk memudahkan dibentuknya Propinsi Kalimantan.

Sesudah melalui sidang-sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah maka akhirnya disahkanlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1956) yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956.

Tetapi di dalam Pasal 93 disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada hari yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 52/10/50 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan bahwa Undang-undang tersebut mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957.

Pada 9 Januari 1957 dengan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah dilakukan serah terima kekuasaan pemerintahan antara Gubernur Kalimantan (Milono) dengan Acting Gubernur Kalimantan Selatan Syarkawi.

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tersebut di atas menyebutkan "Daerah Otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara menjadi Daerah Tingkat I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Khusus Propinsi Kalimantan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin, yang wilayahnya meliputi Daerah-daerah Otonom Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito, Kapuas, Kotawaringin, Kotabaru dan Kota Besar Banjarmasin, tersebut dalam Pasal 1 ad. 1 Nomor 1 sampai dengan 8 (delapan) Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 (Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1953);

Hal ini senada dengan keluarnya Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Tahun 1953 menjadi Undang-undang maka Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan akhirnya mempunyai wilayah sebanyak tujuh Daerah Tingkat II atau Kotapraja. Pada era ini Daerah Kotapraja Banjarmasin dengan ibukotanya Banjarmasin.

Berdasarkan hal tersebut, tentunya secara historis keberadaan Kota Banjarmasin sudah menjadi ibukota provinsi sejak lama yakni tahun 1938 hingga ke tahun 1956.

Hal ini tentunya mendukung klaim historis bahwa ibukota Kalimantan bagian selatan sejak provinsi Kalimantan terbentuk adalah di Banjarmasin.

"Tentunya tidak elok memindah ibukota provinsi yang sudah berjalan puluhan tahun. Kalaupun terjadi pemindahan tentunya perlu persetujuan semua elemen masyarakat dan tidak sepihak," ujarnya.

Garis besarnya, menurut Mansyur, posisi ibu kota Kalimantan di Banjarmasin maupun di Banjarbaru memiliki latar historis masing-masing sebagai hal yang meguatkan.

Tinggal pengambil keputusan yang tentunya bisa menafsir, menganalisa hingga mengambil keputusan tentang hal ini.

"Diperlukan sikap arif demi kemaslahatan dan kemajuan banua di masa mendatang. Paling tidak dengan belajar dari sejarah, bisa lebih bijaksana menentukan kebijakan," pungkasnya.