Suku Tikus Di Beijing

Menelusuri Kehidupan Suku Tikus di Beijing, Tinggal di Bawah Tanah karena Berharga Murah

Adalah Suku Tikus, pekerja bergaji rendah yang tinggal di bawah Kota Beijing. Tempat yang mereka singgahi tentu tak selayak perumahan pada umumnya.

Kehidupan Suku Tikus yang tinggal di bawah tanah Beijing (Foto: dok.Pn4blogku)

apahabar.com, JAKARTA - Jejeran gedung pencakar langit nan megah telah menjadi panorama umum di Beijing. Siapa sangka, di balik gemerlapnya kota tersibuk di Cina itu, terdapat ratusan – bahkan jutaan – warganya yang hidup bak hewan pengerat: tinggal di bawah tanah.

Adalah Suku Tikus, pekerja bergaji rendah yang tinggal di bawah Kota Beijing. Tempat yang mereka singgahi tentu tak selayak perumahan pada umumnya: minim pencahayaan, nihil jendela, hanya tersedia toilet umum, bahkan kamar mandi pun ‘disewakan’ terpisah.

Tempat bernama Dixia Cheng atau ‘The Dungeon’ itu menjadi alternatif bagi kawula muda yang hendak mengadu nasib di kota besar.

Sembari menahan sesaknya ‘rumah yang tak layak’, mereka menggenggam asa menjadi orang sukses – bisa menabung, lalu melejitkan karier.

‘Tabungan’ bagi Kerah Biru

Biaya sewa Dixia Cheng hanya sepertiga harga tempat tinggal di Kota Beijing. Itulah sebabnya, para pekerja yang utamanya kerah biru, memilih singgah di bawah tanah sampai tabungannya cukup untuk membeli apartemen di atas tanah.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan salah seorang Suku Tikus, Wei Kuwan. Lelaki yang berprofesi sebagai sales asuransi ini mengaku ‘takut jatuh miskin’, sehingga memutuskan tinggal di bawah tanah.

“Banyak dari teman-teman saya yang tinggal di atas, tetapi saya pikir di sini juga nyaman, tempat ini bahkan memaksa saya untuk bekerja keras,” ujarnya, seperti dikutip dari designstack.co, (19/2/2015).

Berkat tekadnya itu, Wei berhasil memiliki penghasilan sekitar 30 ribu yuan atau setara Rp64,4 juta per bulan.

Padahal, sebelumnya dia hanya memiliki gaji sekitar 800 yuan atau Rp1,8 juta. Tabungan ini pun bakal dia gunakan untuk membeli apartemen di atas tanah.

Tempat Tinggal Ilegal

Meski menjadi alternatif bagi banyak orang, ternyata Dixia Cheng merupakan tempat tinggal yang ilegal. Pada 2012 silam, Pemerintah Beijing melarang warganya untuk singgah di bawah tanah dengan alasan keamanan, seperti risiko kebakaran dan banjir.

Alasan lain, nampaknya, karena kehidupan bak hewan pengerat itu bertentangan dengan citra Beijing sebagai kota modern. “Kami tidak pernah mengizinkan penggunaan tempat tinggal bunker-bunker di bawah tanah,” kata Office Director Kantor Pertahanan Sipil Kota Beijing, Xu Jinbao.

Namun, seiring berjalannya waktu, Dixia Cheng malah menjadi solusi atas membludaknya warga Beijing.

Kota ini kian padat, entah karena kedatangan banyak imigran, atau angka kelahiran yang makin tinggi.

Buku The Rat People: A Journey through Beijing’s Forbidden Underground karya Patrick Saint-Paul menyebut bahwa sedikitnya 40 persen dari total 1,4 miliar penduduk Cina menjadi bagian dari Suku Tikus.

Bermula dari Kekhawatiran Mao Ze Dong

Terlepas dari legalitasnya, Dixia Cheng sejatinya merupakan buah pemikiran pemimpin Cina kala itu, Mao Ze Dong.

Melansir History, hal ini bermula ketika hubungan antara Negeri Tirai Bambu dan Uni Soviet mulai memanas pada akhir 1950-an. 

Kedua negara tersebut dikabarkan memiliki perbedaan politik yang memungkinkan terjadinya konflik besar. Mao Ze Dong khawatir manakala Uni Soviet bakal menjatuhkan bom atom di negara pimpinannya.

Sebab itulah, sang pemimpin Cina meminta warganya untuk menggali terowongan di bawah rumah guna mengantisipasi ancaman bom atom. Alhasil, pada akhir 1970, sebanyak 75 kota besar di Cina telah menggali lubang.

Terowongan tersebut diperkirakan bisa menampung sekitar 60 persen populasi rakyat Cina.

Termasuk di Beijing, pembangunan terowongan mencapai 30 kilometer yang diperuntukkan menghubungkan kehidupan delapan juta rakyat di bawah tanah.

Namun, kekhawatiran Mao Ze Dong yang demikian tak pernah terwujud: Uni Soviet malah runtuh dan terpecah. Penduduk yang terlanjur nyaman hidup di bawah tanah pun enggan pindah. 

Mereka kadung nyaman karena tinggal di bawah tanah karena jauh dari kebisingan kota. Selain itu, saat cuaca dingin, mereka merasa lebih hangat, sekaligus merasa lebih sejuk pada musim panas.

Seiring berjalannya waktu, terowongan bawah tanah itu pun mulai ditinggalkan. Alih-alih merusak peninggalan bersejarah, Kantor Pertahanan Sipil mengalihfungsikan tempat itu sebagai tujuan komersial, seperti pabrik, gudang, arena sepatu roda, dan sebagainya.

Hingga kini, Dixia Cheng masih menjadi alternatif ideal bagi pekerja bergaji rendah yang hendak memperbaiki nasib di kota besar.