Menelusuri Histori ‘Terlahir Kembali’ Lewat Setoples Nastar

Nastar, kue kering berisikan selai nanas, tak ubahnya menjadi pemanis dalam momen ‘terlahir kembalinya’ umat Islam.

Kue Nastar. Foto: Commons.

apahabar.com, JAKARTA - Takbir menggema saling bersahutan. Baju baru tergantung rapi di dalam lemari, siap menemani salat Idulfitri. Pun tak lupa di meja makan, tersaji setoples nastar yang mustahil absen tiap lebaran.

Begitulah kiranya suasana hari raya di Indonesia. Nastar, kue kering berisikan selai nanas, tak ubahnya menjadi pemanis dalam momen ‘terlahir kembalinya’ umat Islam. Kudapan ini bahkan tak jarang dimaknai sebagai lambang rezeki.

Filosofis kue nastar begitu mengakar di tatanan sosial negeri ini. Meski demikian, siapa sangka, ternyata kudapan ini bukanlah sajian khas Nusantara. Melainkan, berasal dari negara nun jauh di Eropa, Belanda.

Hal itu sebagaimana dijelaskan Sejarawan Kuliner dari Universitas Padjajaran, Fadly Rahman. Menurutnya, kue nastar semula dikenal pada masa kolonial, melalui pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan lebaran. 

“Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga priyayi merayakan lebaran, bahkan di sini juga ada hantar-menghantar ketika lebaran. Keluarga Eropa menghantarkan makanan seperti kue kering ini untuk keluarga priyayi," ujarnya, dikutip dari Antara, Selasa (18/4).

Terinspirasi dari Pie

Nastar kala itu tidak sepenuhnya sama dengan bentuknya sekarang. Fadly mengatakan kue kering tersebut terinspirasi dari olahan pie Belanda, di mana dibuat dalam loyang besar, lalu diisi selai yang terbuat apel, blueberi, atau stroberi.

Dahulu, saat orang Belanda datang ke Nusantara, mereka hendak membuat kue pie. Namun, mereka kesusahan mencari blueberry, stroberi, dan apel yang tekstur kematangannya seperti buah yang ada di tanah asalnya.

Sebagai alternatif, muncullah ide untuk mengganti buah-buahan itu dengan nanas yang banyak dijumpai di Indonesia. Buah ini juga dipilih lantaran rasanya yang manis dan asam mewakili cita rasa apel ataupun stroberi. 

Dari pemilihan bahan itu pula, tercetuslah nama nastar. Ini merupakan gabungan dari bahasa Belanda, yakni “ananas” yang berarti nanas dan “taartjes” atau “tart” yang berarti kue.

Modifikasi yang Kian Menjadi

Seiring berjalannya waktu, kue nastar lantas dimodifikasi sedemikian rupa. Chef Andreas dari Hotel Noormans Semarang menyebut modifikasi yang dilakukan utamanya dalam segi bentuk dan adonan.

“Kalau  di Belanda, pie diolah dalam loyang besar. Di Indonesia, adonannya dibentuk bulatan kecil-kecil agar lebih mudah dikonsumsi,” ujarnya, seperti dilansir dari laman Indonesian Chef Association.

Perubahan itu tak cuma dari bahan pembuatan kue nastar sendiri, melainkan juga dari status sosial. Semula, kudapan tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan. Tetapi kini, siapa pun bisa menikmati legit lagi manisnya nastar.

Begitu pun dengan momen tersajinya kue ini. Nastar tak cuma disajikan saat lebaran, namun juga eksis saat etnis Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek.

Malahan, mereka menganggap kudapan berwarna kuning keemasan itu sebagai lambang rezeki dan keberuntungan.