Kalsel

Menakar Efektivitas Kebijakan PPKM Level IV Banjarmasin di Mata Pakar Covid-19

apahabar.com, BANJARMASIN – PPKM level IV Banjarmasin digadang-gadang berakhir besok, Senin (30/8). Wali Kota Ibnu Sina…

Oleh Syarif
Tes antigen di pos penyekatan kilometer 6 Banjarmasin saat PPKM level IV. Foto-apahabar.com/Bahaudin Qusairi

apahabar.com, BANJARMASIN – PPKM level IV Banjarmasin digadang-gadang berakhir besok, Senin (30/8). Wali Kota Ibnu Sina telah menyampaikannya awal pekan tadi.

Sejumlah kebijakan diambil Satgas Covid-19 Banjarmasin dalam PPKM level IV ini. Dari penyekatan di pintu masuk, operasi yustisi, hingga tes antigen dadakan.

Lantas sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut?

Hidayatullah Muttaqin dari Tim Pakar Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menilai, penyekatan di pintu masuk tidaklah efektif jika untuk menekan kasus penularan.

Perlu diingat, seluruh wilayah di Kalimantan Selatan termasuk sudah terjadi transmisi lokal.

“Justru sesuai dengan jumlah dan kepadatan penduduk, risiko penularan di dalam Kota Banjarmasin lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya,” ujar Muttaqin, Minggu (29/8).

Seharusnya selain pengendalian mobilitas dari luar, hal yang sama juga dilakukan di dalam wilayah Banjarmasin.

“Pengendalian mobilitas lintas wilayah bersifat koordinatif khususnya untuk setiap daerah yang berbatasan langsung sehingga tidak bisa dilakukan secara parsial,” bebernya.

Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan ULM itu bilang, strategi utama untuk menurunkan mobilitas penduduk sendiri bukanlah dengan membuat penyekatan tetapi dengan memperlambat kegiatan ekonomi.

Sebab faktor utama penggerak mobilitas penduduk adalah dari sana. Tanpa menurunkan "tensi" kegiatan ekonomi mobilitas penduduk tidak akan turun. Penyekatan dalam situasi tanpa penurunan kegiatan ekonomi berpotensi menyebabkan penumpukan di jalan.

“Seperti yang kita lihat sebelum dan saat pelaksanaan PPKM level empat di Banjarmasin hingga saat ini, mobilitas lokal tetap tinggi seperti sebelum adanya kebijakan pembatasan tersebut. Karena itu penularan Covid-19 terus terjadi di tengah masyarakat,” imbuhnya.

Adapun tes acak dengan rapid test antigen di tempat penyekatan Muttaqin juga menilai kurang efektif. Pasalnya setelah dites, tak ada lagi tindak lanjut terhadap yang bersangkutan.

“Karena setelah dilakukan tes, warga yang kedapatan hasilnya positif tidak dilakukan tindakan lebih lanjut dengan tes PCR dan isolasi. Mereka hanya dihimbau saja,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut Muttaqin, tes antigen dapat digunakan sebagai shock therapy bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan, seperti tidak memakai masker dan berkerumun.

Penegakan protokol kesehatan (Prokes) di tengah masyarakat menjadi sangat penting dilakukan secara humanis dan mendidik, salah satunya dengan melakukan tes antigen terhadap pelanggarnya.

“Jadi berdasarkan situasi di Banjarmasin sendiri, tes antigen seharusnya diarahkan secara acak setiap hari di tempat-tempat yang biasanya terjadi kerumunan. di dalam kota Juga semestinya ada patroli rutin di dalam kota untuk menegakkan protokol kesehatan,” imbuhnya.

“Tujuannya bukan melakukan tes antigen sebanyak-banyaknya tetapi sebagai bentuk shock therapy. Jika dilakukan di perbatasan dan hanya sekali tentu saja sangat tidak efektif,” pungkasnya Muttaqin.