Membumikan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework di Indonesia

Wakil Menteri Alue mengakui Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework berisikan target ambisius untuk merumuskan kebijakan keanekaragaman hayati.

Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyebutkan dalam sambutannya bahwa Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework berisikan target-target yang cukup ambisius yang akan menjadi salah satu acuan untuk merumuskan rencana dan kebijakan keanekaragaman hayati di tingkat nasional. Foto: KLHK

apahabar.com, JAKARTA - Wakil Menteri LHK Alue Dohong mengakui Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework berisikan target-target yang cukup ambisius yang menjadi salah satu acuan untuk merumuskan rencana dan kebijakan keanekaragaman hayati di tingkat nasional.

Hal itu sebagai tindak lanjut dari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah menyelenggarakan pertemuan para pihak (COP-CBD) ke-15 di Montreal, Canada pada 7 - 19 Desember 2022.

Wakil Menteri LHK Alue Dohong yang hadir sebagai pimpinan delegasi saat itu mengungkapkan adanya kesepakatan kerangka kerja global untuk mengurangi laju hilangnya keanekaragaman hayati yang diadopsi oleh semua anggota Convention of Biological Diversity (CBD) yang disebut Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework.

"Terdapat 4 (empat) elemen kunci kerangka kerja global di tahun 2050 yang dijabarkan dengan 23 target yang diharapkan dapat dicapai di tahun 2030," kata Wamen Alue dalam Lokakarya Nasional dan Sosialisasi Hasil COP 15 CBD di IPB International Convention Center Bogor dikutip Senin (13/3).

Target tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) isu besar yaitu: 8 (delapan) target untuk pengurangan resiko ancaman terhadap keanekaragaman hayati; 5 (lima) target untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian manfaat; dan 10 (sepuluh) target untuk mendukung implementasi dan pengarusutamaanya.

“Implementasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global tersebut dipandu dan didukung melalui paket keputusan yang komprehensif yang juga diadopsi pada COP 15," terang Alue.

Paket keputusan ini mencakup: kerangka kerja untuk pemantauan capaian; mekanisme untuk perencanaan, pemantauan, pelaporan, dan peninjauan implementasi; sumber daya keuangan yang diperlukan untuk implementasi; kerangka kerja strategis untuk pengembangan kapasitas dan kerjasama teknis dan ilmiah; serta kesepakatan tentang informasi urutan digital pada sumber daya genetik atau yang dikenal sebagai digital sequence information (DSI).

Pelestarian keanekaragaman hayati

Pelestarian keanekaragaman hayati telah menjadi perhatian di tingkat nasional, khususnya Presiden Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 1 tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan.

“Dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 1 tahun 2023 ini, saya mencanangkan sebuah konsep pembangunan yang disebut dengan Pembangunan Sensitif Keanekaragaman Hayati yang artinya pembangunan dan kebijakan yang harus memperhatikan aspek konservasi, sustainabilitas, dan pemanfaatan secara bijak keanekaragaman hayati,” ungkap Wamen Alue.

Alue juga menuturkan Inpres tersebut mengingatkan tentang pentingnya keseimbangan penggunaan ruang untuk pembangunan ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati. Serta yang terpenting perlunya koordinasi dan integrasi para pihak untuk mendukung peran keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan.

“Pendekatan ruang atau lanskap untuk melestarikan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dan bijaksana keanekaragaman hayati saat ini memerlukan terobosan di tingkat kebijakan sampai di tingkat tindakan/aksi nyata,” terang Alue.

Lebih lanjut, Wamen Alue memaparkan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati, antara lain: mengintegrasikan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework ke dalam kebijakan nasional yang dimuat dalam Strategi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategic Action Plan/IBSAP) serta diterjemahkan ke dalam RPJMN, RPJMD, dan Renstra Kementerian/Lembaga.

Kemudian, mempercepat penyusunan regulasi dan kebijakan untuk akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang berkeadilan (Access And Benefit Sharing/ABS), menterjemahkan ke dalam kebijakan terhadap implementasi Digital Sequencing Information (DSI).

"Dan membangun sistem data terkait dengan keanekaragaman hayati dan penguatan terhadap Balai Kliring Keanekaragaman Hayati Indonesia sebagai mandat CBD," jelas Alue.

Sebagai langkah awal implementasi di tingkat nasional atas hasil COP 15 CBD, sosialisasi diperlukan agar dapat berkontribusi pada pencapaian target global sekaligus sebagai bahan penyusunan Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Hal itu, menurut Wamen Alue, sejalan dengan rencana capaian SDGs, NDC, dan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.