Membayar Zakat Fitrah Langsung ke Mustahik Atau Lewat Amil, Mana Lebih Utama?

Beberapa hadits menyebut bahwa Rasulullah s.a.w selalu mengutus amil untuk menghimpun zakat dari para kaum aghniya.

MEMBAYAR zakat fitrah.(Foto: Antara)

bakabar.com, BANJARMASIN – Membayar zakat, sebagai rukun Islam yang keempat, menunjukkan  indikator keislaman seorang muslim. Dalam Islam terdapat dua jenis zakat, yakni zakat fitrah dan zakat mal atau zakat harta.

Zakat tersebut disalurkan kepada delapan golongan yang berhak menerimanya, yakni seperti yang tertera dalam Al-Quran Surah At-Taubah:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60)

Dalam berzakat ada tiga pihak yang terlibat, yakni muzaki atau pemberi zakat, mustahik atau penerima zakat, serta amil atau petugas zakat. Amil berkewajiban menyalurkan zakat dari muzaki kepada mustahik yang termasuk dalam delapan golongan di atas.

Lantas mana yang lebih utama, menyalurkan zakat fitrah langsung kepada muzaki atau menyalurkannya lewat amil?

Melalui Al-Quran surah At-Taubah ayat 60 sebelumnya, Allah SWT telah menyebutkan secara tersurat bahwa ibadah zakat memiliki pengurusnya sendiri atau petugas zakat, yakni amil. Hal ini berkaitan dengan surah At-Taubah ayat 103, di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w sebagai pemimpin umat untuk “mengambil” sebagian harta dari para aghniya. Aghniya merupakan orang kaya atau orang yang memiliki kemampuan dalam mencukupi kebutuhannya.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah: 103)

Arti dari “sebagian harta” dalam ayat di atas adalah zakat. Menurut tafsir Al-Maraghi, zakat tersebut akan membersihkan diri para aghniya atau orang yang memiliki kekayaan dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan juga untuk menyucikan diri mereka dari kecintaan terhadap harta.

Selain itu, zakat tersebut juga akan membersihkan diri mereka dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w kemudian mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum muslimin.

Sebagaimana dilansir dompetdhuafa.org, penarikan dan pengelolaan zakat pada zaman Rasulullah s.a.w dilakukan oleh panitia khusus yang disebut amil zakat. Mereka mendapat wewenang penuh dari Nabi s.a.w untuk mendata kaum muslimin yang wajib mengeluarkan zakat. Kemudian, mereka melakukan pendistribusian zakat kepada delapan golongan orang yang berhak menerimanya.

Panitia zakat ini dibentuk secara khusus untuk pekerjaan yang khusus pula. Mereka melakukan pendataan terhadap muzaki dan mustahik agar data yang terkumpul akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, kekeliruan seperti salah sasaran dalam pendistribusian zakat tidak akan terjadi.

Salah satu kisah tentang petugas zakat atau amil yang paling terkenal adalah Muadz bin Jabal. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim nomor 1308 disebutkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w mengutus Muadz bin Jabal  ke Yaman untuk jadi petugas zakat.

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi s.a.w mengutus Muadz ke Yaman, lalu menuturkan isi haditsnya, dan di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat kepada mereka pada harta mereka yag diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.” (H.R. Bukhari- Muslim)

Selain itu, beberapa hadits juga menyebut bahwa Rasulullah s.a.w selalu mengutus amil untuk menghimpun zakat dari para kaum aghniya.

Kewajiban mengeluarkan zakat dari kaum aghniya di masa Rasulullah s.a.w dikontrol langsung oleh beliau dengan dibantu Umar bin Khattab, Ibnu Lutabiyah, Abu Mas’ud, Abu Jahm, Uqbah bin Amir, Dhahaq, Ibnu Qais dan Ubadah bin al-Shamit yang kemudian diangkat sebagai amil oleh Nabi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyaluran zakat fitrah lebih baik diserahkan kepada amil zakat yang amanah, kredibel, serta profesional daripada menyerahkannya langsung kepada mustahik.

Namun, boleh-boleh saja menyalurkan zakat fitrah langsung kepada mustahik, tetapi dengan syarat. Zakat fitrah boleh langsung disalurkan kepada mustahik hanya jika sudah tidak ada amil di suatu wilayah, atau ada amil tetapi amil tersebut telah terbukti tidak amanah.

Keutamaan Menyalurkan Zakat Fitrah Lewat Amil

Terdapat lima keunggulan apabila zakat fitrah diserahkan melalui amil atau lembaga amil zakat (LAZ), di antaranya:

1. Sesuai dengan perintah dan petunjuk dalam Al-Quran dan Sunah
2. Kepastian dan kedisiplinan pembayar zakat terjamin
3. Perasaan muzaki dan mustahik terjaga, muzaki tak besar hati dan mustahik tidak merasa rendah diri
4. Tercapainya efisiensi dan efektivitas, serta ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat sesuai skala prioritas yang ada di suatu wilayah
5. Menyebarkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami