Opini

Membaca Manaqib, Melestarikan Tradisi Urang Banjar

Oleh: Abu Zein Fardany TRADISI Membaca Manaqib sudah lama ada di masyarakat Banjar. Telah diwarisi turun temurun…

Ilustrasi, Wadai 41.Foto-Istimewa

Oleh: Abu Zein Fardany

TRADISIMembaca Manaqib sudah lama ada di masyarakat Banjar. Telah diwarisi turun temurun yang penulis tidak tahu kapan dimulai dan siapa yang memulai. Di mana saja berada, urang Banjar akrab dengan tradisi ini.

Acara Membaca Manaqib dalam tradisi urang Banjar adalah berkumpul bersama dan mengundang seorang pemuka agama untuk membaca manaqib atau menceritakan tentang riwayat hidup seorang shaleh yang diyakini sebagai Wali Allah.

Secara bahasa, “Manaqib” berasal dari Bahasa Arab, jamak dari kata “manqabah” yang bisa bermakna dinding, jalan, juga kebajikan. Kalimat “manqabah ar-rajul” diterjemahkan dengan “perbuatan baik seorang pria”. Kata ini berakar pada “naqaba” yang diantara artinya mengembara, menjadi pemimpin, dan banyak lagi arti lainnya.

Manaqib al-Wali ash-Shalih, menurut dalam Kamus Mu’jam al-Ghani, adalah istilah untuk “cerita-cerita tentang kebaikan dan akhlak terpuji sang wali”. Dengan demikian, acara Membaca Manaqib sangat tepat bila kita pahami sebagai “membaca atau mengisahkan riwayat hidup yang berkenaan dengan perjalanan hidup, perbuatan baik, akhlak terpuji dan kepemimpinan seseorang”.

Selain sebagai pengingat atas riwayat hidup para tokoh demi bisa menapak tilas jejak langkah dan meneladani akhlak baiknya, membaca Manaqib juga diyakini mengundang aneka manfaat.

Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa ketika disebutkan riwayat orang shaleh, maka akan diturunkan rahmat. Imam Nawawi menyebutkan dalam Syarh al-Muhadzdzab bahwa mengingati riwayat orang shaleh menggembirakan hati. Bahkan asy-Syaikh Abdullah al-Yafi’i, seorang yang dipercaya sebagai Wali Qutb mengatakan bahwa ketika diceritakan tentang orang shaleh rahmat diturunkan, hati orang yang berhadir dihidupkan, diberi cahaya dan ditenangkan.

Dari sekian banyak riwayat hidup Wali Allah dan orang shaleh, sependek pengetahuan penulis, yang paling sering dilaksanakan urang Banjar adalah Membaca Manaqib Sayyidatina Khadijah, Manaqib Syekh Samman al-Madani dan Manaqib Abah Guru Sekumpul.

Dalam tradisi urang Banjar, selain dilaksanakan karena menunaikan nazar, acara Membaca Manaqib juga menjadi semacam “wiridan”. Manaqib Sayyidatina Khadijah misalnya, banyak orang Banjar yang mewiridkan acara Baca Manaqib-nya setiap bulan, yaitu tiap tanggal sebelas bulan Hijriyah, menyesuaikan tanggal wafatnya. Ada pula yang mewiridkan menyesuai bulan wafat. Manaqib Sayyidatina Khadijah setiap bulan Ramadan, Syekh Samman Al-Madani setiap bulan Dzulhijjah, dan Abah Guru Sekumpul setiap bulan Rajab.

Bila kita perhatikan, ada tradisi unik dalam setiap acara Membaca Manaqib yang dilakukan oleh urang Banjar, khususnya Banjar Kuala, yaitu menyajikan beraneka kue dan minuman di hadapan pembaca manaqib.

Menarik untuk mempertanyakan, darimana muasal tradisi ini?

Melacak muasal kita perlu menelusuri tradisi masyarakat Banjar zaman dahulu. Saya kira hal ini berpangkal pada tradisi penyajian wadai 41 pada acara-acara tertentu yang diwarisi dari leluhur Banjar. Yaitu menghadirkan empat puluh satu macam kue tradisional Banjar yang disajikan dalam sebuah acara resmi atau adat.

Tradisi penyajian wadai 41 menurut pegiat kebudayaan Banjar, Joerliani Djohansyah, sebagaimana dimuat Kompas dot kom, bermula dari tradisi masyarakat Hindu pada masa Kerajaan Dipa di Hujung Tanah, kini Kalimantan Selatan. Wadai 41 mengandung semacam simbol, yaitu warna putih melambangkan kebaikan, merah: keberanian, hijau: kemakmuran, dan kuning: kemuliaan atau kejayaan. Semua warna melambangkan harmoni kehidupan. Sajian Wadai 41 dimaksudkan sebagai sesajen untuk para roh penghuni alam semesta.

Pada perkembangannya, pasca pengislaman besar-besaran masyakarat Banjar, tradisi ini tidak dihilangkan. Hingga kini, di setiap acara di Kesultanan Banjar ataupun acara kabupaten, biasanya penyajian beraneka kue menjadi salah satu bagian penting melengkapi acara. Bahkan, bagi sebagian kalangan, untuk acara perkawinan atau kelahiran, sesajian wadai 41 dihadirkan. Bedanya, kini wadainya tidak mesti berjumlah 41 jenis. Bahkan, bukan hanya wadai yang disajikan, tapi juga buah-buahan.

Intinya, menyajikan bermacam makanan dan minuman. Penyajiannya juga tidak lagi dimaksudkan sebagai sesajen untuk para roh penghuni alam, tapi sebagai “tabarruk” untuk kemudian dibagikan kepada mereka yang berhadir di acara tersebut.

Selanjutnya, bagaimana syariat Islam memandangnya dan apa sikap kita?

Menurut pandangan syariat Islam, menyajikan berbagai macam makanan dalam sebuah acara tidaklah terlarang, selama tidak membawa pada kemubadziran. Mubadzir disini maksudnya makanan tersebut terbuang percuma, tidak dimanfaatkan alias dikonsumsi. Bahkan, umat Islam diperintahkan untuk menjamu tamunya sesuai batas kemampuannya. Dalam artian tidak sampai terhutang hanya untuk menjamu tamu.

Tidak terkecuali dalam acara Baca Manaqib, di mana biasanya dihadiri keluarga, tetangga dan teman si empunya acara. Menyajikan berbagai makanan dan minuman untuk mereka nikmati bersama bukanlah hal tercela.

Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin mengisahkan bahwa ada sebagian ulama Khurasan yang selalu menyajikan makanan yang banyak kepada kawan-kawannya yang tidak bakal habis dimakan oleh mereka.

Alasannya, dia menerima riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya para teman/saudara bila telah mengangkat tangan (berhenti) dari makanan, tidaklah dihisab orang yang memakan makanan yang tersisa”. Karenanya, mereka suka memperbanyak sajian kepada tamu-tamunya agar bisa memakan sisanya yang mendapat “berkah” tidak dihisab.

Apa yang dilakukan para ulama Khurasan -sebagaimana yang diceritakan Imam Ghazali- bisa kita kawinkan dengan tradisi masyarakat Banjar menyajikan aneka makanan dan minuman diatas. Dengan catatan, sajian itu untuk para tamu, bukan sesajen untuk roh, tidak membebani, dan bila ada sisanya untuk dikonsumsi oleh si empunya acara atau disedekahkan. Karenanya, tidak salah bila kita bersikap mempertahankan dan melestarikan tradisi urang Banjar ini.

Bukankah menjaga tradisi leluhur dan kemudian mencarikan solusinya dalam ajaran agama Islam jauh lebih baik daripada membuangnya sama sekali? Sejalan dengan prinsip Ahlususnnah Wal Jama’ah “Al-Muhafazhah ‘Ala Al-Qadiimi Ash-Shaalih Wa Al-Akhdz ‘Ala Al-Jadiid Al-Ashlah”, memelihara tradisi yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Hanya membuang bagian yang bertentangan dengan agama Islam dan melestarikan yang masih bisa dibenarkan syariat Islam. Toh acara Membaca Manaqib juga masih di ranah tradisi, bukan ibadah mahdhah yang tata caranya diatur oleh syariat. Jadi tak ada batasan dalam berkreasi selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat. Karenanya, tradisi Membaca Manaqib plus menyajikan aneka macam kue adalah tradisi yang patut untuk kita lestarikan.

Menurut Sampeyan?

Abu Zein Fardany. Foto-Istimewa

-Penulis adalah Alumni Ma’had ‘Aly Darussalam dan aktivis LDNU Kabupaten Banjar-

Editor: Muhammad Bulkini

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.