Opini

Meluapnya Glorifikasi Gerakan Kampanye Nikah Muda di Tengah Pandemi Corona

Oleh Meliyeni Kita mengerti bahwa pandemi Covid-19 yang sedang terjadi telah membawa banyak sekali perubahan dari…

Ilustrasi: Okezone.com

Oleh Meliyeni

Kita mengerti bahwa pandemi Covid-19 yang sedang terjadi telah membawa banyak sekali perubahan dari berbagai segi kehidupan. Yang paling nampak adalah pengaruhnya terhadap tekanan ekonomi yang berkepanjangan.

Ribuan pekerja kehilangan profesinya sehingga keluarga mereka jatuh miskin. Ditutupnya sekolah sampai waktu yang belum ditentukan tidak dibarengi dengan digratiskannya biaya pendidikan meski para pelajar dirumahkan.

Tulisan ini dibuat untuk menyikapi isu prediksi akan ada banyak muda mudi dinikahkan sebagai salah satu efek pandemi Corona. Erica Hall, seorang pakar pernikahan anak dari lembaga amal World Vision mengatakan, "Ketika terjadi krisis, seperti perang, bencana alam, atau pun pandemi, angka pernikahan dini pada anak-anak meningkat". Sehingga tidak sedikit keluarga mungkin berpikir untuk menikahkan anak perempuannya demi mengurangi besarnya biaya tanggungan mengurus anak. Belum lagi faktor keluarga yang tinggal di Perdesaan atau memang berlatar belakang pendidikan rendah.

Indonesia dalam dasar hukumnya Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan ketentuan bahwa batas minimal usia menikah bagi mempelai pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan mempelai wanita 16 (enam belas) tahun. Namun berdasarkan pada berbagai pertimbangan ditetapkanlah UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengubah ketentuan usia minimal melangsungkan pernikahan adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 19 (sembilan belas) tahun bagi wanita, yang mana ini berarti batas usia tersebut dipersamakan.

Sedikit banyak ini terpengaruh oleh adanya Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berarti jika usia mempelai masih 16 (enam belas) tahun, maka mempelai tersebut masih dapat dikatakan sebagai Anak.

Nikah muda tidak serta merta dimaknai sebagai pernikahan di bawah umur jika usia mempelai telah memenuhi ketentuan Undang-Undang. Menikah di usia 22 berbeda definisi dengan menikah usia 16 atau 17 yang disebut sebagai Perkawinan Usia Anak (PUA).

Namun, dewasa ini permasalahan diselenggarakannya pernikahan dibawah umur masih kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, apalagi dengan hadirnya pandemi Covid-19.

Seringkali kita jumpai saat berseluncur di dunia maya, kita disuguhkan dengan kampanye nikah muda baik yang secara implisit maupun terang-terangan. Tidak sedikit kita temukan akun-akun sosial media kampanye nikah muda yang herannya memiliki jumlah pengikut yang membludak. Hingga kemudian satu dua dari anggota mereka membuat konten sendiri dengan tujuan menginspirasi muda mudi diluar sana untuk tertarik melakukan hal serupa.

Beragam cara dilakukan demi tersampaikan pesan indahnya nikah muda. Mereka berusaha menggembar-gemborkan testimoni yang mereka rasakan sendiri dari bahagianya menjalani hal tersebut. Tapi yang sangat disayangkan, dampak positif yang ditunjukkan tidak disertai dengan penjabaran dampak negatif apa saja yang bisa terjadi jika melangsungkan nikah muda.

Nikah muda yang dikampanye kan komunitas-komunitas pada berbagai platform sosial media tidak jarang mengatas namakan agama. Entah dengan membuat pernyataan "menikah muda akan mempercepat lahirnya anak kaum muslimin, dengan begitu Islam akan semakin kuat", atau dengan alibi sebagai bentuk penghindaran zina.

Padahal kenyataannya tidak akan semudah itu. Zina bisa dihindari dengan saling menjaga diri tanpa harus langsung menikah. Al-Qur'an tidak menyebutkan tujuan yang demikian, pernikahan bertujuan agar manusia (perempuan dan laki-laki) saling mendapatkan ketenangan. Lagipula jika benar, pernikahan bukan bertujuan untuk mendapatkan keturunan semata.

Nikah di bawah umur yang dalam hal ini adalah pernikahan dini membawa lebih banyak pengaruh pada kehidupan pihak perempuan. Ada begitu banyak dampak yang terjadi baik pada fisik maupun psikis mereka. Di perdesaan, beberapa tahun ke belakang terjadi peningkatan pernikahan dini. Sebutlah usia lulus Sekolah Menengah Pertama.

Peningkatan pernikahan dini tentu saja membuat jumlah komplikasi ibu hamil, keguguran, kelahiran kurang umur dan komplikasi bayi meningkat.
Tidak henti-hentinya dilakukan sosialisasi sex education bagi pasangan-pasangan muda untuk jangan dulu menanti momongan.

Tunggulah sampai ibunya minimal berusia 20 tahun. Kendati demikian kita memahami bahwa sebagian besar pernikahan dini didominasi dari hasil paksaan orang tua, karena tuntutan ekonomi dan bukan keinginan pribadi sehingga suami istri muda ini belum siap menjalani. Akibatnya, tidak sedikit ibu muda mengalami baby blues selagi mereka mengandung maupun setelah melahirkan.

Pendidikan bagi perempuan tidaklah kalah penting dengan laki-laki. Wanita dan Pria seyogyanya mendapatkan kedudukan yang sama dan memang seharusnya demikian. Terkadang, kita sulit mengerti dengan beberapa pemikiran bahwa wanita harus bisa mengerjakan semua urusan rumah dan urusan dapur sedangkan laki-laki tidak dituntut untuk menguasai hal serupa. Miris, padahal Kartini sudah memperjuangkan kesetaraan hak wanita. Seharusnya budaya Patriarki jangan diterapkan pada semua aspek kehidupan.

Pendidikan juga sangat berpengaruh pada mental, cara berpikir dan bersosialisasi. Pengajar dan pendidik pertama seorang anak adalah tidak lain orang tuanya sendiri. Lalu bagaimana jika orang tuanya pun tidak mendapat pendidikan yang cukup dan bagaimana mereka membimbing anak mereka? Jika orang tua belum matang dalam banyak aspek, bagaimana tumbuh kembang anak mereka kelak? Jika seorang yang masih berusia anak lalu secara mendadak mendapat segudang tanggung jawab dengan tuntutan yang begitu banyak, niscaya akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah dengan baik.

Dan yang paling mengkhawatirkan adalah mayoritas kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada pernikahan yang pihak suami atau istri atau malah keduanya belum berpemikiran dewasa. Memang kita tidak bisa sembarang mengukur kadar kedewasaan seseorang berdasarkan usia. Namun, faktanya perkawinan usia anak rentan akan hal ini. Sehingga tidak sedikit kita temukan ibu muda yang pernikahannya gagal berakhir dengan perceraian dan membesarkan sendiri anaknya.

Menunda usia perkawinan akan menyelamatkan hak-hak anak yang seharusnya masih dimiliki dan disyukuri. Hak atas pendidikan yang layak, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak untuk dilindungi dari eksploitasi, dan hak kesehatan karena seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur. Usia remaja akan lebih baik dimanfaatkan untuk eksplorasi kemampuan diri, meniti langkah dengan bebas untuk meraih mimpi dan jangan kacaukan itu dengan pernikahan.

*

Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat