Indonesia Punya Cerita

Melintasi Stasiun Manggarai, Menjejaki Warisan Kolonial

Lautan manusia saling berdesakan bak ‘zombie’ jadi pemandangan yang umum menghiasi Stasiun Manggarai.

Stasiun Manggarai di masa lampau. Foto: Net.

apahabar.com, JAKARTA – Lautan manusia saling berdesakan bak ‘zombie’ jadi pemandangan yang umum menghiasi Stasiun Manggarai. Zaman silih berganti, namun pemberhentian kereta ini senantiasa dipadati para pencari nafkah dari daerah penyangga ibu kota.

Ketika peak hours, situasi di Stasiun Manggarai makin menggila. Jumlah penumpang transit membludak. Saking tak tahan dengan kondisi demikian, ada pekerja yang nekat resign demi menghindari kerumunan ‘zombie’ itu lagi.

Kepadatan Stasiun Manggarai. Foto: Liputan6.

“Saya merasa bisa gila kalau terus harus lewat Manggarai di jam peak hours. Saya benar-benar merasa sangat tersiksa di perjalanan,” begitulah pengakuan salah seorang pekerja, yang saban hari transit di Stasiun Manggarai.

Padatnya manusia di sana, boleh dibilang, memang sudah menjadi ‘makanan sehari-hari’ bagi penumpang commuterline Jabodetabek. Siapa sangka, situasi yang demikian nyatanya sudah melanggeng sejak dulu. 

Warisan Kolonial di Tempat Perbudakan

Lebih tepatnya, Stasiun Manggarai mulai beroperasi sedari kali pertama diresmikan pada 1 Mei 1918. Jauh sebelum itu, hub kereta ini sudah berfungsi sejak perusahaan swasta milik kolonial, Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), menyediakan layanan dengan rute Jakarta-Buitenzorg (Bogor).

Perusahaan tersebut membangun moda transportasi di atas perkampungan budak. Dulunya, Stasiun Manggarai merupakan tempat tinggal sekaligus pasar budak asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Kawasan tersebut sudah dikenal sejak abad ke-17 sebagai bagian dari Gementee alias daerah setingkat kota bernama Meester Cornelis. Usai dibangun menjadi stasiun kereta, terdapat pula layanan kereta api rute Jakarta-Bekasi.

Rute tersebut dibangun oleh Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) pada 1899. Perusahaan milik pemerintah, Staatssporwegen (SS) lantas membeli rute itu juga milik NISM untuk kemudian dilakukan penataan ulang.

Penataan ulang tersebut mencakup pembongkaran Stasiun Bukit Duri (kini jadi lokasi depo KRL) dan pembangunan Stasiun Manggarai. Pembangunan ini dimulai pada 1914 dengan dikomandoi arsitek Belanda bernama J. Van Gendt.

Sayang, dalam prosesnya, penataan ulang Stasiun Manggarai banyak yang melenceng dari rencana. Misalnya saja, perihal tiang peron yang semula dicanangkan menggunakan baja, malah diganti dengan kayu jati lantaran pasokan bahan terhalang Perang Dunia I.

Terlepas dari halangan pembangunan di masa lampau dan kondisinya belakangan ini, Stasiun Manggarai ditetapkan sebagai cagar budaya. Ini sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Penetapan itu terdaftar dengan nomor registrasi RNCB.19990112.04.000470 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/05, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 011/M/1999 dan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993.