Melihat Fenomena “Dunia Milik si Cantik” dari Drama True Beauty

Beauty privilege, begitu sebutannya. Orang berparas rupawan memang cenderung mendapat kemudahan dalam berbagai hal.

Melihat fenomena "dunia milik si cantik" dari drama True Beauty (Foto: Female Daily)

apahabar.com, JAKARTA - Sekolah mestinya jadi lingkungan ideal bagi siswa untuk belajar. Namun, agaknya tidak demikian dengan tempat di mana Lim Ju Kyung, tokoh utama dalam drama True Beauty, berada.

Alih-alih fokus belajar, gadis SMA itu malah sering mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari teman sekelasnya. Dirinya dirundung karena dianggap berparas jelek, yang lantas membuatnya merasa rendah diri hingga memutuskan untuk pindah sekolah.

Enggan menerima perlakuan serupa di tempat baru, Ju Kyung pun belajar memoles wajah secara otodidak. Usahanya tidak sia-sia, dia sukses bertransformasi jadi gadis cantik yang dipuja-puja banyak pria.

Kejadian yang demikian tak cuma ada dalam drama. Di kehidupan nyata, wajah cantik masih menjadi syarat utama agar bisa diterima di tatanan sosial dengan baik.

Barangkali karena hal itu pula, muncul ungkapan: Jika terlahir cantik, maka setengah dari permasalahan hidup akan terselesaikan.

Beauty privilege, begitu sebutannya. Orang berparas rupawan memang cenderung mendapat kemudahan dalam berbagai hal. Sebaliknya dengan orang yang berwajah biasa saja, bahkan dikategorikan jelek; perlakuan tak mengenakkan datang bertubi-tubi.

Bukan omong kosong belaka, kisah-kisah mengenai keuntungan menjadi cantik dan kesialan menjadi orang jelek sudah banyak beredar.

Salah satunya tren di TikTok beberapa waktu lalu, yang bisa ditemukan dengan mengetik kata kunci “beauty privilege.”

Lantas, sebenarnya apa yang membuat lingkungan ini kedatangan fenomena beauty privilege? Juga, apakah hal tersebut berdampak pada mereka yang terasingkan dari standar kecantikan?

Komunikasi Nonverbal yang Jadi Budaya

“If someone is easy on the eyes, the enjoyment we derive from looking at them colors our perceptions of other attributes.” Begitulah kutipan yang dimuat jurnal Why Beauty Matters (2006) karya Mobius dan Rosenblat.

Kutipan itu berarti bahwa jika seseorang menarik untuk dipandang, maka kenikmatan yang diperoleh dari melihatnya bakal mengubah perspektif orang lain terhadap semua penilaian tentangnya. 

Dengan kata lain, ini mengungkap fakta bahwa konstruksi sosial ‘memaksa’ untuk menilai positif seseorang ketika dia berwajah good looking. William Shakespeare menilai hal ini bukan sesuatu yang aneh.

Menurutnya, penampilan sejatinya merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang membentuk daya tarik. Sehingga, daya tarik fisik itu diakui sebagai sesuatu yang ‘berharga’ lagi ‘terhormat’. 

Hal itu, yang lantas disebut oleh Honingman dalam A Known Beauty: Models-Turned- Artists Challenge Beauty Privilege (2015) sebagai objek kekaguman. Budaya, secara turun temurun, lalu melanggengkan keistimewaan kecantikan hingga kini.

Penampilan yang mulanya adalah bentuk komunikasi nonverbal, lama kelamaan berubah jadi standar. Pakem kecantikan ini kian terkonstruksi seiring terpampangnya wajah-wajah dengan tipe tertentu di berbagai media.

Berbagai penelitian serta survei ilmiah pun sudah membuktikan bahwa penampilan sebenarnya berhubungan langsung dengan seberapa baik seseorang diterima oleh orang lain, entah dalam lingkungan sosial maupun lingkup pekerjaan.

Dampak Beauty Privilege

Adapun standar cantik sendiri sejatinya relatif. Namun, sebagian besar mengacu pada standar kecantikan Eropa, seperti putih, tinggi, dan kurus. Pakem yang demikian dikenal dengan istilah Eurocentric.

Bagi orang yang tak memenuhi standar itu, Stylist melaporkan ada beberapa hal yang dapat mereka alami.

Di antaranya, timbul rasa malu, rendah diri, bahkan depresi pada wanita yang terus-terusan merasa berpenampilan kurang menarik atau memiliki kekurangan fisik.

Tak cuma merugikan diri sendiri, beauty privilege pun berpotensi menciptakan lingkungan yang abai terhadap orang lain. Hal ini sebagaimana disampaikan Rhode dalam The Beauty Bias: The Injustice of Appearance in Life and Law (2010).

Menurutnya, wanita menganggap penampilan mereka sebagai bagian penting dari citra diri mereka.

Rhode berpendapat bahwa makin banyak wanita yang berfokus pada peningkatan penampilan, maka makin sedikit pula mereka yang akan memikirkan orang lain. 

Entah sampai kapan beauty privilege bakal melanggeng. Meski begitu, bukan berarti fenomena ini sama sekali tidak bisa dikendalikan.

Andrew Pearson selaku hipnoterapis menilai kebiasaan itu dapat dihilangkan dengan mengubah persepsi tentang kecantikan dan daya tarik seseorang.