Masyarakat Ekonomi ASEAN

Masyarakat Sipil Dorong Bisnis yang Inklusif dan Berkelanjutan

Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025 menggambarkan ekonomi yang lebih tangguh, inklusif, berorientasi pada rakyat, dan berpusat pada rakyat.

Deputi Direktur The PRAKARSA Dr. Victoria Fanggidae, Program Koordinator KRKP Lily N Batara, Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki, Ketua Dewan Pengurus INFID Khairani Arifin, Direktur Eksekutif ASPPUK Emmy Astuti, Country Director Oxfam in Indonesia Maria Lauranti berfoto usai penyerahan Komunike Bisnis Inklusif dari Masyarakat Sipil ASEAN. Foto: Garry Lotulung untuk apahabar.com

apahabar.com, JAKARTA – Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025 menggambarkan ekonomi yang lebih tangguh, inklusif, berorientasi pada rakyat, dan berpusat pada rakyat.

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan saat ini menjadi prioritas di Asia Tenggara. Sebagaimana tertuang dalam SDGs 17 'Partnership for the Goal' yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kolaborasi antarpemangku kepentingan untuk mendorong bisnis yang inklusif, bertanggungjawab, dan berkelanjutan mutlak diperlukan.

Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 21-22 Agustus 2023, 59 Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dari berbagai negara ASEAN berkumpul di Nusa Dua Bali dalam acara Side Event Inclusive Business Summit 2023: Collaboration for a More Inclusive ASEAN.

Kegiatan tersebut diinisiasi oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), The PRAKARSA, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Asosiasi Pendamping Usaha Kecil Perempuan (ASPPUK), dan Oxfam di Indonesia.

Baca Juga: RI dan Enam Negara ASEAN Tandatangani MoU Kejahatan Lintas Negara

Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki sebagai tuan rumah ASEAN Inclusive Business Summit 2023 menuturkan, untuk bergerak maju, Indonesia harus mendorong pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, pelaku sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan organisasi pembela hak-hak perempuan.

"Dengan menggabungkan kekuatan bersama, kita dapat menciptakan kebijakan dan inisiasi-inisiasi yang dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi saat ini, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan kemiskinan," ujar Menteri Teten.

Ia menambahkan, "Kemitraan publik-swasta sangat penting untuk mendorong inovasi, memanfaatkan sumber daya, dan meningkatkan praktik bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab."

Senada, Direktur Eksekutif ASPPUK Emmy Astuti mengungkapkan dalam mencapai bisnis inklusif yang ideal, tentu saja akan ada tantangan seperti akses keuangan, bantuan teknis, dan perubahan iklim.

Baca Juga: Mudahkan Ekspor, ASEAN Luncurkan Portal Pencari Tarif Baru

Hal itu memerlukan perhatian khusus agar dapat memastikan skala dan dampak dari inisiatif tersebut. Mengatasi hambatan terkait akses keuangan, dukungan teknis, masuk pasar, dan penyelarasan peraturan akan sangat penting untuk memanfaatkan potensi UKM inklusif sepenuhnya.

"Di semua sektor, kesetaraan gender, pengukuran dampak, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan dan pemerintah sangat penting untuk pendekatan bisnis inklusif yang komprehensif dan efektif di Asia Tenggara,” ujar Emmy Astuti dalam keterangannya, Rabu (23/8).

Sementara itu, Program Koordinator KRKP Lily N Batara menjelaskan bahwa bisnis yang inklusif perlu mengacu pada pendekatan bisnis yang megupayakan pelibatan masyarakat berpenghasilan rendah atau kelompok terpinggirkan sebagai mitra dalam rantai nilai.

"Di sektor pertanian, mereka paling terpengaruh oleh perubahan iklim karena sangat bergantung pada alam untuk menghasilkan produk mereka," ucapnya.

Baca Juga: Kemenkeu bersama Delegasi Asean Bahas Pembiayaan Risiko Bencana

Semua pelaku dalam rantai nilai dalam bisnis inklusif di sektor pertanian harus memiliki komitmen untuk menerapkan bisnis rendah karbon dan terbuka untuk bekerja sama dengan petani kecil.

"Pemerintah harus hadir untuk memberikan perlindungan, khususnya kepada petani agar tujuan inklusivitas, kesetaraan, dan transparansi dapat terwujud”, terang Lily.

Program Manager The PRAKARSA Herni Ramdlaningrum menyambut baik upaya kolaborasi yang lebih dalam antara pemerintah, bisnis, dan organisasi masyarakat sipil. Menurutnya, aksi kolaborasi akan menciptakan lingkungan kondusif bagi bisnis yang inklusif.

Dalam hal ini, ujar Herni, pemerintah dapat memberikan insentif, kerangka peraturan, dan dukungan kebijakan untuk mendorong bisnis mengadopsi model bisnis inklusif.

Baca Juga: TWC Bidik Wisatawan ASEAN Kunjungi Candi Borobudur

"Bukan hanya itu, pelibatan organisasi masyarakat sipil perlu dilakukan dalam membangun alat pengukuran dampak serta kerangka pelaporan yang transparan dan terstandardisasi," paparnya.

Direktur Regional Oxfam di Asia John Samuel yang hadir di pertemuan tersebut mengingatkan tentang perlunya menyertakan pengalaman OMS dan praktik terbaik dalam mempromosikan kolaborasi dan pembelajaran lintasnegara dalam Inclusive Business Knowledge Hub yang akan diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dalam ASEAN IB Summit ke-6 tahun 2023.

Selain itu, perlu memastikan agar prinsip bisnis inklusif bisa terealisasikan di ASEAN. Samuel menegaskan pelibatan dan partisipasi yang bermakna dari berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan.

"Mulai dari pemerintah, sektor swasta, OMS, organisasi pendukung hak-hak perempuan, petani, nelayan, serta careworker dan caregiver," ujarnya.