Tak Berkategori

Masjid Raya Sabilal Muhtadin (1), Begini Sejarah Dibangunnya

apahabar.com, BANJARMASIN – Masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas beragama Islam sangat menginginkan dibangunnya sebuah Masjid Raya…

Asrama Tatas, Lokasi masjid Raya Sabilal Muhtadin SekarangFoto-net

apahabar.com, BANJARMASIN - Masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas beragama Islam sangat menginginkan dibangunnya sebuah Masjid Raya yang menjadi landmark sekaligus suatu kebanggaan. Para tokh pun sependapat, hanya saja mereka sempat berbeda pendapat soal lokasi didirikannya masjid tersebut.

Menurut Ketua Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyurmengungkapkan, pada tahun 1960-an, aspirasi masyarakat tersebut ditanggapi positif oleh tokoh masyarakat mulai pemuka Agama Islam hingga tokoh pemerintahan.

Tokoh pemerintahan seperti H Hassan Basry (mantan Pangdam), H Maksid (mantan Gubernur KDH), H Yusi (mantan Pangdam), sejumlah tokoh lainnya serta para alim ulama, berkumpul dan menghasilkan kesepakatan.

"Mereka bermufakat membangun Masjid Raya sebagai pusat kegiatan keagamaan di Ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin," kata Mansyur.

Mansyur melanjutkan, Halimatus Sa’diah (2017) dalam risetnya tentang Masjid Raya Sabilal Muhtadin (Studi Tentang Sejarah dan Perannya Dalam Pendidikan Islam di Banjarmasin) mengemukakan menurut rencana semula bangunan masjid tersebut akan dibangun di bekas lokasi hotel.

Akan tetapi, atas saran Bapak Amir Machmud yang pada saat itu menjabat sebagai Pangdam X/Lam serta H Aberani Sulaiman sebagai Gubernur KDH lokasi bangunan dipindahkan ke areal Asrama Tentara Pulau Tatas.

"Pertimbangan pemidahan ini karena lokasi rencana semula kurang luas (terlalu sempit). Kemudian lokasi Pulau Tatas terletak di pusat kota dan areanya pun cukup luas, yakni 10,35 ha," jelasnya.

Baca Juga: 12 Pekan Istirahat, Puluhan Ribu Jemaah Rindukan Guru Zuhdi

Pulau Tatas sebagai asrama tentara sudah tidak sesuai lagi untuk terletak di pusat kota. Selain itu, dengan berdirinya bangunan masjid di pusat kota diharapkan akan menambah keindahan dan keserasian kota serta memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya.

Disamping alasan strategis tersebut, sambung Mansyur, pemilihan lokasi pembangunan Masjid Raya di Pulau Tatas adalah tepat, bila ditinjau dari sudut sejarah, sebagai makna simbolis perjuangan Bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda dan Inggris ratusan tahun yang lalu.

Mansyur mengutip pendapat Idwar Saleh (1982), penyerangan pertama Belanda atas Banjarmasin diperkirakan pada tahun 1545 M tidak berhasil.

Baru pada penyerangan kedua tahun 1606 M barulah Belanda berhasil menduduki Banjarmasin dan mendirikan benteng pertahanan "Fort Tatas". Nama ini diambil dari nama kota itu sendiri yaitu Pulau Tatas.

"Perlu dipahami bahwa sebelumnya kota Banjarmasin lebih dikenal dengan sebutan Pulau Tatas yang berasal dari bahasa daerah watas artinya batas," terang dosen ULM Banjarmasin itu.

Penamaan Pulau Tatas tersebut diambil dari keadaan tempat itu sendiri yang dikelilingi oleh sungai Martapura serta anak sungainya sehingga tampak berbatas-batas. Kawasan Tatas dikenal juga dengan nama Kotablanda.

"Pada masa itu, Pulau Tatas merupakan pusat lalu lintas perdagangan, pemerintahan, perekonomian serta pusat industri pembuatan kapal. Karena itu, tidak mengherankan bila Belanda dan Inggris silih berganti berusaha menguasai kota tersebut."

Kembali ke sejarah didirikannya Masjid Raya, setelah lokasi pembangunan Masjid Raya ditetapkan di Pulau Tatas, makan atas prakarsa Amir Machmud sebagai Ketua Badan Koordinasi Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan diundanglah tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membuat perencanaan pembangunan Masjid Raya tersebut.

Pada tahun 1964 seperti disebutkan Halimatus Sa’diah (2017) dilakukan peletakan batu pertama oleh H. Aberani Sulaiman dan Amir Machmud disaksikan oleh pejabat-pejabat Sipil, ABRI, alim ulama serta tokoh-tokoh masyarakat Banjarmasin sebagai titik awal pembangunan Masjid.

Baca Juga: Habib Umar bin Hafidz Kembali "Ngajar" di NU, Catat Tanggalnya

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini