Religi

Masjid Al A’la Simbol Dakwah Islamiah di HST

apahabar.com, BARABAI – Salah satu wisata religi di Hulu Sungai Tengah (HST), Masjid Al-a’la memiliki sejarah…

apahabar.com, BARABAI – Salah satu wisata religi di Hulu Sungai Tengah (HST), Masjid Al-a’la memiliki sejarah yang berkaitan dengan penyebaran Islam di Kalimantan Selatan, khususnya Barabai. Pemerintah pun menetapkan masjid sebagai situs cagar budaya.

Nampak kokoh dan memiliki lantai dasar yang tingginya 1,5 meter, mesjid itu terletak di Desa Jatuh Kecamatan Pandawan, Kabupaten HST. Berada 6 kilometer dari pusat kota Barabai, Masjid Al-a’la sering didatangi peziarah dari berbagai kota.

Apalagi saat Ramadan hingga Idul Fitri dan Idul Adha, banyak umat Islam yang melakukan wisata religi ke tempat ibadah tersebut.

“Dulunya pemberian nama Al A’la disesuaikan dengan kepercayaan warga karena dibangun d tempat yang tinggi,” kata Ja’far Sadiq, Pembina Masjid Al A’la yang juga merupakan keturunan ke-6 pemuka agama, Yuda Lelana kepada apahabar.com, Rabu (8/5).

Dibangun sekitar abad ke 17 Masehi, diperkirakan lebih dari 300 tahun masjid ini sebagai pusat dakwah umat islam.

Baca Juga: Paman Birin Hadiahi Masjid Jami Karpet Berharga Fantastis

Mesjid ini dulunya tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah. Tetapi juga digunakan sebagai tempat Pasukan Barabtib (Pasukan Berzikir) untuk mengatur strategi sebelum terjun ke medan perang.

“Mereka berperan dalam penyebaran Islam di HST ini. Pertempuran sengit waktu itu terjadi Kampung Pinangan. Pasukan ini berhasil mengalahkan Belanda. Salah satunya Kapten Van Der Heide,” cerita Ja’far Sadiq seperti dikutipnya dari buku ;Dakwah Islamiyah' karya Syamsir Seman.

Pasukan Barabtib dipimpin Penghulu Muda yang masyarakat luas dikenal dengan nama Yuda Lelana. Namun sebagian kalangan menyebutnya dengan namaAbu SulaimanYuda Lelana, orang yang mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid Al'ala sekaligus pembina mesjid dan majelis taalim yang berperan dalam penyebaran Agama Islam.

Setelah Yudha Lelana meninggal, mesjid tersebut dikelola oleh putranya, Abdurrahman dan Abu Harnid (Buamid) sekitar tahun 1290 Hijriah, 1874 Masehi.

Hampir 90 persen bangunan terbuat dari kayu ulin. Meski sebagian sudah direonovasi menggunakan semen dan tehel kramik, namun masih mempertahankan bentuk aslinya. Sehingga bangunan ini memiliki konstruksi yang berbeda dari mesjid-mesjid lainnya.

Baca Juga: Ratusan Santri Ramai Isi Liburan di Masjid Sabilal Muhtadin

Sekeliling mesjid memilikiberanda terbuka untuk kepentingan ibadah atau berkumpulnya warga.

Dalam masjid ada 16 tiang dan 1 tangga. Tangga tersebut dibangun di tengah-tengah persis menuju ke atap.

“Itu memilik makna, yakni jumlah rakaat salat wajib dalam sehari (16+1),” kata Ja’far Said

Kemudian ia menjelaskan bahwa tangga yang menuju ke atap tersebut dahulunya digunakan untuk mengumandangkan azan.

“Dahulu kan tidak ada pengeras suara, jadi muazin naik ke atas,” jelas Ja’far Said.

Selanjutnya bagian atap memiliki konstruksi tumpang 4 yang mengecil ke atas. Di atas atas tersebut memiliki hiasan atau mestika seperti rumah banjar (sungkul).

Beberapa peninggalan yang memiliki sejarah yakni, dua Panji berukuran sama dari kain kuning berbentuk segitiga bertuliskan huruf arab serta Alquran yang ditulis dengan tangan. Diperkirakan Panji dan Alquran tersebut seusia dengan Mesjid Al-a’la.

“Ini merupakan peninggalan datuk saya, Almarhum H. Dahlan. Wafat pada 1976 di dalamnya terkandung pesan tauhid bagi kita, umat islam,” Kata Ja’far sembari membuka tirai yang menutupi panji di majelisnya.

Dari berbagai versi ceritanya, konon panji tersebut jatuh dari langit di malam ke 21 Ramadhan. Jatuh tepat saat dibangunnya mesjid Al-ala.

Dari sisi lain disebutkan, panji itu dibawa oleh Penasihat Kerajaan Banjar yang juga orang Martapura, H Said M Yusuf yang bergelar H Batu. Ia diutus seorang Syarif di Makkah membawa Panji dan Alquran untuk disampaikan ke Desa Jatuh tempat berdirinya Mesjid Al-ala

Dari pengamatanapahabar.com, huruf arab yang masih jelas terbaca adalah kalimat “laa illa ha illallah” dan Allah -Muhammad. Sedangkan Alquran masih terlihat jelas tulisannya yang indah dan rapi. Namun kondisinya sudah tidak sempurna seperti melapuk.

Baca Juga: Masjid Noor (1), Saksi Bisu Dua Peristiwa Kelam

“Sebagian lembarannya ada yang rusak,” kata Ja’far.

Berbagai tradisi yang berkaitan dengan nuansa islami pun dilakukan para pengunjung ketika mengunjungi mesjid ini, seperti salat wajib dan sunat dan membawa kue-kue khas seperti apam habang dan putih, ketupat untuk disedakahkan kepada penjaga mesjid.

Adapula pengunjung yang mencuci muka dengan air kolam mesjid, yang membawa anaknya atau bayinya meminta izin menginjakkan kaki di mimbar sembari berdoa kepada Allah.

Reporter: AHC11
Editor: Syarif