Kalsel

Mahasiswa Sampaikan Aspirasi, Salahkah?

apahabar.com, BANJARMASIN – Beberapa hari belakangan, Indonesia tengah memanas oleh sejumlah rangkaian demonstrasi yang dilakukan mahasiswa…

Ribuan mahasiswa lintas kampus di Kalsel turun ke jalan pada Kamis (26/09) untuk menolak hasil revisi RUU KUHP dan UU KPK yang baru. apahabar.com/Bahaudin

apahabar.com, BANJARMASIN - Beberapa hari belakangan, Indonesia tengah memanas oleh sejumlah rangkaian demonstrasi yang dilakukan mahasiswa lintas kampus.

Pemicu utamanya adalah hasil revisi RUU KUHP dan UU KPK yang baru.

Di Kalimantan Selatan (Kalsel), aksi protes tak hanya ditujukan pada perubahan RKUHP. Namun juga terhadap keseriusan pemerintah menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Pada 24 September, ribuan mahasiswa lintas kampus melakukan protes di halaman kantor Gubernur Kalsel di Banjarbaru.

Mereka menuntut keseriusan Sahbirin Noor -Gubernur Kalsel- dalam penanggulangan karhutla.

Di hari yang sama, puluhan mahasiswa juga bertandang ke Rumah Banjar, Gedung DPRD Kalsel di Jalan Lambung Mangkurat Banjarmasin. Audensi antara perwakilan mahasiswa dan anggota DPRD Kalsel kala itu berlangsung mulus.

Seakan belum puas, aksi kembali dilakukan oleh beberapa elemen mahasiswa di tempat yang sama pada 26 September kemarin.

Walau hanya sampai di Jalan Lambung Mangkurat Kota Banjarmasin tepatnya depan Rumah Banjar, mereka tetap menyampaikan aspirasi.

Mereka juga memprotes sejumlah rancangan beleid lain terkait Minerba, Pertahanan, Permasyarakatan, dan Penghapusan Kekerasan Seksual atau PKS.

Aksi baru tadi sempat ricuh namun berakhir dengan kesepakatan penandatangan 10 dekrit tuntutan aliansi mahasiswa oleh anggota DPRD Kalsel.

Kini, demonstrasi mahasiswa dalam bayang-bayang sanksi.

Di hari yang sama, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengeluarkan peringatan.

Lengkap dengan sanksi kepada rektor dan dosen yang terbukti menggerakkan maupun mengizinkan mahasiswanya turun ke jalan untuk berdemo.

Mantan Rektor Universitas Diponegoro itu lebih mengarahkan para dosen mengambil jalan dialog dengan mahasiswa.

Belakangan, sikap Menristekdikti itu menuai protes dari Asosiasi Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Indonesia (APPSANTI). Pernyataan Nasir dianggap telah menodai nilai-nilai demokrasi.

"Indonesia sejak kemerdekaannya memilih jalan sebagai negara demokrasi. Maka demonstrasi atau menyatakan pendapat di muka umum adalah tidak bertentangan. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur teoritik tentang demokrasi," ujar Dosen Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP ULM Banjarmasin, Nasrullah kepada apahabar.com, Kamis (26/09) malam.

Demonstrasi mahasiswa, kata dia, sudah dijamin oleh konstitusi UUD 1945.

APPSANTI mendesak Menristekdikti mencabut pernyataan karena bertentangan dengan prinsip Academic Freedom atau Kebebasan Akademik.

"Menristekdikti hendaknya memberikan contoh bukan bertindak seperti pejabat kolonial yang pikirannya terlihat sangat polisionil dengan memberikan sanksi. Kebebasan akademik dijamin untuk menyampaikan pendapat dan menunjukkan sikap kritis di muka umum demi kepentingan umum, kepentingan masa depan bangsa, kepentingan Indonesia," tegasnya.

Sementara itu, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP ULM, Sarwani menilai lumrah terhadap aksi protes yang dilakukan para mahasiswa.
Namun secara tegas, dia tidak membenarkan apabila aksi diwarnai kericuhan.

"Mereka menyampaikan aspirasi itu wajar, cuman belakangan ini berkembang kepada hal yang anarkis," kata Sarwani saat ditemui, Kamis sore.

Secara garis besar dirinya tidak bisa menyalahkan. Menurutnya dalam sebuah perkumpulan besar sangat rentan disusupi oleh kepentingan tertentu.

"Menyampaikan aspirasi memang tugas masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Namun setiap pihak memiliki cara yang berbeda," lanjutnya.

Sarwani sedikit menyayangkan atas buntut kasus protes demo yang terjadi belakangan ini. Mulai dari perusakan fasilitas publik, massa yang terluka hingga menyebabkan korban jiwa.

"Harus melalui aturan dan norma, tidak anarkis. Tentunya harus tetap relevan dengan peran mereka, mahasiswa sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan sebagainya. Apalagi akademis, memiliki pendidikan yang tinggi," ungkapnya

Menilik dari demonstrasi di beberapa kota di Indonesia, Sarwani berpendapat budaya turut memengaruhi tingkat kericuhan yang ditimbulkan saat aksi terjadi.

"Misalnya kalau dulu, ada yang melancarkan aksinya dengan membakar ban hingga menutup akses jalan. Di lain tempat, ada yang hanya sekadar menyuarakan pendapat mereka dengan pengeras suara saja. Sehingga tingkat pengamanan pun berbeda satu sama lainnya," ujarnya

Namun untuk FISIP sendiri, pihak kampus ujarnya sama sekali tidak memberikan dorongan untuk melakukan gerakan demonstrasi.

Pun dengan imbauan ataupun pelarangan kepada mahasiswa yang melancarkan aksi tuntutan mereka.

"Saya tidak menerima edaran dari pimpinan. Kebetulan hari itu, para dosen mengadakan rapat. Jadi tidak bisa diidentifikasi apakah itu mahasiswa FISIP atau bukan," imbuhnya

Baca Juga: Rela Tak Kuliah, Para Mahasiswi Ikut Sampaikan Aspirasi Depan DPRD Kalsel

Baca Juga: DPRD Kalsel Tandatangani 10 Dekrit Tuntutan Mahasiswa

Reporter: Musnita Sari
Editor: Fariz Fadhillah