Liputan Khusus

LIPSUS: Jokowi Punakawan Prabowo-Gibran

DEWAN Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Romahurmuziy menegaskan bantuan sosial (bansos) yang ditebar jelang Pemilu 2024

Headline Lipsus: Jokowi Punakawan Prabowo-Gibran. Ilustrasi: apahabarcom

DEWAN Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Romahurmuziy menegaskan bantuan sosial (bansos) yang ditebar jelang Pemilu 2024 berasal dari dompet negara, bukan dari Presiden Jokowi. 

Pria yang akrab disapa Romy ini gerah lantaran Menteri Perdagangan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan mencatut nama Jokowi saat membagikan bansos.

“Bantuan sosial itu bukan dari Jokowi. Itu dari negara. itu jelas. Bukan dari Jokowi,” kata Romy kepada apahabar.com.

Baca Juga: Respons Gibran Bansos Ditunda di Tahun Politik: Keputusan Bukan di Saya

Bau amis politisasi bansos harus dihentikan. Sebab anak buah Jokowi rawan mencaplok program pemerintah demi mengais elektoral.  Apalagi bansos yang hendak dibagikan kepada rakyat dibumbui janji keberlanjutan sehingga masyarakat terjebak pada skema politisasi bansos.

“Menteri Perdagangan menyatakan secara terbuka dalam kesempatan beliau berkampanye atas nama partainya. Bahwa bantuan sosial itu dari Jokowi,” ujarnya.

“Kemudian ada kalimat lanjutan di videonya, bahwa ini dilanjutkan nggak, kemudian dikaitkan dengan paslon (capres-cawapres),” sambung dia.

Politisasi bansos mengoyak standar etika sehingga Jokowi tampak terseret serupa punakawan yang mengenakan kacamata kuda demi memenangkan Prabowo-Gibran.

Infografis Lipsus Campur Tangan Jokowi. Ilustrasi: apahabar.com

“Itu melanggar etika, karena bantuan negara tidak boleh dilakukan klaimnya oleh kelompok politik tertentu,” ungkap dia.

Bahkan pencaplokan bansos demi kepentingan kampanye Pilpres 2024 juga berpeluang melanggar ketentuan perundang-undangan. “Saya minta Bawaslu untuk meniupkan peluitnya, jangan sampai diam saja melihat hal itu terjadi dan berkelanjutan,” kata dia menegaskan.

Baca Juga: Timnas AMIN Minta Pembagian Bansos Jelang Pemilu Tidak Dipolitisasi

Ia menyangsikan sikap pasif Bawaslu yang acuh tak acuh tanpa geliat penyelesaian. Bawaslu gamang. Profesionalisme dan penegakan hukum kepemiluan menjadi tumpul dan tak menjadi rujukan peserta Pemilu. 

Politisasi bansos bukan sekadar menyeret nama beken Jokowi demi memuluskan langkah anaknya mendampingi Prabowo di Pilpres 2024. Tetapi merusak tatanan demokrasi yang kontra-produktif dengan gaung reformasi.

“Politisasi bansos itu upaya mendegradasi yang sudah susah payah diluruskan arahnya,” jelasnya.

Koordinator Nasional (Kornas) Ganjar Center, Poempida Hidayatulloh masih sungkan melabeli Jokowi yang bertugas bak juru kampanye Prabowo-Gibran. Namun apalah daya, ia mencap Jokowi telah menjatuhkan pilihan politiknya untuk mendukung Prabowo-Gibran.

“Sudah berpihak ke 02, mau di apain lagi?,” kata Poempida kepada apahabar.com.

Jokowi mestinya menahan diri untuk tak terlalu ugal-ugalan demi memenangkan Prabowo-Gibran. Label negarawan Jokowi dipertaruhkan.

Baca Juga: Blusukan ke Pasar Segiri Samarinda, Anies Janjikan 'Bansos Plus'

“Beliau itu kan kepala negara dan harus negarawan gitu kan? Bagaimanapun juga beliau ini operasionalnya dibiayai pajak rakyat,” beber dia.

“Semua bayar pajak. Capres 1 bayar pajak, capres 2 bayar pajak dan capres 3 juga bayar pajak. Jadi harus dapat basis naungan yang sejuk dari seorang presiden yang negarawan,” sambung dia.

Program pemerintah serupa bansos juga dicap akan menguntungkan Prabowo-Gibran secara implisit. Tetapi secara eksplisit masih menjadi rupa program biasa. “Ini akan menguntungkan 02 yang didukung,” ungkap dia.

Di sisi lain, Jokowi pun masih menjadi tantangan yang disayangkan terjadi. Terlebih Jokowi merusak tatanan demokrasi akibat nafsu berkuasa yang tak berkesudahan. Maka keberpihakan Jokowi di Pilpres 2024 menjadi instrumen yang strategis.

“Harapannya presiden bisa mengawal proses demokratis, walaupun lebih baik kalau kita tahu dia (Jokowi) mendukung siapa dibandingkan diam-diam,” kata Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Edi Sutrisno.

Infografis Saling Tuding Politisasi Bansos. Ilustrasi: apahabar.com

Ia menyangsikan manuver Jokowi yang terkesan diam-diam untuk mendukung suksesi pemenangan Prabowo-Gibran. Terlebih Jokowi merupakan kader partai sehingga tak elok jika berkhianat terhadap pilihan politik.

Untuk itu ia merasa keberatan jika bansos malah dipolitisir, lantaran hak rakyat dipermainkan dan hanya dijadikan bahan kampanye gratis penguasa.

Baca Juga: Zulhas Bantah Tudingan Bansos dan BLT Jadi Alat Kampanye

“Siapapun itu tidak baik jika menggunakan bansos sebagai alat kampanye. Siapapun itu!,” ujar dia.

Gaung simplifikasi pemberian bansos yang diarahkan pada Jokowi merupakan langkah serampangan. Bansos bersumber dari uang rakyat, bukan uang Jokowi yang dialokasikan untuk kebutuhan rakyat.

“Karena jangan sampai orang berpikir bansos adalah tanggung jawab individu,” sebut dia.

Label negarawan tak patut dilekatkan pada Jokowi. Sebab prasyarat menjadi negarawan diterabas Jokowi sehingga menyisakan mendung demokrasi. Jokowi tak hanya melakukan manuver politik semata, melainkan seringkali diam dan mendiamkan kesalahan yang menyengat isu tentang keluarga dan politik.

“Saya kira titik besar perubahan Jokowi itu ketika Gibran lolos sebagai calon wakil Presiden. Itu titik kunci orang mengkritik Jokowi,” ujar Edi.

“Jokowi kehilangan sikap sebagai negarawan,” sambung dia.

Hal serupa juga disampaikan Tim Nasional (Timnas) Anies-Muhaimin. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengultimatum jika Presiden Jokowi mesti netral dan tak memihak siapapun dalam gelaran Pilpres 2024.

Apalagi jika Jokowi secara langsung atau tak langsung menjalankan fungsi juru kampanye maupun tim yang hendak bergerak demi meraih kemenangan Prabowo-Gibran.

Baca Juga: Tok! Penyaluran Bansos Beras Resmi Diperpanjang hingga Juni 2024

“Rusak tatanan negara dan jauh dari sikap kenegarawanan jika demikian keadaannya,” ujar Mardani kepada apahabar.com.

Anggota Komisi II DPR RI ini juga menyebut terdapat peluang pelanggaran yang bermuara pada penyalahgunaan bansos dan sejumlah program lain demi memenangkan Prabowo-Gibran.

Sebab dalam catatan sejarah, baru terjadi anak presiden berkandidat menjadi calon wakil presiden. Ujian kenegarawanan dihadapi Jokowi. Jabatan presiden dipandang sekadar administratif yang kini justru seolah menjadi agen penyalur bansos demi memenangkan Prabowo-Gibran.

“Jokowi betul-betul diuji apakah jadi negarawan atau cuma sebatas punakawan, karena bekerja memenangkan anaknya,” kata Mardani.

“Ujian ini akan menentukan nasib Jokowi ke depan,” sambung dia.

Juru Bicara TIMNAS Anies-Muhaimin, La Ode Basir juga menyatakan Jokowi mestinya menyontek kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Baca Juga: Bupati Jember Bantah Ada Kepentingan Politik dalam Penyaluran Bansos

Tak ada legasi yang justru berbenturan dengan gaung harap optimisme menuju Indonesia yang lebih maju.

“Ya tidak etis lah, menjadi preseden buruk nanti buat diri Jokowi,” kata Basir kepada apahabar.com.

Maka ia merasa tak berlebihan jika Jokowi diberikan cap yang justru melawan arus reformasi. Demokrasi yang tengah tumbuh justru kini berbenturan dengan manuver Jokowi.

“Itu merusak demokrasi Indonesia, kemudian ada keberpihakan,” kata dia melanjutkan.

Tudingan yang dialamatkan kepada Jokowi yang serupa punakawan Prabowo-Gibran dibantah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie. 

Politisasi bansos, kata dia, dengan logika serupa mestinya diarahkan ke Menteri Sosial Tri Rismaharini yang merupakan kader PDI Perjuangan. Lalu dikaitkan dengan pasangan calon Ganjar-Mahfud MD yang terjun gelanggang di Pilpres 2024. Bukan sekadar menunjuk hidung Prabowo-Gibran.

“Kan kemensosnya tim 03, dengan logika yang sama bisa dikenai tuduhan politisasi juga dong,” kata Grace kepada apahabar.com.

Baca Juga: Risma Merasa Aneh Ada Pegawai di Luar Dayasos yang Ikut Urus Bansos

Dia pun mempertanyakan cara menjaga netralitas Kementerian Sosial dalam mengeksekusi penyaluran bansos.

Bagi dia, penyaluran bansos dalam momen Pemilu 2024 terasa lucu lantaran tim Prabowo-Gibran menerima ampas dari tuduhan persoalan netralitas. Sedangkan, Mensosnya berasal dari kader PDIP.

“Eksekutornya kan menteri, dan menterinya dari PDIP. Lucu kalau ketakutan nggak netral melulu,” ujarnya.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran ini pun menyatakan komitmen kandidatnya untuk tak tergiur dan terindikasi melakukan politisasi bansos dan pemanfaatan Jokowi yang mengoyak tatanan demokrasi.

Begitu pun disampaikan Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani. Bansos dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ditujukan untuk membantu rakyat agar meredakan situasi ekonomi yang sulit.

Bahkan program tersebut diklaim telah dimulai sejak kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Koalisi Indonesia Maju maupun Prabowo-Gibran tentu saja memiliki komitmen yang tinggi untuk suksesnya penyelenggaraan pemilu yang berlangsung secara demokratis, adil, dan profesional,” kata Kamhar.

Baca Juga: Mensos Risma Mengaku Tak Tahu Kasus Korupsi Bansos!

Sekaligus memastikan manuver tim Prabowo-Gibran berjalan seiring dengan label Jokowi yang diposisikan sebagai negarawan, bukan serupa punakawan.

NEGARAWAN VS PUNAKAWAN

Headline Jokowi Setelah 2024. Ilustrasi: apahabar.com

PRESIDEN Jokowi berada pada persimpangan label diri yang melekat di penghujung periodisasinya. 

Jokowi akan dikenang sebagai negarawan yang harum dengan memoar keteladanan. Atau justru punakawan yang berpolitik praktis menabrak sejumlah norma dan etika demi hasrat kekuasaan.

Cap partisan tak diperkenankan melekat pada diri Jokowi. Sebab pejabat publik terikat dengan moralitas publik agar tak terbentur kepentingan politik kelompok tertentu. 

“Tidak boleh menggunakan atribut kekuasaan, jabatan, kewenangan yang melekat pada pribadi untuk berpihak. Pejabat publik harus netral, mereka harus melayani kepada semua kelompok masyarakat,” ujar Pengamat Politik Universitas Nasional, TB Massa Djafar kepada apahabar.com.

Baca Juga: Fahri Bachmid: Isu Pemakzulan Jokowi Hanya Imajinasi, Tak Punya Basis Hukum

Djafar menerangkan Jokowi kini tak sekadar kepala pemerintahan, melainkan kepala negara. Maka beban moral yang melekat pada Jokowi tak sekadar bertingkah sebagai ayah dari Gibran Rakabuming Raka. Tetapi menjadi figur yang tak memantik perpecahan anak bangsa akibat keberpihakan politik.

“Ia harus netral. Jika ia berpihak akan mengundang konflik politik dan perpecahan anak bangsa,” kata Djafar.

]Ia menilai jika Jokowi berpihak secara politik akan menimbulkan perlakuan yang tak adil dengan pasangan calon lainnya. Sebab navigasi politik Jokowi hanya tertuju pada pemenangan Prabowo-Gibran.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (10)

“Presiden menggunakan politik pengaruh kekuasaannya kepada paslon 02 saja. Pasti akan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat dan elite politik lainnya,” kata dia menjelaskan.

Jokowi, kata dia, sudah kadung merusak legasi dan momok dirinya yang semula banyak membuat rakyat jatuh hati. Kini situasi politik berubah.

“Mestinya dari waktu ke waktu demokrasi kita lebih maju, lebih matang, lebih berkualitas. Selama ini Jokowi sering mengklarifikasi, beliau tidak melakukan cawe-cawe politik,” jelasnya.

Baca Juga: KPK Geledah Kantor Kemensos Usut Bansos Beras!

“Keterlibatan Jokowi makin kentara,” sambung dia,

Keberpihakan politik Jokowi bukan sekadar isapan jempol belaka. Bahkan sempat muncul narasi untuk memakzulkan Jokowi lantaran banyak pihak jengah dengan situasi keberpihakan Jokowi yang tak berbasis pada keadilan.

Maka keraguan label negarawan dan upaya narasi pemakzulan bukan tanpa alasan. Jokowi mesti memahami bahwa keberpihakan dirinya dan cawe-cawe yang dilakukan menghancurkan tatanan demokrasi. 

Bahkan Jokowi tercatat sebagai Presiden dengan preseden buruk sepanjang sejarah demokrasi Indonesia.

“Di akhir kekuasaannya Jokowi jauh dari sikap kenegarawanannya,” pungkasnya. (***)

Reporter: Citra Dara Trisna

Redaktur: Safarian Shah Zulkarnaen