Persaingan Usaha

Lingkungan Bisnis di Indonesia, INDEF: Menguntungkan Oligarki

Indef membeberkan dampak buruk dari pengelolaan bisnis di Indonesia yang dikuasai oleh segelintir oligarki.

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyampaikan kondisi perekonomian negara kawasan Asia Pasific. Foto: Apahabar.com

apahabar.com, JAKARTA - Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) membeberkan dampak buruk dari pengelolaan bisnis di Indonesia yang tidak seimbang dan hanya dikuasai oleh segelintir kelompok usaha besar.

Direktur Indef Tauhid Ahmad mengungkapkan pengelolaan bisnis oleh oligarki ditandai dengan sejumlah hal. Secara mudah dapat dilihat dari penguasaan aset (tanah, lahan, dan lain sebagainya) hingga pengelolaan cabang-cabang usaha penting lainnya.

"Apapun industrinya dia biasanya menguasai, jadi tidak terbatas oleh industri tertentu. Apakah di makanan atau minuman, tembakau, kemudian otomotif, di kehutanan, di perkebunan. Jadi, seperti itu," ujar Tauhid kepada apahabar.com, Rabu (14/6).

Berkaca dari situasi itu, Tauhid mengutarakan agar negara sebaiknya turun tangan untuk menyelesaikan persoalan keadilan bisnis bagi semua. Menurutnya, Negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa turut andil dalam menciptakan persaiangan usaha yang berkeadilan.

Baca Juga: Prinsip Persaingan Usaha, INDEF: Agar Pelaku UMKM Bisa Naik Kelas

"BUMN, BUMD itu bisa meredam, karena ada intervensi pemerintah. Juga mencegah penguasaan yang valuenya berlebihan. Nah ini yang saya kira masih kurang," paparnya.

Yang selanjutnya, kata Tauhid, banyak pengambilan keputusan justru melibatkan para oligarki. Harusnya praktik-praktik seperti itu tidak boleh terjadi. Mereka seharusnya menjadi objek dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.

Jika dibiarkan, Tauhid mengkhawatirkan terjadinya kesenjangan yang semakin luas. Akhirnya, si miskin semakin miskin dan si kaya semakin kaya. Jurang kesenjangan ini sangat mungkin tercipta ketika persaingan usaha yang tidak sehat terus dipelihara.

"Ya saya kira kalau ini terjadi, pertama  kemiskinan dan kesenjangan itu akan presisi. Kita akan sangat sulit keluar dari belenggu usulan negara-negara yang tingkat kemiskinannya tinggi," katanya.

Baca Juga: UMKM Kalah Bersaing, Pengamat: Saatnya UU Persaingan Usaha Direvisi

Dikatakan Tauhid, ketika nantinya batas garis kemiskinan dinaikan, maka akan ditemukan kesenjangan yang sangat lebar. Situasi demikian, menurutnya harus diantisipasi sejak dini

Belum lagi jika dikaitkan dengan kondisi sosial politik, seperti musim Pemilu. Hal itu juga berdampak terhadap munculnya kemiskinan strutural. Kemiskinan yang dibiarkan, karena landasan fundamental dalam berbisnis tidak stabil dan hanya menguntungkan sekelompok pihak saja.

"Konflik sosial itu akan terjadi di manapun ketika oligarki menguasakan aset dan sebagainya. Jadi itu terlalu mendominasi," terang Tauhid.

Baca Juga: Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU: Timbulkan Kesenjangan Sosial

Yang terakhir, menurut Tauhid, Indonesia sulit keluar dari jebakan yang dikenal sebagai middle income trap atau suatu keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju.

"Saya kira beratnya adalah dalam situasi ini sangat sulit ya kita itu keluar dari kebijakan negara berpenghasilan menengah kebawah," pungkasnya.