kerusakan lingkungan

Lima Tahun PT IWIP di Halmahera, Kerusakan Lingkungan Kian Parah

PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP) resmi lima tahun beroperasi di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Dalam melaksanakan komitmennya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia bagi masyarakat di sekitar Kawasan IWIP pada khususnya dan masyarakat di Maluku Utara pada umumnya, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) mengadakan program training welder tanpa dipungut biaya pada 14 Desember 2020. Foto: PT IWIP

apahabar.com, JAKARTA – PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP) resmi lima tahun beroperasi di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Ekspansi kawasan yang dilakukan PT IWIP telah mengubah bentang desa dan kawasan di sekitarnya, termasuk kualitas air sungai dan air laut.

Sejumlah sungai di desa lingkar tambang bahkan tertimbun hingga tidak lagi mengalir ke laut.

Terbaru, dinamisator Save Sagea, Adlun Fiqri membeberkan, Sungai Sagea dan sumber mata air Boki Maruru di Desa Sagea ikut tercemar akibat material tanah dari kerukan tambang pada akhir Juli lalu.

Perayaan hari jadi IWIP kelima secara mewah dan meriah, kata Adlun, dilakukan di atas penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar IWIP. Selama 5 tahun ini, warga hidup di tengah kerusakan lingkungan yang parah, air, sungai dan udara yang tercemar.

Baca Juga: Negara Dirugikan Tambang Ilegal, Senayan: ESDM Harus Bertindak!

“Sungai-sungai besar di Teluk Weda seperti Sungai Kobe dan Sungai Sagea kini tercemar akibat dari operasi sejumlah perusahaan pertambangan nikel, yang semuanya terintegrasi dengan IWIP," tutur Adlun pada diskusi Gencar Transisi Mineral Lewat Nikel Kotor, dikutip Sabtu (2/9).

Tangkapan layar - Diskus Membongkar Jejak Kejahatan Lima Tahun PT IWIP di Halmahera. Foto: Jekson Simanjuntak

Bagi Adlun, Kampung Sagea bukan sekedar tempat tinggal, namun bagian dari identitas karena di sana para leluhurnya hidup dan tinggal dari generasi ke generasi. Yang hidup tinggal di sana dan yang meninggal pun dikubur di Sagea.

Adlun bersyukur lahir dan dibesarkan di Sagea yang sungai dan mata air mengalir sepanjang tahun. Tanahnya subur dan menumbuhkan beragam tanaman endemik. Telaga dan lautnya menyediakan protein kehidupan.

Salah satu keindahan yang dimiliki Sagea adalah telaga. Fifa, warga Sagea mengakui hal tersebut karena keberadaannya yang lekat dengan kehidupan perempuan.

Baca Juga: Tambang Ilegal di IKN, Harus Bikin Satgas: Jangan Jadi Bagian Mafia

Para perempuan biasanya berbondong-bondong mengambil kerang dan memancing ikan di telaga Sagea jika terjadi musim ombak di laut. "Dari dulu lagi torang biasa rame-rame ambe bia di talaga. Jadi so turun temurun,” kata Fifa.

Senada, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat Pius Ginting mengungkapkan daya tampung dan daya dukung Sungai Sagea dan sungai-sungai lain di lingkar kawasan industri PT IWIP telah terlampaui.

Pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik sebagai calon pembeli perlu mengaudit tata kelola aspek sosial serta lingkungan yang sejauh ini dijalankan oleh PT IWIP.

Salah satu instrumen, kata Pius, dengan menggunakan kriteria Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang diluncurkan pada Juni 2018 lalu. Kriteria IRMA dapat melengkapi produk hukum nasional dalam mengawasi kualitas air sungai-sungai di sekitar kawasan industri PT IWIP.

Baca Juga: Marak Tambang Ilegal hingga Sulit Air Bersih, IKN Jauh dari Layak!

"Sebenarnya, pengembangan kawasan industri nikel di Halmahera Tengah juga harus sejalan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dirumuskan oleh pemerintah daerah," ungkapnya.

Persoalannya sekarang, ujar Pius, sejauh mana kajian itu dimasukkan ke dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RPJMD setempat. Sudah seharusnya KLHS mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perairan yang terus menurun akibat adanya kawasan industri nikel.

"Perlu ada evaluasi instrumen pengelolaan lingkungan," tegas Pius.

Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra juga menegaskan hal serupa. Menurutnya, perbedaan antara Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan pulau-pulau besar adalah karena memiliki karakteristik berupa das yang sempit dan pendek.

Baca Juga: IKN Dikelilingi Tambang Ilegal, DPR: Tetap Harus Lanjut!

Pendekatan pemanfaatannya perlu kehati-hatian dan tidak bisa digeneralisir. Sayangnya, ujar Anggi, izin tambang nikel seluas 201 ribu hektar, telah diberikan kepada 43 perusahaan di sana dan justru membebani Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

"Bayangkan izin nikel seluas 180.587 hektar justru berada di Hutan Lindung dan Hutan Produksi," terangnya.

Kondisi itu berdampak pada memburuknya situasi di Halmahera dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan total kerusakan hutan di dalam konsesi pertambangan nikel dari tahun 2017 hingga tahun 2021 sebesar 7.565 hektare.

Diproyeksikan kerusakan hutan, ujar Anggi, akan semakin parah hingga mencapai 157 ribu hektare kedepannya dari ulah pertambangan nikel ini. Belum lagi banyak tumpang tindih perizinan pertambangan nikel dengan konsesi HPH, HTI, dan kebun.

Dengan begitu, tidak heran jika kinerja buruk tata kelola sumber daya alam sebagai eksklusifitas tambang dalam kawasan hutan. "Hal itu menunjukan lemahnya implementasi transparansi sumber daya alam dalam tata kelola perizinan tambang sebagai potret asimetris informasi.” papar Anggi.