Diskriminasi UE

Larangan Nikel Indonesia, Indef: Perkuat Argumen Hukum di Sidang Banding WTO

Dalam gelaran G7 2023 di Tokyo, Presiden Jokowi menyinggung hilirisasi bahan mentah, salah satunya Nikel.

Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018). Foto: Bisnis.com

apahabar.com, JAKARTA - Dalam gelaran KTT G7 2023 di Hiroshima Jepang, yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara maju, Presiden Jokowi menyinggung hilirisasi bahan mentah, salah satunya Nikel. Negara-negara Uni Eropa dinilai melakukan diskriminasi terhadap Indonesia dengan menjegal kebijakan Indonesia yang menyetop ekspor nikel dalam rangka hilirisasi.

Melalui WTO, Uni Eropa menggugat Indonesia tentang kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Namun sayangnya, pada Oktober 2022 lalu Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut.

Terkait hal tersebut, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menilai pemerintah harus mempersiapkan secara matang dengan memperkuat argumen-argumen hukum saat proses persidangan banding di WTO.

"Kita perlu kita punya argumen hukum yang kuat, juga lawyer-lawyernya harus diperkuat karena ada mekanisme banding. Perlu dipersiapkan secara matang, ujar Berly saat ditemui apahabar.com di Jakarta, Senin (22/5).

Selain itu, pemerintah juga perlu memandang ke masa depan, jika menyetop ekspor nikel. Termasuk, apakah nantinya nikel tersebut bisa terserap di pasar dalam negeri.

Baca Juga: Jokowi Klaim Tak Gentar Hadapi Gugatan Negara Lain Soal Hilirisasi Tambang

"Perlu disiapkan, jika dilarang mengekspor, siapa yang akan membeli di dalam negeri, jangan sampai yang selama ini memproduksi, tidak mendapatkan pembeli, sehingga pendapatnya turun, akhirnya memecat pegawai, ujar Berly.

"Biasanya program-program atau kebijakan seperti ini ada gradasinya, jadi tidak langsung ditutup, tapi disiapkan pembelinya dalam negeri," sambungnya.

Menurut Berly, yang justru mengkhawatirkan ketika produsen besar mobil listrik telah menemukan bahan mentah lain yang harganya lebih murah dari produk nikel dalam negeri, untuk memproduksi baterai mobil listrik.

"Sudah ada teknologi yang digunakan oleh pabrik mobil besar termasuk Tesla, yang tidak lagi menggunakan Nikel, dan itu lebih murah justru walaupun memang kapasitasnya lebih kecil," ujarnya.

Baca Juga: Dukung Industri Kendaraan Listrik, Antam Buka Peluang Hilirisasi Nikel

Hal itu sangat memungkinkan harga baterai EV dari nikel akan turun, karena kalah bersaing di pasaran dengan baterai bahan baku lain yang lebih murah.

"Jadi challenge-nya di situ. Jadi ini nikel digunakan untuk baterai yang performa tinggi seperti untuk balapan Formula E, untuk yang family car itu tidak pakai nikel," ujar Berly

"Dari hasil riset, sudah menemukan alternatif lebih murah daripada nikel, jadi daya tawar kita hilang berarti," pungkasnya.