Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati, Pejuang Perempuan dari Aceh Bernyali Tinggi

Laksamana Malahayati, pejuang dari Aceh yang tak kenal takut. Ia juga perempuan pertama dengan jabatan tertinggi di Angkatan Laut.

Keumalahayati atau Laksamana Malahayati, Pejuang perempuan asal Aceh, Laksamana pertama di Indonesia. Foto: dok. Perpusnas

apahabar.com, JAKARTA - Laksamana Malahayati,  pejuang dari Aceh yang tak kenal takut. Ia juga perempuan pertama dengan jabatan tertinggi di Angkatan Laut.

Ia menjadi perempuan pertama bukan hanya di Indonesia, bahkan di dunia yang menyandang panglima tertinggi di lautan.  Ia juga seorang pejuang dari Kesultanan Aceh yang memangnkan duel dengan pemimpin pasukan Kolonial Belanda saat itu.

Lahir dengan nama Keumalahayati, ia lahir di Aceh Besar pada 1 Januari 1550. Keumalahayati merupakan keturunan darah biru, yaitu pengarung samudera di lautan biru.

Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah, Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh, serta cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh pada 1530 - 1539.

Melalui kakek dan ayahnya, Ia kemudian memiliki semangat yang kuat untuk menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di Akademi Baitul Maqdis.

Baca Juga: Siti Manggopoh, Singa Betina dari Minangkabau

Saat menempuh pendidikan di Akademi Militer Matra Angkatan Laut Kesultanan, di usia 35 tahun, pada 1585, Malahayati dipercaya menjabat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah, dari Sultan

Malahayati bertemu dengan pujaan hati, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latif, saat mengenyam pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis.

Perjuangannya Bersama Inong Balee

Dilaskarnya, Malahayati juga memimpin 2000 orang pasukan Inong Balee, yaitu para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis.

Untuk memperkuat markas Inong Balee, Malahayati dan pasukannya membangun benteng setinggi 100 meter, yang menghadap ke arah laut dengan lebar 3 meter dengan lubang meriam yang menghadap ke pintu teluk.

Perang di perairan Selat Malaka menjadi bukti awal perjuangan Malahayati. Saat itu Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief gugur pada pertarungan sengit tersebut.

Rasa kehilangan mendalam membuat Malahayati bertekad untuk menuntut balas dendam dan meneruskan perjuangan suaminya. Pada 11 September 1599, ia bersama pasukan Inong Balee berhasil melawan sekaligus membunuh Cornelis de Houtman menggunakan senjata Rencong miliknya.

Baca Juga: Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia

Namun Laksamana Malahayati gugur pada 1615, saat bertempur melawan pasukan Portugis di Perairan Selat Melaka. Kemudian jasadnya dimakamkan di lereng Bukit Lamkuta, Banda Aceh.

Presiden Joko Widodo menetapkan Malahayati sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2017, berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TL/Tahun 2017.

Nama Malahayati juga dijadikan sebagai pelabuhan, Pelabuhan Malahayati, yang berada di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Sebelum 1970, Pelabuhan Malahayati digunakan sebgai pelabuhan transit, sempat dijadikan sebagai persinggahan kapal pascatragedi tsunami 2004. Dan pada 2007, Pelabuhan ini kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor asal Aceh ke kawasan Eropa dan Timur Tengah.

Selain itu, pada 2021, Jalan Inspeksi Kalimalang diganti dalam Keputusan Gubernur Nomor 1214 tahun 2021, tentang penetapan nama Jalan Laksamana Malahayati, oleh Anies Baswedan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.