Nasional

KUA Menolak, Nikah Dini Masih Marak

apahabar.com, JAKARTA – Pernikahan anak masih marak terjadi. Padahal pemerintah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah…

Ilustrasi pernikahan. Foto-Harian Nasional

apahabar.com, JAKARTA - Pernikahan anak masih marak terjadi. Padahal pemerintah melalui Kantor Urusan Agama (KUA) telah melakukan pencegahan dengan cara menolak.

Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammad Adib Machrus, mengatakanUndang-undang 7/1974 tentang Perkawinan sudah mengatur mekanisme pencegahan dan penolakan oleh petugas KUA.

“Jadi petugas punya pilihan jika ada permohonan kawin, jika yang bersangkutan belum mencapai batas umur yang diperbolehkan ya pasti ditolak. Karena batas umur itu jadi persyaratan, dan petugas tidak boleh melangsungkan perkawinan atau membantu melangsungkan perkawinan jika yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan,” kata dia.

Pencegahan tersebut, lanjut Adib, dilakukan sejak awal ketika ada permohonan menikah. Petugas tentu akan memeriksa apakah pemohon memenuhi persyaratan apa tidak. Jika tidak memenuhi persyaratan, pasti ditolak. “Dan itu ada blangkonya. Ada surat resmi penolakan itu atau pencegahan itu oleh KUA,” kata dia.

Adib menilai munculnya kasus pernikahan anak ini mungkin karena isunya terlalu viral sehingga yang menonjol adalah fakta bahwa yang bersangkutan telah menikah, dan tempat menikahnya di KUA.

“Proses sebelumnya tidak terlihat, yang dilihat adalah ending akhirnya. Karena akhirnya kan KUA pula yang menikahka," tutur dia.

Padahal, kata dia, setelah pengajuan pernikahan ditolak, orang yang ditolak menikah itu mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan, maka atas pertimbangan hakim, sehingga memutuskan untuk mengabulkan permohonannya.

Karena itu, bagi KUA tidak ada jalan lain sebab persyaratannya sudah terpenuhi. “Jadi gugurlah penolakan atau pencegahan itu. KUA sebagai representasi lembaga pemerintahan ya harus menghormati putusan pengadilan,” kata dia.

Seperti diketahui, pasal 7 ayat 1 Undang-undang 1/1974 tentang perkawinan yang memuat soal batas usia pernikahan digugat ke Mahkamah Kosntitusi pada 2018. Dalam pasal itu, laki-laki diperbolehkan menikah pada usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. MK kemudian pada Desember 2018 lalu dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan pemohon.

Maka dengan adanya putusan itu, batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 19 tahun. MK dalam pertimbangannya menyatakan pasal 7 ayat 1 diskriminatif.

Namun, UU 1/1974 masih mendapat kritik dari kalangan pegiat perlindungan anak dan perempuan. Sebab pada ayat 2 pasal 7 UU tersebut dianggap melancarkan adanya perkawinan anak. Ayat 2 tersebut membolehkan adanya dispensasi jika terjadi penyimpangan terhadap aturan sebagaimana tercantum dalam ayat 1.

Rumah Kita Bersama (Kitab) menggelar agenda diskusi yang menyoroti perkawinan anak di Jakarta pada Rabu (31/7) ini. Di Indonesia, perkawinan anak masih menjadi problem yang membutuhkan jalan keluarnya.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, satu dari sembilan anak menikah di bawah 18 tahun, batas minimal seseorang disebut anak menurut UU Perlindungan anak.

Artinya, dalam satu hari ada 375 anak menikah. Ini menunjukkan Indonesia termasuk negara darurat kawin anak yang jika terus dibiarkan akan mengancam masa depan anak Indonesia.

Berdasarkan penelitian Rumah Kita Bersama (Kitab), perkawinan anak kerap didasari alasan-alasan keagamaan. Setidaknya ada lima alasan keagamaan yang mendorong sekaligus melegitimasi kawin anak. Pertama, kawin anak dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari perzinahan. Biasanya, alasan ini dipakai orang tua ketika menghadapi pergaulan tidak sehat anak dan anak di luar kontrol orang tua.

“Karena itu, ormas Islam berperan penting dalam memastikan sosialisasi pesan-pesan pembangunan. Mereka menjadi penyaring dan agen dalam menyuarakan misi pembangunan dengan menggunakan bahasa agama kepada komunitas real mereka,” kata Direktur Kitab, Lies Marcoes Natsir, dalam keterangan tertulis, Rabu (31/7).

Lies juga melanjutkan, banyak program pembangunan seperti KB, pemberian vitamin A, dapat mencapai keberhasilannya berkat peran serta ormas Islam, termasuk ormas Islam sayap perempuan yang bekerja di akar rumput melalui kelompok-kelompok pengajian mereka.

Faktor lain yang membuat terjadinya perkawinan anak, yakni otoritas orang tua yang seolah-olah memiliki kekuasaan memaksa terhadap anak-anaknya. Pemahaman dan keyakinan bahwa orang tua boleh memaksa anaknya menikah, mengakibatkan anak tidak berdaya dan dengan terpaksa mengikuti semua keinginan orang tua.

Baca Juga:Kandidat Kuat Ibu Kota Negara, Kaltim Sodorkan Dua Tempat

Baca Juga:Wagub Hadi Sesumbar 82 Persen Kaltim Jadi Ibu Kota Negara

Editor: Syarif
Sumber: Republika.co.id