Sejarah Magelang

Kronik Palagan Magelang dan Peperangan yang Terlupakan

Palagan Magelang yang terjadi 31 Oktober sampai 2 November 1945 bisa dibilang peristiwa penting pasca proklamasi yang 'agak' terlupakan di masyarakat.

Salah satu tempat yang menjadi lokasi Palagan Magelang dan didirikan monumen untuk mengenang para korban (Apahabar.com/Arimbihp)

apahabar.com, MAGELANG - Kota Magelang adalah kawasan yang tak hanya memiliki beragam pariwisata dan kekayaan alam, namun juga menyimpan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Salah satu cerita sejarah di Kota Sejuta Bunga yang tak banyak diketahui masyarakat adalah Palagan Magelang.

"Palagan Magelang yang terjadi 31 Oktober sampai 2 November 1945 bisa dibilang peristiwa penting pasca proklamasi yang 'agak' terlupakan di masyarakat karena yang populer adalah pertempuran Semarang, Ambarawa, Bandung, Jogja, dan Surabaya saja," kata Pegiat Sejarah Magelang, Gusta Wisnu Wardhana, Senin (2/9).

Gusta menceritakan, tragedi Palagan Magelang dipicu pertistiwa perobekan plakat merah putih milik pemuda Indonesia yang dilakukan tentara Jepang.

Perobekan plakat merah putih itu sontak membuat para pemuda Indonesia yang menempelkannya sebagai tanda kemerdekaan merasa berang.

Kemudian, lanjut Gusta, para pemuda Indonesia menuntut para tentara Jepang untuk diadili, dan terjadi kehebohan yang memicu pergolakan massa.

Baca Juga: Mengenang G30S PKI dan Kiprah Ahmad Yani Sang Juru Selamat Magelang

"Perobekan plakat merah putih di Hotel Nitaka membuat ratusan pemuda Magelang yang mengetahui peristiwa itu, berbondong-bondong menuju markas Kempetai Jepang di Jalan Tidar (sekarang dikenal menjadi SMK Wiyasa Magelang)," katanya.

Tak hanya itu, Gusta mengatakan, para pemuda Magelang juga memprovokasi masyarakat dari alun-alun, hingga jalan Tidar untuk bergabung menemui pimpinan Kempetai.

Namun sayangnya, pertemuan para pemuda Indonesia dengan pimpinan Kempetai tidak menghasilkan apa-apa.

"Melihat tidak adanya kesepakatan dan masih kurang puas, para pemuda Indonesia bergerak menuju gedung Nakamura Butai dan melakukan demo," jelasnya.

Lebih lanjut, Gusta menceritakan, melihat masih tidak adanya hasil, Residen Kedu Raden Pandji Soeroso kemudian meminta masyarakat untuk mengibarkan bendera di puncak gunung Tidar.

Gusta Wisnu Wardhana saat menjelaskan tentang Palagan Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

Adapun peristiwa pengibaran bendera merah putih untuk pertamakalinya di Magelan, tepatnya di puncak Tidar secara resmi terjadi pada 25 September 1945, sekitar jam 4 pagi.

Bukan tanpa alasan, menurut Gusta, para pemuda Indonesia sengaja mengibarkan pukul 4 pagi untuk mendahului pengibaran bendera Jepang yang rutin dilakukan jam 6 pagi.

Sesudah pengibaran tersebut, terjadi tragedi penembakan pemuda Indonesia hingga tewas.

"Kejadiannya setelah para pemuda turun dari Gunung Tidar, penembakan terjadi di markas Kempetai yang menyebabkan tewasnya 5 orang," jelasnya.

Lima korban tersebut dimakamkan di makam Taman Pahlawan Giridharmoloyo, dan dikenang dalam monumen Tidar, di depan SMK Wiyasa Magelang.

Baca Juga: Susuri Jejak Eks Panti Asuhan Oranje Nassau Berusia 2 Abad di Magelang

Selanjutnya, pada bulan Oktober tersiar kabar dari pasukan Inggris, mengenai isu terbunuhnya tentara Jepang yang bergabung dengan Indonesia.

Bahkan berita tersebut tersiar sampai markas Kidobutai di Semarang yang memicu kemarahan tentara Jepang.

"Mendengar berita tersebut, 31 Oktober 1945, sebanyak 7 truk yang berisi sekitar 100 orang tentara Jepang dikirim ke Magelang dan melakukan aksi penembakan kepada masyarakat di sepanjang jalan," kata Gusta.

Adapun lokasi yang menjadi korban keganasan pembantaian tersebut adalah SMP N 1 Magelang.

Saat peristiwa tersebut, ada seorang pelajar bernama Suprapto bersembunyi di saluran air belakang SMP, dan berusaha menyelamatkan teman-temannya.

"Namun, dia ketahuan dan ditembak mati. Dia gugur dikenal sebagai Prapto kecik, dan dikenang dalam monumen rantai kencana yang lokasinya ada di dalam SMP 1 Magelang," tuturnya.

Penembakan yang dilakukan tentara Inggris dan Gurkha

Tak hanya Jepang, kekacauan pasca proklamasi di Magelang juga terjadi saat peristiwa penggeledahan dan penembakan oleh tentara Gurkha bersama tentara Inggris di Kampung Ngentak.

"Peristiwa itu menyebabkan gugurnya dua orang warga Indonesia," kata Gusta yang juga pendiri Walking Tour Mlaku Magelang.

Mengetahui kondisi Magelang, Yogyakarta dan sekitarnya tidak kondusif, Mayor Ahmad Yani mengatur siasat dengan membuat dapur umum di beberapa tempat.

Cara tersebut dilakukan Ahmad Yani untuk memasok kebutuhan makan para pejuang, sehingga terjadi pertempuran di berbagai kota melawan Inggris, Jepang, dan tentara Gurkha.

Pertempuran besar pun akhirnya juga meletus di Magelang. Bahkan kala itu, warga Yogyakarta, Wonosobo, hingga Kebumen turut membantu dalam perang.

Baca Juga: Kampung Kwarasan, Kampung Sehat Karya Thomas Karsten di Magelang

Tentara Inggris dan Gurkha yang kala itu tidak menyangka akan mendapat pergolakan besar di Magelang merasa terdesak dan kaget saat bertempur.

Selain terdesak, para tentara Inggris juga tidak mengetahui, mengenai 5 orang tentara Jepang yang membelot ke Indonesia serta melatih para pejuang untuk bertempur.

Peristiwa Palagan Magelang akhirnya meledak pada 31 Oktober hingga 2 November saat tentara Inggris dan Gurkha yang bermarkas di Magelang dikepung dan kehilangan pasokan makanan.

Bahkan dua orang pejuang naik ke atas Water Toren di alun-alun, untuk menembaki markas Gurkha.

"Salah satu dari pejuang tersebut adalah warga Jepang, Mitsuyuki Tanaka, ," imbuhnya.

Tak tinggal diam, melihat tentaranya 'kocar kacir', pimpinan Inggris yang berada di Magelang, menghubungi Bethell yang merupakan pimpinan di Semarang untuk meminta gencatan senjata.

"Negosiasi gencatan senjata dikabulkan dan ditengahi Presiden Soekarno yang saat itu berada di Jakarta," kata Gusta.

Selanjutnya, kata Gusta, Presiden Soekarno menemui pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Semarang dan Yogyakarta untuk melakukan negosiasi.

"Soekarno juga menemui Bethell dengan 12 pasal yang harus disepakati untuk melakukan gencatan senjata," tuturnya.

Setelah kedua pihak mereda, Soekarno melanjutkan perjalanan dari Semarang ke Magelang, dan pada 2 November 1945 menyatakan Palagan Magelang dihentikan.

Halaman yang sempat menjadi pemakaman sementara para korban Palagan Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

Meski pertumpahan darah usai, banyak pejuang Magelang yang justru menyesalkan keputusan tersebut, karena hampir mengalahkan para tentara Inggris.

"Setelah geger pertempuran selesai, Soekarno juga sempat datang ke Magelang untuk mengunjungi dapur umum dan melihat makam para korban perang," pungkas Gusta.