Pemilu 2024

KPU Didesak Segera Revisi Aturan Keterwakilan Perempuan di Pemilu

Ketua Umum PP 'Aisyiyah Salmah Orbayinah mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk merevisi peraturan terkait penghitungan syarat keterwakilan perempuan

Ilustrasi pemilih perempuan menggunakan hak pilihnya dalam gelaran pemilu. Foto: Litbang Kemendagri

apahabar.com, JAKARTA - Ketua Umum PP 'Aisyiyah Salmah Orbayinah mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk merevisi peraturan terkait penghitungan syarat keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.

Aturan yang semula termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, khususnya Pasal 8 ayat (2).

"Segera merealisasikan janjinya kepada masyarakat Indonesia dan gerakan keterwakilan perempuan untuk merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023," kata Salmah, Selasa (23/5).

Baca Juga: Parpol Sulit Penuhi Syarat Keterwakilan Bacaleg Perempuan di Padang

KPU juga diminta mengembalikan aturan pada ketentuan yang sejalan dengan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas.

Selain mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah dipraktikkan pada dua pemilu sebelumnya, Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU Nomor 10 Tahun 2023 itu secara hukum melanggar dan bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu, yang menyatakan bahwa daftar bakal calon di setiap dapil memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Ketentuan pada Pasal 8 tersebut bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD.

Baca Juga: PKS Targetkan 18 Kursi DPRD Jatim, Andalkan Perempuan dan Anak Muda

Keterwakilan perempuan dalam politik adalah keniscayaan, maka ia berharap perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik serta proses pengambilan kebijakan publik baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Kehadiran perempuan dalam pengambilan kebijakan publik itu akan mendorong lahirnya berbagai kebijakan pembangunan secara inklusif dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan perempuan dan anak-anak yang sering kali diabaikan.

"Kehadiran perempuan dalam politik akan lebih merepresentasikan kepentingan semua kelompok dalam masyarakat yang selama ini ditinggalkan," kata Salmah.

"Sejarah juga telah membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan di Indonesia, baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, menunjukkan kontribusi dan perjuangan nyata bagi bangsa," sambung dia.

Tim Seleksi KPU 

Selain merevisi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 itu, Salmah juga meminta pemenuhan keterwakilan perempuan dalam komposisi tim seleksi atau keanggotaan KPU provinsi, kabupaten, dan kota.

"Menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam Peraturan KPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan," katanya.

Selain KPU, Salmah meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta jajarannya, sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu, harus mengimplementasikan kebijakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Baca Juga: Pendaftaran Ditutup, KPU Verifikasi Administrasi Bacaleg selama Sepekan

"KPU, Bawaslu, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) harus menyusun kebijakan tata kelola organisasi penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan, implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya," katanya.

PP 'Aisyiyah juga meminta KPU mendorong partai politik secara aktif membuka peluang yang luas kepada caleg perempuan.

"Partai politik juga harus berkomitmen meminimalkan pencalonan yang berbiaya tinggi serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote getter semata," ujar Salmah.